Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 November 2009

Artikel-artikel Numismatik Terbaru


Saya memiliki beberapa artikel numismatik. Media cetak yang berminat, silakan menghubungi saya. Lihat ringkasan artikel-artikel tersebut di bawah ini.


Pyzam Glitter Text Maker




RINGKASAN

Mengenal “Grade” Koleksi Uang Kertas


Oleh: DJULIANTO SUSANTIO


Mengumpulkan uang-uang lama sudah mulai digemari para remaja dan murid-murid sekolah, meskipun koleksi mereka umumnya masih sangat sederhana. Yang dimaksud dengan uang lama adalah uang yang tidak bisa dipergunakan lagi untuk bertransaksi, istilah awamnya uang yang sudah kadaluwarsa. Namun bukan berarti uang-uang itu tidak mempunyai nilai. Justru di tangan segelintir orang, yakni para numismatis, uang demikian bisa berharga lebih tinggi daripada nilai nominalnya.

Numismatis adalah sebutan untuk orang-orang yang gemar mengumpulkan benda-benda numismatik. Sebenarnya istilah numismatik sangat luas. Pengetahuan ini mencakup uang lama (kuno), token (uang perkebunan), cek, obligasi, kupon, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembayaran. Namun karena yang paling populer adalah mata uang, maka numismatik sering diidentikkan dengan mata uang. Apalagi kata asalnya, numisma, dalam bahasa Latin memang berarti mata uang logam.

*******

RINGKASAN

Kondisi dan Motif Hobi

Oleh: DJULIANTO SUSANTIO


Pada lazimnya orang mengumpulkan benda-benda numismatik dalam kondisi yang paling bagus atau Uncirculated (Unc). Hal ini terutama dilakukan oleh mereka yang sudah berpenghasilan tetap, seperti karyawan atau wiraswastawan. Buat mereka yang berpenghasilan tidak tetap atau pas-pasan, tentu mengoleksi benda-benda yang berkategori XF atau F, sudah merupakan keberhasilan yang luar biasa. Dalam numismatik, kondisi Unc adalah yang paling maksimum, sehingga koleksi demikian sering kali dibanderol lebih tinggi dibandingkan koleksi-koleksi lainnya.

Gejala “grading maniac” (kegilaan akan kondisi terbagus) memang selalu melanda semua kalangan kolektor. Padahal, hal tersebut tidaklah terlalu mutlak mengingat setiap orang mempunyai alasan yang berbeda terhadap objek perhatiannya. Ini karena seseorang yang terlibat dalam kegiatan berkoleksi, memiliki beragam motivasi. Dengan demikian dia bisa merupakan kolektor murni, semu, atau berada di antaranya.

Kondisi sosio-ekonomi dan lain-lain akan menentukan usaha seorang kolektor untuk mengumpulkan yang terbaik. Seorang kolektor murni yang bermotif dasar mengumpulkan benda-benda numismatik dengan kondisi seadanya, tentunya sudah merupakan pemenuhan kepuasan yang memadai. Kecuali mereka yang mampu dalam hal segi sosio-ekonomi, pastilah akan memilih yang lebih berkualitas.

*******

RINGKASAN

Memulai Koleksi Numismatik

Oleh: DJULIANTO SUSANTIO


Pada prinsipnya aktivitas hobi dibedakan menjadi dua bagian, yakni “melakukan sesuatu” dan “mengumpulkan sesuatu”. Hobi kategori pertama misalnya traveling, memasak, menjahit, membaca, dan mendengarkan radio. Hobi kategori kedua antara lain mengoleksi prangko, komik, boneka, miniatur mobil, dan benda-benda memorabilia.

Salah satu hobi yang cukup langka dan banyak digeluti berbagai kalangan, mulai dari pelajar hingga pejabat, adalah mengumpulkan uang lama atau kuno. Berbeda dari hobi-hobi lain, hobi yang satu ini termasuk unik karena kesukaran dalam memperoleh informasi maupun barangnya.

Koleksi numismatik menjadi unik karena mata uang merupakan produk resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkuasa, meskipun peredarannya tidak memiliki periode yang pasti. Mata uang juga merupakan salah satu jati diri dari negara yang berdaulat. Bahkan di mata peneliti, mata uang merupakan artefak bertanggal mutlak karena mampu menjelaskan perjalanan sejarah bangsa secara kronologis.

*******

RINGKASAN

Hobi Numismatik Tergantung Motivasi

Oleh: DJULIANTO SUSANTIO


Kegemaran mengumpulkan uang-uang lama yang lazim disebut numismatik, sudah lama muncul di negeri kita. Namun, hobi numismatik itu belum berkembang secara maksimal karena berbagai kendala.

Salah satu kendala perkembangan numismatik di negeri kita adalah adanya anggapan bahwa numismatik merupakan hobi mahal. Anggapan itu memang ada benarnya karena beberapa jenis mata uang mempunyai harga yang ‘wah’ dan menggiurkan. Kalau kita patok harga yang ‘wah’ itu berada di atas kisaran satu juta rupiah, tentu pendapat demikian tidak seluruhnya benar.

Soalnya adalah masih banyak jenis mata uang, sebagai objek utama numismatik, berharga di bawah satu juta rupiah. Bahkan masih cukup banyak mata uang yang berharga murah, dari ribuan hingga belasan ribu rupiah, sehingga memungkinkan atau terjangkau oleh para remaja dan pemula yang ingin menggeluti numismatik.

Dengan menggeluti numismatik, ada beberapa manfaat yang bakal kita dapatkan. Misalnya saja pengetahuan, teman, bahkan keuntungan finansial. Keuntungan finansial sangat penting, utamanya dengan menjual koleksi yang dobel atau berlebih, sehingga kita bisa menunjang kegiatan selanjutnya.

*******

RINGKASAN

Mengukur Tingkat Kondisi Mata Uang

Oleh: DJULIANTO SUSANTIO


Koleksi yang sempurna dan enak dipandang, tentu saja adalah materi yang paling bagus. Jangan heran kalau sejumlah kolektor sangat fanatik dengan kondisi suatu mata uang. Sering kali mereka hanya menjatuhkan pilihan pada mata-mata uang dengan kondisi prima atau Unc. Kondisi bisa sedikit dilonggarkan bila jenis atau koleksi tersebut benar-benar langka. Taruhlah termasuk ‘grade’ EF (Extra Fine) atau F (Fine), itu dianggap sudah cukup.

Tingkat kondisi atau ‘grade’ yang berbeda juga memengaruhi nilai dan harga sebuah koleksi. Perbedaan tersebut terlihat pada perkiraan harga di buku katalog yang biasanya dibedakan atas tiga tingkat serta harga nyata yang terjadi atas suatu mata uang. Tingkat kondisi yang umum dijumpai pada buku katalog adalah prima (Unc), bagus (EF), dan lumayan (F). Tidak mustahil terdapat perbedaan harga yang menyolok di antara ketiganya.

Untuk jenis mata uang kuno dan lama sekali, agak susah secara tepat menentukan tingkat kondisinya. Cara-cara dan patokan yang diperkenalkan di bawah ini sekadar sebagai ancar-ancar atau perkiraan semata.

Mata uang kertas dikatakan sempurna bila masih utuh, tidak terdapat lipatan ataupun coretan/noda, dan kertas masih terasa keras kalau diraba. Bagi mata uang logam, gambar terlihat nyata, tidak ada goresan, dan gerigi di samping (kalau ada) masih utuh.

*******

RINGKASAN

Sejarah Uang Indonesia dan Istilah Duit

Oleh DJULIANTO SUSANTIO


Uang yang kita kenal sekarang, tidak dimungkiri, telah mengalami proses perkembangan yang sangat panjang. Merunut bukti-bukti sejarah, terlihat pada awalnya masyarakat belum mengenal pertukaran (barang). Dengan demikian uang belum tercipta. Ketika itu, setiap orang memang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.

Kalau lapar, misalnya, mereka akan berburu hewan, mencari buah-buahan, atau bahan konsumsi lainnya. Kalau kedinginan, mereka akan membuat pakaian sendiri. Apa yang diperoleh itulah yang selalu dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ini karena bahan alam tersedia begitu melimpah. Jadi semuanya serba tidak kekurangan.

Seiring perkembangan jumlah populasi penduduk, ternyata apa yang diproduksi sendiri itu tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup mereka. Maka untuk memperoleh barang-barang yang tidak dapat dihasilkan sendiri, mereka kemudian mencari orang yang mau menukarkan barang yang dimiliki dengan barang lain yang mereka butuhkan. Proses ini disebut barter atau tukar-menukar barang.

Akan tetapi proses ini memiliki beberapa kekurangan. Pertama, sulit menemukan orang yang mempunyai barang yang diinginkan dan mau menukarkannya. Kedua, sulit memperoleh nilai pertukaran yang seimbang atau hampir sama nilainya. Contoh yang sederhana begini: sepotong singkong tentunya tidak sama nilainya dengan seekor kambing, bukan?

*******

RINGKASAN

Uang Kampua, Unik dan Langka

Oleh: DJULIANTO SUSANTIO


Sepanjang sejarah peradaban dunia, manusia mengenal sejumlah bahan yang berfungsi sebagai mata uang atau pengganti mata uang. Mata uang yang paling primitif antara lain batu, biji-bijian, kacang-kacangan, tulang ikan, batok kura, dan tulang mamalia. Ada pula berupa garam, kawat, kaca, manik-manik, dan kulit kayu. Setelah itu barulah diproduksi mata uang modern secara masal yang berbahan kertas dan logam.

Tidak banyak orang tahu kalau di negeri kita pernah beredar mata uang yang dibuat dengan keterampilan tangan. Mata uang tersebut dinamakan Kampua atau bida. Bahannya adalah kain yang ditenun. Daerah peredaran Kampua meliputi Kerajaan Buton, Sulawesi Tenggara.

Menurut legenda, Kampua diciptakan pertama kali oleh Ratu Buton yang kedua, Bulawambona. Dia memerintah sekitar abad ke-14.

Kemungkinan Kampua merupakan uang tertua di Pulau Sulawesi. Selain di Buton konon Kampua juga pernah diberlakukan di Bone, Sulawesi Selatan.

Mata uang Kampua menarik perhatian para arkeolog, numismatis, sejarawan, dan pakar lain karena termasuk koleksi unik dan langka. Kalau pada umumnya mata uang dibuat dengan alat cetak, tidaklah demikian dengan Kampua. Mata uang ini ditenun dari serat kayu.

Senin, 19 Oktober 2009

Mata Uang Logam Cina, Salah Satu Sarana Rekonstruksi Sejarah


Oleh: Yuniarso K. Adi
(Museum Negeri Provinsi Jateng “Ronggowarsito”)

Mata uang merupakan salah satu sarana kegiatan perdagangan dan perekonomian yang menentukan. Hal itu terjadi sejak kehidupan masyarakat mulai mengenal perdagangan dan harga.

Alat tukar dikenal masyarakat sejak zaman prasejarah dalam berbagai macam bentuk dan standar nilai. Ada yang berbentuk gigi binatang buruan, manik-manik, batu-batuan, kulit kerang, dan sebagainya. Masyarakat pertama yang sudah mengenal dan mempergunakan mata uang sebagai alat tukar dan standar nilai secara resmi adalah Mesir, Yunani, dan Cina.

Mata uang merupakan bukti artefaktual yang dapat membantu mengungkapkan kegiatan perdagangan, terlebih mata uang logam Cina. Soalnya adalah temuan mata uang Cina relatif banyak jumlahnya.

Keuntungan temuan mata uang logam adalah:
  • Mata uang banyak ditemukan di beberapa wilayah di Indonesia
  • Dalam mata uang terdapat inskripsi yang menyebutkan tentang data tokoh maupun data tekstual lain
  • Dalam teori rekonstruksi sejarah, data inskripsi (tekstual) merupakan data primer
  • Populasi peredaran mata uang logam memudahkan kompilasi data untuk memperoleh satu kesamaan asal tahun dari inskripsi yang tertulis.

Sedangkan kelemahannya:
  • Mata uang logam masa berlakunya kadang-kadang melewati batas tahun berkuasanya sang penguasa yang mencetaknya
  • Penguasaan bahasa serta huruf Cina para peneliti masih minim
  • Mobilitas yang tinggi mata uang logam (kehadiran mata uang di suatu wilayah tidak disertai masyarakat pencetak maupun penggunanya).
  • Terjadinya kemungkinan antara kehadiran masyarakat pencetaknya dengan mata uangnya lebih dulu hadir masyarakatnya. Sedangkan mata uangnya baru hadir sekian tahun kemudian atau sebaliknya.
  • Masa berlakunya kadang-kadang lebih panjang (lama) dibandingkan masa kekuasaan pencetaknya, sehingga sang pencetak (penguasa yang menerbitkannya) sudah tidak berkuasa, namun mata uangnya masih beredar luas.

Di Jawa Tengah banyak ditemukan mata uang logam Cina. Yang tersimpan di Museum “Ronggowarsito” saja memiliki berat keseluruhan sekitar 50 kg. Selain itu terselip mata uang logam dari Jepang dengan bentuk, bahan, ukuran, dan tempat temuan yang sama. Dari hasil penelitian diketahui rentang waktunya adalah dinasti Tang masa kekaisaran Kaiyuan (713 M) sampai dinasti Ming masa kekaisaran Yongla (1404-1424 M). Ada pun jumlah temuan masing-masing dinasti adalah:
  • Dinasti Tang
  • Dinasti Song Utara
  • Dinasti Daghi (Jepang)
  • Dinasti Song Selatan
  • Dinasti Ming
  • Inskripsi Xianfu
  • Inskripsi Huang Song Tong Bao
  • Inskripsi Da Song Yuan Bao

Temuan-temuan tersebut menunjukkan adanya kronologi kaisar yang cukup urut dan lengkap. Diketahui pula setiap pergantian kaisar, diterbitkan mata uang baru.

Kajian inskripsi mata uang logam Cina adalah salah satu upaya untuk memberikan satu kontribusi penyediaan data analisis baru bagi interpretasi data sejarah supaya dapat dipergunakan untuk membantu rekonstruksi sejarah.

(Diringkas dari Berkala Arkeologi, Tahun XIV – Edisi Khusus – 1994)

Minggu, 11 Oktober 2009

Mata Uang Logam Cirebon


Penelitian ini dilakukan oleh Henny Indratiningsih, diberi judul Mata Uang Logam Cirebon Koleksi Museum Nasional, pada 1995 sebagai skripsi sarjana bidang Arkeologi pada FSUI. Tujuan penelitian adalah untuk memberikan gambaran lengkap dari data utama, mengetahui bacaan dan arti tulisan, serta melihat kemungkinan hubungan antara keberadaan huruf Latin dan Cina pada mata uang tersebut dengan sejarah Cirebon.

Metode penelitian yang digunakan terdiri atas tiga tahap. Pertama, pengumpulan data, terdiri atas data kepustakaan dan data lapangan.

Kedua, pengolahan data, dengan melakukan pemerian data secara lengkap. Pada tahap ini juga dilakukan analisis dengan memakai metode klasifikasi taksonomi, yang bertujuan untuk membentuk tipe mata uang Cirebon dengan indikator sejumlah atribut. Atribut utama yang ditetapkan adalah komponen penciri utama berupa huruf, tanda, dan “polos”.

Tahap ketiga adalah penafsiran data, dengan cara mengidentifikasikan dan menganalogikan ciri-ciri mata uang ini dengan sumber-sumber sejarah.

Selasa, 29 September 2009

Mata Uang Logam dan Penelitian “Arkeologi-sejarah”


Suatu hal yang amat menguntungkan penelitian arkeologi-sejarah (historical archaeology) adalah bahwa kebanyakan situs-situsnya menghasilkan temuan mata uang logam, bahkan sering kali dalam jumlah yang cukup besar. Jenis temuan ini dapat digolongkan ke dalam kategori artefak bertanggal mutlak, karena banyak mata uang logam dari masa arkeologi-sejarah memuat nama raja atau penguasa dan angka tahun diterbitkannya uang tersebut.

Pada dasarnya setiap benda adalah hasil aktivitas manusia dari masa ke masa. Karena itu mata uang dianggap dapat memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat masa lampau. Di mata para arkeolog, peran mata uang sebagai sumber sejarah sangat besar. Keberadaannya sejajar dengan prasasti dan naskah kuno yang sampai saat ini memang lebih banyak dipakai sebagai sumber sejarah.

Setiap mata uang umumnya memiliki tanda tera seperti yang biasa kita dapatkan pada mata uang sekarang, yang menyatakan pengesahan sebagai suatu alat tukar, misalnya oleh raja atau penguasa yang mengeluarkannya. Turut campurnya raja atau penguasa dapat memberikan gambaran kepada kita tentang sejarah politik pada masa itu, misalnya untuk menentukan batas-batas kekuasaan politik dari seorang raja atau penguasa setempat berikut masa pemerintahannya.

Sebagai artefak bertanggal mutlak, kehadiran suatu mata uang di dalam suatu lapisan tanah dapat digunakan untuk menanggali lapisan tanah tersebut. Demikian pula suatu himpunan dapat ditanggali jika mata uang logam yang berada di dalamnya memiliki hubungan fisik dengan temuan lain. Lebih jauh lagi, mata uang tersebut dapat digunakan untuk data sejarah ekonomi, perdagangan, dan teknologi logam.

Mata uang hasil ekskavasi arkeologi selalu diklasifikasikan, misalnya berdasarkan bentuk atau tahun terbitnya. Uniknya, selain mata uang logam lokal, juga banyak ditemukan mata uang logam asing. Di dunia arkeologi, temuan-temuan uang logam dapat menjawab berbagai masalah yang kita hadapi, misalnya:

  • Sejak kapan mata uang logam lokal maupun asing dikenal di suatu daerah
  • Siapa raja atau penguasa yang mengeluarkan mata uang logam lokal sebagai alat tukar
  • Jika ditemukan mata uang logam asing dalam jumlah cukup banyak, apakah berfungsi sebagai upeti atau memang sudah merupakan alat tukar yang sah pada waktu itu
  • Apakah ada mata uang logam lokal yang digunakan sebagai upeti
  • Di mana tempat pembuatan mata uang logam lokal
  • Bagaimana cara pembuatan mata uang tersebut
  • Bagaimana sistem jual beli pada waktu itu
  • Apakah masyarakat sudah mengenal sistem penyimpanan uang seperti bank
dan sederetan lagi pertanyaan masih dapat dikembangkan dari sini

Di situs Banten Lama, tepatnya di lingkungan Keraton Surosowan, pernah ditemukan sejumlah mata uang logam. Bersama artefak itu ditemukan pula wadah pelebur logam, sisa-sisa tungku, sisa arang pembakaran, dan kerak logam. Diperkirakan dulunya situs itu merupakan tempat kegiatan pertukangan logam. Biasanya pertukangan di dalam keraton hanya membuat barang-barang tertentu untuk kebutuhan raja atau penguasa atau barang-barang tertentu yang dianggap penting agar pengawasannya lebih mudah.

Mata uang hasil ekskavasi arkeologi ditangani dengan cara metode deskripsi, yakni identifikasi berdasarkan bentuk, jenis, tipe, tahun terbit, tempat cetak, bahan, ukuran, dan sebagainya. Selanjutnya dilakukan analisis secara kuantitatif dan kualitatif. Juga dilakukan analisis kontekstual untuk mengetahui hubungan antara temuan serta (temuan yang terkandung bersama temuan uang logam).

(Djulianto Susantio)

Senin, 03 Agustus 2009

Mata Uang Sebagai Sumber Sejarah Indonesia


Mungkin ada yang bertanya kapankah mata uang mulai diciptakan dan digunakan sebagai alat tukar di Indonesia?. Mata uang itu sebenarnya baru diciptakan sejak terjadi peristiwa jual beli yang semakin rumit. Perdagangan dalam bentuknya yang sederhana adalah saling bertukar barang, disebut juga barter, antara kedua belah pihak. Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan manusia akan barang maka perdagangan menjadi semakin ramai karena setiap orang pada dasarnya tidak hanya membutuhkan satu jenis barang melaiƱkan berbagai macam barang (misalnya beras, garam, gula, minyak, dsb).

Tetapi di kemudian hari timbul masalah bagaimana kalau berdagang dalam jumlah besar, apalagi nilai suatu barang tidak sama dengan barang lain. Misalnya satu pikul garam mungkin baru setara nilainya dengan satu karung beras. Jadi seandainya pertukaran barang atau barter ini terjadi dalam jumlah besar, kedua pihak bakal menemui kesulitan membawa barangnya masing-masing, belum lagi jarak yang ditempuh dan tenaga yang dibutuhkan. OIeh karena sistem barter lama-lama dianggap tidak praktis maka orang mulai memikirkan alat penukar barang yang praktis, mudah dibawa, tahan lama dan dapat digunakan sesuai kebutuhan. Demikianlah mata uang mulai diciptakan.

Dari hasil penelitian mata uang yang pernah beredar dan berlaku di Indonesia dapatlah disusun sejarah perkembangan mata uang Indonesia sebagai berikut:

I. Masa Klasik (Hindu-Budha: abad ke-5-15)
II. Masa Islam (abad ke-13-19)
III.Masa Kolonial (abad ke-16-20)
IV.Masa Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-)


I. Masa Klasik (Hindu-Budha: abad ke-5-15)

Sejalan dengan mulai dikenalnya pelayaran (lalu lintas di laut dan sungai) maka perdagangan tidak hanya dilakukan di satu tempat saja melainkan sudah menjangkau ke tempat-tempat lain yang jauh, yang terpisah oleh lautan atau sungai. Sebagai akibatnya terjadilah perdagangan antar pulau dan antar negara. Letak geografis kepulauan Indonesia yang menguntungkan menjadikan kepulauan Indonesia sebagai salah satu cabang jalan pelayaran perdagangan internasional pada jaman purba.

Hubungan dagang dengan India mengakibatkan terjadinya perubahan dalam ber-masyarakat, terutama tata negara, di sebagian daerah Indonesia sebagai akibat penyebaran agama Hindu dan Budha. Inilah yang kemudian melatari munculnya kerajaan-kerajaan kuna yang bercorak Hindu-Budha seperti Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya, Mataram, Kadiri, Singhasari dan Majapahit, dalam kurun waktu abad ke-5 hingga abad ke-15.

Bukti bahwa kepulauan Indonesia pernah dikunjungi pedagang-pedagang asing dapat diketahui dari sumber-sumber tertulis seperti prasasti dan kronik (catatan perjalanan) asing. Di dalam sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh penguasa kerajaan Sriwijaya (abad ke-7) dijumpai istilah dalam bahasa Sansekerta, vaniyaga, artinya ‘saudagar’ atau pedagang’. Kata vaniyaga kemudian diserap menjadi kata bahasa Indonesia, berniaga, padanan kata dan ‘berdagang’.

Apa yang membuat pedagang-pedagang asing dan India, Cina, Kamboja, Vietnam, Srilangka, dan Arab datang ke Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia? Tidak lain adalah barang barang dagangan dan kepulauan Indonesia yang amat diminati oleh pedagang-pedagang asing tersebut antara lain cengkeh, pala, merica, kayu cendana, kapur barus, kain katun, garam, gula, gading gajah, cula badak, dan lain-lain. Sedangkan pedagang-pedagang dari kepulauan Indonesia biasanya mengimpor kain sutera, kain brokat warna-warni dan keramik.

Pedagang-pedagang asing tersebut ketika mengadakan transaksi jual-beli dengan penduduk lokal menggunakan alat tukar (uang) yang dibawa dan negerinya masing-masing. Akibatnya banyak mata uang asing dari berbagai negara beredar di kepulauan Indonesia. Hubungan dagang yang terjalin erat dengan India lambat laun mendatangkan ilham bagi penduduk lokal atau penguasa suatu kerajaan untuk membuat mata uang sendiri. Mata uang yang mereka buat sedikit-banyak menyerupai mata uang di India baik dalam wujud maupun satuan nilainya.

Dahulu di Jawa orang menggunakan potongan-potongan emas dan perak sebagai mata uang, sebagaimana diberitakan oleh kronik Cina dari jaman Dinasti Song (960-1279). Uang itu dibuat apa adanya, berupa potongan-potongan logam kasar berbentuk setengah bulat, segi empat atau segitiga. Potongan-potongan logam emas dan perak itu kemudian diberi cap yang menunjukkan benda itu dapat digunakan sebagai alat tukar. Tanda tera atau cap pada uang kebanyakan berupa gambar sebuah jambangan dan tiga kuncup/kuntum bunga, atau tiga pucuk/tunas daun. Diperkirakan uang semacam ini sudah digunakan sejak abad ke-7.

(Lihat lebih lanjut di: SINI)

Kamis, 21 Mei 2009

Melihat dari Dekat Museum BI


TAK banyak masyarakat yang mengenal Bank Indonesia (BI), sekalipun bank sentral ini merupakan lembaga yang sangat vital dalam kehidupan perekonomian bangsa ini. Kurangnya informasi yang diterima masyarakat tentang BI, salah satu penyebab kurangnya masyarakat mengenal BI. Kondisi itu menjadi salah satu pendorong bagi Bank Indonesia mendirikan Museum Bank Indonesia. Dengan adanya museum ini, diharapkan masyarakat luas akan mengetahui secara lebih jauh apa dan bagaimana peran BI. Termasuk untuk memberikan informasi jejak BI di masa lampau hingga sekarang.

Museum ini menjadi humas BI yang utuh. Bekal lain yang menguatkan tekad BI mendirikan museum adalah karena memiliki aset gedung tua, bekas De Javasche Bank, di Jln. Pintu Besar Utara, Jakarta. Gedung itu bersejarah dan sebelumnya juga merupakan kantor BI. Namun, setelah BI mempunyai kantor baru, gedung ini nyaris tidak dimanfaatkan. Oleh karena itu, gedung tersebut akhirnya digunakan sebagai museum.

Selain itu BI juga memiliki dokumen, benda-benda bersejarah, yang terkait dengan kegiatan BI di masa lampau, seperti berbagai macam uang yang pernah ada di Indonesia, dan benda lainnya. Semua itu kalau disimpan di satu tempat dan bisa dengan mudah diakses masyarakat, akan menjadi salah satu pengetahuan yang sangat penting. Maka museumlah, tempat yang paling tepat untuk menyimpan semua itu.

"Alasan-alasan itu lah, yang akhirnya mendorong BI mendirikan museum ini," kata Agus Santosa, salah seorang petugas Museum BI, menjelaskan kepada rombongan wartawan dari Tasikmalaya, termasuk dari Pikiran Rakyat, awal Desember lalu. Rombongan wartawan datang ke Museum BI, sebagai salah satu kegiatan yang dilakukan BI Tasikmalaya, di bawah Pimpinan H. Yoyo Soenarno. Dengan tujuan mengetahui lebih jauh tentang BI.

Museum itu, kata Yoyo Soenaryo, merupakan objek wisata yang bermanfaat karena akan memberikan banyak informasi tentang uang, kebijakan, dan lain-lain, yang dilakukan oleh BI. Museum ini memang belum lama berdiri. Tepatnya, mulai dibuka pada 15 Desember 2006 dan diresmikan oleh Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah. Saat "PR" berkunjung, proses penyelesaian rehab untuk pembangunan museum belum selesai. Saat ini, baru memasuki tahap pertama, dari dua tahap yang direncanakan. Sejumlah petugas bangunan terlihat sedang menyelesaikan perbaikan untuk tahap kedua. Diharapkan, akhir Tahun 2008, tahapan itu bisa selesai dikerjakan.

Rombongan dari Tasikmalaya ini merupakan pengunjung museum yang jumlahnya sudah mencapai 17.000 lebih. Selama ini, selain rombongan pers, banyak rombongan pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum berkunjung ke tempat ini. Pihak museum belum menarik bayaran dari setiap pengunjung. Untuk sementara, pengunjung hanya bisa menikmati fasilitas yang ada di tahap pertama."Pada tahap pertama ini, museum menampilkan berbagai informasi tentang sejarah Bank Indonesia sejak berdirinya pada tahun 1953, meliputi pula latar belakang dan dampak kebijakan-kebijakannya bagi masyarakat di masa lalu. Selain itu, terdapat pula fakta dan benda sejarah dari masa jauh sebelum Bank Indonesia berdiri yaitu pada masa kerajaan-kerajaan nusantara dan bagaimana mereka melakukan transaksi dagang dengan bangsa lain," kata Agus.

Petugas museum memberikan penjelasan tentang ruang-ruang yang ada, mulai dari depan gedung museum, yang memang sangat megah sekalipun masih bergaya arsitektur lama. Dari depan bangunan, rombongan dibawa ke lobi dan ke loket-loket bekas transaksi zaman dulu. Setelah itu, mulai berjalan ke ruang peralihan. Ruang peralihan ini merupakan ruangan pertama dari seluruh rangkaian kegiatan kunjungan ke museum.

Di tempat ini, para pengunjung bisa menikmati permainan interaktif melalui proyektor khusus. Saat itu, di dinding ruangan ada gambar mata uang. Kalau mata uang itu dilingkari oleh tangan kita, dengan sendirinya akan langsung muncul informasi tentang mata uang itu, seperti kapan waktu mulai dikeluarkan, hingga bahan baku yang digunakan.

Dari ruang peralihan ini, rombongan dibawa ke ruangan teater atau bioskop. Di ruangan itu, ada tempat duduk dengan kapasitas 45 orang. Ketika kami semua sudah masuk, ruangan menjadi gelap lalu diputar film sejarah BI dari zaman baheula sampai kondisi terakhir. Informasi itu diputar kurang lebih selama 30 menit. Perjalanan selanjutnya yaitu menuju ke ruangan sejarah pra-Bank Indonesia. Semua itu digambarkan lewat peta kuno yang cukup panjang, hampir menutupi semua dinding ruangan sejarah BI.

Ceritanya, proses kegiatan perdagangan masyarakat bangsa Indonesia zaman sebelum kemerdekaan. Jauh sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah menjadi pusat perdagangan internasional, seperti di Aceh dan lainnya. Sementara di daratan Eropa, merchantilisme (perdagangan bebas) telah berkembang menjadi revolusi industri dan menyebabkan pesatnya kegiatan dagang Eropa. Pada saat itulah muncul lembaga perbankan sederhana, seperti Bank van Leening di negeri Belanda.

Sistem perbankan ini kemudian dibawa oleh bangsa barat yang mengekspansi nusantara pada waktu yang sama. VOC di Jawa pada 1746 mendirikan De Bank van Leening yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank itu adalah bank pertama yang lahir di nusantara, cikal bakal dari dunia perbankan pada masa selanjutnya. Pada 24 Januari 1828, pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan nama De Javasche Bank (DJB). Selama berpuluh-puluh tahun bank tersebut beroperasi dan berkembang berdasarkan suatu oktroi dari penguasa Kerajaan Belanda, hingga akhirnya diundangkan DJB Wet 1922.

Masa pendudukan Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan Hindia Belanda untuk sementara waktu. Kemudian masa revolusi tiba, Hindia Belanda mengalami dualisme kekuasaan, antara Republik Indonesia (RI) dan Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA). Perbankan pun terbagi dua, DJB dan bank-bank Belanda di wilayah NICA sedangkan Jajasan Poesat Bank Indonesia dan Bank Negara Indonesia di wilayah RI.

Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian DJB sebagai bank sentral bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus bertahan hingga masa kembalinya RI dalam negara kesatuan. Berikutnya sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, RI menasionalisasi bank sentralnya. Maka, sejak 1 Juli 1953 berubahlah DJB menjadi Bank Indonesia, bank sentral bagi Republik Indonesia.

***

DARI ruangan prasejarah, rombongan masuk ke ruangan yang ada di sampingnya, berupa ruangan sejarah BI. Ruangan ini menampilkan berbagai cerita dan gambar, tertera di dinding, sejak BI berdiri tahun 1953 hingga tahun 2005 lalu. Ada tiga fungsi yang ditampilkan di ruangan ini. Fungsi pertama yaitu moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Di antara berbagai ruangan yang telah dilalui, justru ruangan numismatik yang paling banyak diminati oleh pengunjung. Di ruangan ini ditampilkan sejarah uang dan contoh-contoh uang yang pernah ada di Indonesia, sebelum kemerdekaan hingga sekarang.

Uang ditampilkan per periode dan ada juga uang yang pernah beredar di perkebunan, termasuk uang yang pernah beredar di perkebunan Cimahi dan sekitarnya. Uang perkebunan itu dibuat dari bambu. Kabarnya, waktu itu Belanda tidak punya uang untuk membayar pegawai perkebunan sehingga membuat mata uang sendiri dari bambu. Namun, uang perkebunan ini hanya berlaku di lokasi perkebunan sekitar Cimahi, tidak bisa dibawa ke luar. Sayangnya, tidak disebutkan tahun yang pasti, hanya sekitar tahun 1700.

Sejarah mencatat, mata uang pertama yang memiliki standardisasi yang berlaku pada zaman dulu yaitu di Kerajaan Mataram, ketika dipimpin Raja Syailendra, sekitar abad ke-9. Nama uangnya MASA atau MA, yang terbuat dari emas dan perak. Besarannya, sebiji jagung. Uang MASA juga ditemukan di Kerajaan Kediri/Daha, yang merupakan pecahan dari Mataram.

Di Majapahit, ketika dipimpin Raja Hayam Wuruk dengan Patih Gajah Mada dikenal mata uang MASA dan Gobog Wayang. Di Kerajaan Samudera Pasai/Aceh juga ada mata uang bernama MASA. Lalu, di Kerajaan Banten mata uang Gobog Banten. Di Kerajaan Buton juga ditemukan mata uang yang pernah berlaku pada abad ke-14. Waktu itu, Pemerintahan Buton dipimpin Ratu Bulawaba dengan membuat mata uang dari kain tenun.

Namun, yang menenunnya putri-putri dari kerajaan, bukan sembarang orang. Ukuran atau nilai tukar mata uang yang bernama Kampua/Bida ini, ditentukan oleh Menteri Besar Kerajaan. Nilai tukarnya sebesar empat jari tangan menteri, sama dengan satu butir telur. Namun, setiap tahun uang Kampua ini selalu berganti-ganti untuk menghindari pemalsuan.

Bagi warga yang ketahuan membuat atau memalsukan Kampua akan dihukum pancung. Banyak lagi cerita dari ceceran mata uang zaman dulu ini, termasuk mata uang dari Cina yang pernah masuk, lalu saat zaman penjajahan Belanda, Jepang, hingga akhirnya membuat mata uang sendiri pada tahun 1952 dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI).

Selain uang, ada juga benda-benda atau barang kuno era dulu yang berhubungan dengan BI.Dari ruangan numismatik, akhirnya rombongan diajak ke ruangan auditorium untuk mengikuti seminar atau diskusi tentang peran dan fungsi BI terkini. Ada beberapa pejabat BI yang memberikan informasi tentang BI tersebut. Selama kurang lebih tiga jam berada di tempat ini. Beragam informasi telah diperoleh, sekaligus menikmati keindahan artsitektur lama dari bangunan museum ini. Selain memperoleh pengetahuan, pengunjung juga dihibur dengan berbagai permainan yang disajikan petugas. Tidak lupa, ada juga beragam cenderamata yang ditawarkan di tempat ini. (Undang Sudrajat/"PR")***

(Sumber: Pikiran Rakyat Online)


Kamis, 07 Mei 2009

Pemalsuan Uang Bermotif Ekonomi dan Politis


Oleh: Djulianto Susantio
Numismatis, di Jakarta

Maraknya pemalsuan uang di Indonesia menunjukkan bahwa ekonomi masyarakat telah menurun drastis sedemikian rupa. Kesulitan hidup, sekaligus mencari keuntungan pribadi, rupanya menjadi faktor utama mengapa segelintir masyarakat mau melakukan kegiatan ilegal tersebut biarpun penuh risiko.

Meskipun yang menderita kerugian adalah anggota masyarakat juga, terlebih rakyat kecil, pemalsuan uang masih kerap terjadi hingga kini. Umumnya yang dipalsukan adalah uang kertas bernominal relatif tinggi, seperti Rp 20.000, Rp 50.000, dan Rp 100.000.

Pemalsuan uang dilakukan oleh perorangan dan kelompok karena kepentingan ekonomi. Ironisnya, para penegak hukum seperti jaksa, hakim, polisi, dan tentara, turut menjadi anggota sindikat. Menurut catatan Bank Indonesia, sejak 1998 volume peredaran uang palsu mencapai paling kurang Rp 6 milyar setahun.

Pada awalnya, pemalsuan uang bukan untuk tujuan kriminal. Seingat penulis, sekitar 1980-an segelintir orang hanya melakukannya untuk “mengisi waktu luang” atau “menciptakan karya kreatif”. Mereka menggunakan cairan kimia lalu menjiplaknya. Sebagian melukisnya secara langsung di atas secarik kertas. Iseng-iseng mereka membelanjakannya di warung, dan ternyata tidak dicurigai. Beberapa lembar uang palsu seperti ini, sekarang menjadi koleksi sejumlah numismatis senior Indonesia.

Namun sejak terjadinya krisis moneter 1997, pemalsuan uang ibarat sebuah industri besar. Apalagi dengan munculnya komputer canggih, scanner, dan printer berteknologi tinggi, dan mesin fotokopi berwarna.

Uang palsu biasanya diedarkan dengan berbagai cara, misalnya menukar satu bagian uang asli dengan beberapa bagian uang palsu. Kemudian satu-dua lembar dibelanjakan pada malam hari dengan maksud mengaburkan pandangan si penerima. Ironisnya, satu-dua lembar uang palsu justru diperoleh lewat mesin ATM, teller bank, atau kasir/bendahara kantor pada saat gajian.

Uang-uang palsu yang beredar ternyata nyaris sempurna buatannya, sehingga sulit dideteksi dengan mata telanjang, kecuali dengan detektor khusus lampu ultraviolet. Terbukti, meskipun pihak berwenang sudah sering melakukan sosialisasi dengan iklan layanan masyarakat 3-D (Dilihat, Diraba, Diterawang) di berbagai media massa, masyarakat awam—tak terkecuali para numismatis, kasir, dan teller bank—juga sering terkecoh.


Politis

Pada masa perjuangan Indonesia dulu, pemalsuan uang lebih bersifat politis. Uang-uang palsu itu dikeluarkan oleh pihak musuh, pemberontak, dan golongan separatis. Tujuannya adalah sebagai perang urat syaraf atau alat untuk memecah belah kesatuan bangsa.

Karena menerima uang palsu, maka rakyat jelata menjadi kalang kabut. Mereka tidak bisa menggunakan uang tersebut. Akibatnya pemerintahan yang sah menjadi sasaran kemarahan rakyat. Dengan demikian akan goyah karena perlawanan rakyat itu. Kelemahan ini lalu dimanfaatkan pihak musuh.

Sebenarnya pemalsuan uang, terutama uang kertas, sudah berlangsung sejak lama. Karena itu sejak awal penerbitan uang kertas, pihak berwenang selalu mencantumkan sanksi hukum. Uang kertas China dari masa kaisar Hung Wu (1368-1398), misalnya, memuat ketentuan yang kira-kira berbunyi: Barang siapa memalsu atau mengedarkan uang palsu, dikenakan hukuman.

Ketentuan hukum pun selalu termuat dalam uang-uang kertas kita sejak zaman Hindia Belanda hingga pascakemerdekaan. Meskipun redaksionalnya selalu berubah-ubah, namun intinya tetap sama, yakni setiap pelanggar akan dikenakan hukuman pidana. Simak saja beberapa ketentuan hukum berikut:

Didalam fatsal 244, 245 dan 249 dari Kitab Oendang Oendang hoekoeman ditetapkan hoekoeman oentoek jang meniroe atau memalsoekan oewang kertas dan oentoek jang mengeloearkan dengan sengadja, menjimpan atau memasoekkan oeang kertas lantjoeng atau jang didjadikan lantjoeng ke Hindia Belanda.

Undang2. Barang siapa jang meniru atau memalsu uang kertas Negara, atau dengan sengadja mengedarkan, menjimpan, ataupun memasukkan kedaerah Republik Indonesia uang kertas tiruan atau palsu, dapat dihukum menurut Kitab Undang2 Hukum Pidana pasal 244, 245 dan 249.

Barangsiapa meniru atau memalsukan uang kertas dan barangsiapa mengeluarkan dengan sengadja atau menjimpan uang kertas tiruan atau uang kertas jang dipalsukan akan dituntut dimuka hakim.

Barangsiapa meniru, memalsukan uang kertas dan/atau dengan sengaja menyimpan serta mengedarkan uang kertas tiruan atau uang kertas palsu diancam dengan hukuman penjara.


Resmi


Yang menarik dari segi sejarah, pemalsuan uang banyak terjadi pada masa Perang Dunia II. Ketika itu pemalsuan uang dilakukan secara “resmi”. Valuta Inggris, misalnya, pernah dijatuhkan uang kertas Pound palsu yang dikeluarkan atas persetujuan pihak Nazi.

Sebelumnya, Napoleon mengeluarkan uang palsu untuk memorakporandakan valuta negara-negara musuhnya. Kejadian serupa pernah dialami Hongaria saat Perang Dunia I. Yang dipalsukan adalah uang kertas Franc Prancis. Uni Soviet pada 1919 juga memalsukan uang kertas negara Baltic Lettland (sekarang Latvia).

Namun, tidak seluruh pemalsuan dianggap “merugikan” masyarakat atau pemerintah. Dunia numismatik pernah memetik “keuntungan” dari kasus ini, terlebih bila uang palsu tersebut diedarkan demi kepentingan politis. Koleksi demikian dipandang memiliki “nilai lebih” daripada uang palsu yang lazim dikenal. Beberapa jenis uang palsu justru menjadi lebih berharga karena merupakan bukti sejarah sosial dan sejarah perekonomian suatu negara.

Kini sebagian uang palsu tersebut masih mudah didapatkan. Hanya beberapa di antaranya sudah sukar diperoleh. Meskipun demikian harga uang palsu langka tidak setinggi uang langka yang asli.

Di Indonesia beberapa jenis ORI sangat sulit diidentifikasi kepalsuannya. Hal ini disebabkan kualitas kertas dan teknik pencetakan kala itu masih sangat sederhana. Banyak uang kertas menggunakan bahan seadanya, seperti kertas singkong, kertas roti, kertas merang, kertas tulis, dan kertas kopi. Ukuran kertas pun belum baku, bahkan ada yang hanya dicetak pada satu muka.

Uniknya, sejak beberapa tahun terakhir ini di negeri kita terjadi pemalsuan uang-uang lama. Diperkirakan pemalsuan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kolektor benda-benda numismatik dari dalam negeri dan mancanegara.

Umumnya yang dipalsukan adalah ORIDA (ORI Daerah). Ciri utama uang lama “aspal” itu antara lain kertasnya mulus dan tintanya mengkilap.

Sejauh ini pemalsuan uang logam jarang dilakukan orang karena nilai nominalnya relatif kecil, sementara biaya produksinya sangat mahal. Hanya pada beberapa uang logam lama, pemalsuan kadang-kadang dijumpai. Modusnya adalah mengubah angka tahun penerbitan untuk memberi kesan tua, misalnya dari 1879 diubah menjadi 1679. Hal ini dilakukan karena orang awam beranggapan, semakin tua umur suatu koleksi, harganya akan semakin mahal.

Koleksi uang palsu bukan tidak bermanfaat sama sekali. Keberadaannya dapat dipakai sebagai indikator maju mundurnya perekonomian negara. Di mata ilmuwan, uang asli dan uang palsu sama-sama merupakan sumber sejarah berharga.***

Sabtu, 28 Maret 2009

Museum Uang Berdimensi Kultural Edukatif


Kehadiran ORI sangat dramatis dan patut dihargai setinggi-tingginya. Ini karena pada masa prakemerdekaan banyak percetakan ditutup atau dihancurkan, banyak peralatan cetak disita, dan uang hasil cetakan dimusnahkan oleh pihak kolonialis. Bahkan banyak pegawai percetakan ditembak mati karena berusaha menyelamatkan mesin cetak dan hasil-hasil cetakannya.

Dalam perjalanannya selama 59 tahun, pemerintah telah menerbitkan ratusan pecahan uang kertas dan uang logam (koin). Dari segi kuantitas, jumlah sebanyak itu belumlah tinggi. Apalagi jika dibandingkan dengan banyak negara berkembang lainnya. Jumlah yang masih relatif sedikit itu menjadikan uang-uang kita masih kurang diperhatikan orang sebagai salah satu benda budaya sekaligus sumber informasi berbagai ilmu pengetahuan dan objek numismatik.


Zaman Purba

Sesungguhnya uang sebagai alat tukar sudah dikenal luas masyarakat Indonesia sejak zaman purba. Pada awalnya, orang hanya menerapkan sistem barter dalam transaksi. Namun kemudian dirasakan sistem itu kurang efisien sehingga orang menggunakan alat tukar yang lebih pantas. Objek yang dipilih adalah benda-benda yang tahan lama dan dikenal banyak orang. Yang paling umum adalah kulit kerang, manik-manik, dan batu. Jenis uang ini dikenal sebagai uang primitif dan dipergunakan pada masa prasejarah.

Pada masa klasik, yaitu masa pengaruh kerajaan-kerajaan kuno bercorak Hindu dan Buddha, pemakaian mata uang sudah semakin maju. Kerajaan Sriwijaya, misalnya, memakai uang Namo. Kerajaan Jenggala, mengenal uang emas Krishnala dalam berbagai ukuran. Pada masa kemudian, kerajaan Majapahit memakai uang perak Teratai, uang perak Kancing, uang Gajah Mada, uang Buddha, dan uang Gobog.

Pada masa kesultanan Islam, yang paling populer adalah uang dinar dan uang dirham, terbuat dari emas dan perak. Selain itu dikenal uang timah, uang tembaga, uang kepeng, dan uang picis. Yang unik adalah uang kesultanan Buton yang disebut kampua. Uang berbahan kain itu ditenun sendiri oleh putri-putri kraton Buton.

Uang-uang mancanegara pernah beredar pula di seluruh Nusantara, seiring pesatnya perdagangan internasional. Uang mancanegara bisa dikategorikan dua jenis, yakni uang Timur (China, Jepang, Annam, Persia, India, Arab) dan uang Barat (Belanda, Inggris, Spanyol, Portugis, Austria).

Sayangnya, perjalanan sejarah uang-uang Indonesia purba hingga masa pasca kemerdekaan, baru sedikit saja yang terekam dalam museum. Salah satu museum yang menyimpan uang-uang kuno Indonesia adalah Museum Artha Suaka (artha = uang, suaka = tempat perlindungan). Museum milik Bank Indonesia itu terletak dalam kompleks Bank Indonesia, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

Museum Artha Suaka juga menyimpan beberapa surat perjanjian dagang dari masa VOC. Bahkan sejumlah koleksi dilengkapi tulisan yang menggunakan darah manusia untuk menunjukkan keotentikannya.

Ada pula uang perkebunan, uang yang hanya beredar di wilayah perkebunan dalam lingkungan tanah partikelir. Uang perkebunan merupakan alat pembayaran khusus yang hanya berlaku di daerah setempat.

Koleksi Museum Artha Suaka yang tergolong unik dan langka adalah uang pecahan 0,25 cent keluaran tahun 1934. Pecahan yang berbahan perunggu itu merupakan satu-satunya uang percobaan.

Museum Artha Suaka belum terbuka bebas untuk umum. Namun masyarakat umum boleh mengunjungi museum ini dengan izin khusus Bank Indonesia.

Dalam skala lebih kecil, perjalanan sejarah bangsa lewat uang, bisa disaksikan di Museum Reksa Artha (reksa = memelihara, artha = uang). Lokasinya di Jalan Lebak Bulus I, dekat RS Fatwamati, Jakarta Selatan. Museum ini pun masih belum terbuka bebas untuk umum, karena merupakan museum pribadi Perum Peruri. Yang memrihatinkan, keadaan museum ini seperti “hidup segan, mati tak mau”.

Tak banyak koleksi uang di tempat ini. Yang mengharukan, di sini tersimpan mesin-mesin cetak uang, mesin potong, alat foto repro, dan kelengkapan percetakan ORI. Dengan begitu diharapkan kita akan mengenang para perintis ORI. Mereka bukan saja menjadikan ORI sebagai alat pembayaran, tetapi juga sebagai atribut utama negara merdeka dan berdaulat, alat pemersatu bangsa, dan alat perjuangan di mata dunia internasional.

Peran uang sebagai sumber sejarah dan sumber ilmu pengetahuan, juga bisa dilihat di Museum Nasional, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Koleksi-koleksi itu terdapat di Ruang Numismatik, antara lain berupa uang-uang kuno yang diperoleh lewat ekskavasi arkeologi.

Museum ini sudah terbuka untuk umum. Namun jumlah koleksinya masih jauh dari memuaskan masyarakat awam.

Rencananya di daerah Jakarta Kota akan berdiri Museum Bank Mandiri. Kita harapkan koleksi museum itu akan menjadi primadona, sehingga bermanfaat sebagai objek studi dan objek pariwisata.


Gudang Ilmu

Sebagai negara yang dipandang berkebudayaan tinggi dengan urutan sejarah yang panjang, seharusnya kita mempunyai museum uang yang besar, minimal merupakan gabungan Museum Artha Suaka, Museum Reksa Artha, Museum Nasional, dan Museum Bank Mandiri. Tak dimungkiri kalau perhatian pemerintah dan berbagai kalangan terhadap museum masih sangat kecil.

Ini karena museum masih dianggap sebagai gudang barang-barang rongsokan. Bandingkan dengan negara-negara maju, yang sudah memperlakukan museum sebagai gudang ilmu pengetahuan. Taruhlah Jerman yang salah satu museumnya memiliki koleksi uang-uang kuno dari seluruh dunia yang mencapai ratusan ribu buah. Bahkan museum-museum di sana sudah dilengkapi dengan perangkat canggih, seperti komputer dan audio visual untuk membantu pengunjung.

Museum uang yang representatif memang masih menjadi dambaan kita semua, terutama para numismatis, arkeolog, sejarawan, dan peneliti. Mudah-mudahan pendirian museum yang berdimensi kultural edukatif atau edutainment bisa terlaksana secepatnya. Dengan demikian banyak hal bisa dipetik lewat uang, misalnya mengetahui sejarah perekonomian, melacak sejarah seni grafis, membandingkan sejarah teknologi, dan memperluas wawasan sejarah politik.***

DJULIANTO SUSANTIO
Arkeolog, Numismatis

Selasa, 17 Maret 2009

Sekilas Cerita tentang Rupiah


Oleh : Hotma D. L. Tobing


"Besok tanggal 30 Oktober 1946 soeatoe hari jang mengandoeng sedjarah bagi tanah air kita. Rakjat kita menghadapi penghidoepan baroe. Besok moelai beredar Oeang Repoeblik Indonesia sebagai satoe-satoenja alat pembajaran jang sah. Moelai poekoel 12 tengah malam nanti, oeang Djepang jang selama ini beredar sebagai oeang jang sah, tidak lakoe lagi. Beserta dengan oeang Djepang itoe ikoet pula tidak lakoe oeang De Javasche Bank. Dengan ini toetoeplah soeatoe masa dalam sedjarah keoeangan Repoeblik Indonesia. Masa jang penuh dengan penderitaan dan kesoekaran bagi rakjat". Demikian isi pidato Bung Hatta, 30 Oktober 1946 di RRI pukul 00.00 WIB.


Awal Mula Uang

Zaman dulu insan memenuhi kebutuhan dengan hasil ladang dan buruan. Zaman berkembang, kebutuhan pun meningkat sehingga insan menukarkan barang yang dimilikinya dengan barang yang dimiliki orang lain. Nenek moyang kita memenuhi segala kebutuhan sandang, pangan dan papan dari lingkungan mereka. Seiring dengan bertambahnya kebutuhan dalam kelompok masyarakat maka muncullah proses innatura atau barter suatu proses tukar-menukar barang dengan barang.

Tatkala kehidupan manusia semakin kompleks, barter pun bertumbuh subur. Konon pada 1626 Peter Minuit menukarkan manik-manik dan barang perhiasan kecilnya seharga US $ 24 dengan pulau Manhattan. Pada tahun 1993 total pulau ini diperkirakan bernilai US $ 50,4. Di Indonesia justru sistem barter ini masih ditemukan di beberapa masyarakat pedalaman seperti suku Sasak, Badui dalam dan luar, suku Sakai, dan lain-lain.

Misalnya sejumlah hasil kebun seperti buah sawo, manggis diletakkan di pinggir jalan untuk ditukar dengan gula, garam, pakaian, dan lain-lain. Tatkala dalam perkembangan zaman, perdagangan berkembang semakin pesat, orang kemudian menemukan jalan keluar dimana lahirlah uang. Pada akhirnya uang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, terutama dalam melakukan perdagangan sebagai alat pembayaran (baca: Dana dan Investasi terbitan Bapepam dan Capital Market Society 1996).


Sejarah Rupiah

Sejarah suatu bangsa sangat erat kaitannya dengan lahirnya uang. Demikian pula tentunya dengan sejarah uang rupiah di negara tercinta Indonesia. Rupiah berasal dari rupee, bahasa Sansekerta yang bermakna perak. Usai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 diumumkan, pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk mengeluarkan mata uang sendiri.

Oeang Repoeblik Indonesia atau ORI adalah mata uang pertama yang dimiliki Republik Indonesia setelah merdeka. Pemerintah memandang perlu untuk mengeluarkan uang sendiri yang tidak hanya berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah tapi juga sebagai lambang utama Negara merdeka. ORI resmi beredar pada tanggal 30 Oktober 1946.

ORI tampil dalam bentuk uang kertas bernominal satu sen dengan gambar muka keris terhunus dan gambar belakang teks Undang-undang. ORI ditandatangani Menteri Keuangan saat itu A.A. Maramis. Pada hari itu juga dinyatakan bahwa uang Jepang dan uang De Javasche Bank tidak berlaku lagi.

ORI pertama kali dicetak di Percetakan Canisius dengan desain sederhana dengan dua warna dan memakai pengaman serat halus. Tahun kedua setelah ORI diterbitkan, ada peristiwa tragis yang mengenaskan bangsa kita. Ketika PKI menguasai Madiun dan Ponorogo, sebagian hasil cetakan diangkut ke Sawahan-Nganjuk dan dihancurkan. Bahkan Belanda yang sempat menguasai Madiun, tanggal 18 Desember 1948 turut pula mengacaukan proses pemindahan alat percetakan.

Soetijpto, pimpinan percetakan ORI ditangkap dan ditembak mati. Meski masa peredaran ORI cukup singkat, namun ORI telah diterima di seluruh wilayah Republik Indonesia dan ikut menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajah. Inilah wujud eksistensi kemerdekaan republik ini, dan bukti bahwa Kemerdekaan merupakan perjuangan rakyat Indonesia dan bukan pemberian dari bangsa lain.

Sekelumit peristiwa sejarah uang RI, seyogyanya mengingatkan bangsa Indonesia untuk lebih menghargai uang. Mencari uang tidaklah mudah, bahkan proses awalnya juga meninggalkan sebuah tragedi. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, pemerintah menetapkan beberapa ketentuan yang mengatur tentang jenis mata uang yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah.

Pertama, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah RI tanggal 2 Oktober 1945, menetapkan bahwa uang NICA tidak berlaku lagi di wilayah RI.

Kedua, pemerintah mengeluarkan Maklumat Presiden RI No. 1/10 tanggal 3 Oktober 1945, menetapkan beberapa jenis uang yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Indonesia. Setelah itu pemerintah melalui Undang-undang No. 17 tahun 1946 secara resmi menetapkan pengeluaran "Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Pada saat Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, di negeri kita beredar empat jenis mata uang.

Pertama, uang sisa zaman kolonial Belanda, De Javasche Bank. Kedua, uang yang sudah dipersiapkan oleh Jepang sebelum menguasai Indonesia dengan bahasa resmi Hindia Belanda, yaitu mata uang De Japansche Regeering dengan satuan gulden yang dikeluarkan tahun 1942.

Ketiga, uang pendudukan Jepang menggunakan bahasa Indonesia, Pemerintah Dai Nippon emisi 1943 dengan pecahan bernilai 100 rupiah.

Keempat, Dai Nippon Teikoku Seihu, emisi 1943 bergambar Satria Gatot Kaca dengan pecahan bernilai 10 rupiah, bergambar rumah gadang Minang dengan pecahan bernilai 5 rupiah. Selanjutnya pengaturan pengeluaran ORI termasuk mengenai nilai tukarnya terhadap uang yang beredar lainnya ditetapkan dalam Undang-undang No. 19 tahun 1946. ORI ditetapkan secara sah mulai berlaku 30 Oktober 1946, pukul 00.00. Wakil Presiden RI Mohammad Hatta menyampaikan pidato sambutannya atas berlakunya ORI melalui siaran Radio Republik Indonesia Yogyakarta (62 tahun ORI, dari ORI sampai Reformasi, Koperasi Sejahtera Anggaran- Depkeu RI)


Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) Daerah


Ketika ibukota pemerintahan pindah ke Yogyakarta, hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terputus. Suasana yang tidak kondusif pada masa itu mengakibatkan langkanya ORI di daerah-daerah tertentu, maka pemerintah memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk menerbitkan uang kertas atau tanda pembayaran yang sah yang berlaku secara terbatas di daerah.

Uang darurat di daerah provinsi Sumatera Utara (ORIPS) yang pada mulanya dicetak di Pematang Siantar, misalnya diedarkan pada tanggal 11 April 1947. Pecahan terdiri dari nilai nominal 1, 5, 10, dan 100 rupiah. Pengeluaran diatur dengan ketentuan yang berlaku. Kemudian melalui PP No. 19/1947 tanggal 26 Agustus 1947, yang dikenal dengan URIDA. Penerbitan uang tersebut dijamin oleh Pemerintah dan dapat ditukar dengan ORI.

Beberapa URIDA yang pernah terbit antara lain:

* ORIDAB-Uang Kertas Darurat untuk Daerah Banten
* ORIPS-Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera
* Surat Tanda Penerimaan Uang untuk Yogyakarta
* Kupon Penukaran Uang untuk Jambi
* Tanda Pembayaran yang sah untuk Keresidenan Lampung
* Mandat Dewan Pertahanan Daerah Palembang (DPDP)
* Tanda Pembayaran yang sah berlaku untuk Sumatera Selatan
* Bon Pemerintah Negara Repoeblik Indonesia kabupaten Asahan
* Mandat Pertahanan untuk Daerah Keresidenan Lampung
* Tanda Pembayaran yang sah berlaku untuk daerah Aceh


Pengguntingan dan Pengebirian uang


Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, konfrontasi fisik dengan Belanda praktis tidak terjadi lagi, tetapi rupiah masih belum bebas dari cobaan. Pahit getirnya perjalanan rupiah masih berlanjut di kurun Ekonomi Liberal (1950-1959). Pada masa itu, ada peristiwa sejarah yaitu "gunting Syafruddin". Secara harfiah maksud dari perkataan itu memang terjadi pengguntingan (potongan) uang rupiah menjadi dua bagian.

Bagian kiri sampai tanggal 9 April 1950 pukul 18.00 tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai separuhnya. Sedangkan guntingan sebelah kanan dapat ditukar dengan obligasi Negara 3 % per tahun dan akan dibayar dalam jangka waktu 43 tahun.

Kejadian ini didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan RIS Mr. Syafruddin Prawiranegara Nomor PU.1 dan PU.2. Uang yang menjadi objek "gunting Syafruddin" adalah uang kertas De Javasche Bank dan uang NICA yang ditujukan untuk menyedot jumlah peredaran uang yang terlalu banyak, menghimpun dana pembangunan, dan menekan defisit anggaran belanja.

Sementara itu fenomena moneter lain yang tak kalah menarik, terjadi pula sembilan bulan berikutnya yakni 25 Agustus 1949 di mana pecahan uang bernilai diatas Rp 100,- diturunkan menjadi sepersepuluh nilai semula (dikebiri) oleh Keputusan Kerja, Rupiah Presidensial pertama setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1949 untuk kembali ke UUD 1945.

Di samping itu pula ada ketentuan bahwa simpanan bank berjumlah lebih dari Rp 25.000,- dibekukan dan didevaluasikan terhadap dollar AS dari 1 : 11,4 menjadi 1 : 11,45. Kebijaksanaan ini ditujukan terutama kepada kaum spekulan dan pemegang uang panas. Tetapi kenyataannya hampir seluruh masyarakat terkena imbasnya.

Setelah itu sejarah uang masih bergema di masa ekonomi terpimpin (1959-1965) hingga masa orde baru (1966-1998). Kini 62 tahun kita telah menggunakan sebagai alat pembayaran sah. Dirgahayu Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(Sumber: www.kabarindonesia.com)

Senin, 09 Maret 2009

Tentang Rupiah dan Duit


Oleh: DJULIANTO SUSANTIO


Sering kali orang bertanya, mengapa mata uang negara kita disebut rupiah? Sayangnya, pertanyaan itu masih sulit dijawab secara pasti (ilmiah). Sejak lama banyak orang menafsirkannya secara hipotesis berdasarkan hal yang mereka tahu, baca, dan dengar saja. Mencari di internet pun relatif sukar. Belum ada nara sumber yang mampu menguraikannya secara panjang lebar.

Sejumlah sumber hanya mengatakan, nama rupiah pertama kali digunakan secara resmi ketika dikeluarkannya mata uang rupiah pada zaman pendudukan Jepang (1943). Jadi sebelum Indonesia menjadi negara berdaulat penuh. Ketika itu Dai Nippon Teikoku Seihu mengedarkan lima jenis pecahan, yakni pecahan setengah roepiah, satoe roepiah, lima roepiah, sepoeloeh roepiah, dan seratoes roepiah. Sebelumnya di daerah yang disebut Indonesia sekarang, orang menggunakan Gulden Belanda.

Namun, menurut seorang penulis di internet, nama rupiah sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka. Alasannya, dia memiliki uang setengah sen tahun 1860. Di situ tertulis, “Saporo rong-atus rupiyah” (seperduaratus rupiah). Kalau seperseratus rupiah adalah satu sen, maka seperduaratus rupiah adalah setengah sen. Teori ybs tentu saja masuk akal.

Diperkirakan nama rupiah berasal dari nama mata uang India, rupee. Hubungan India dengan Indonesia memang sudah terjalin erat sejak abad V. Bisa dikatakan sejarah kuno Indonesia yang bercirikan Hinduisme dan Buddhisme sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India. Karena itu tidak heran kalau kita banyak mengadopsi hal-hal berbau India, termasuk bahasa Sansekerta.

Tafsiran lain mengatakan rupiah berasal dari bahasa Sansekerta ru-pya yang berarti perak, khususnya perak yang ditempa atau dicetak. Ada pula yang menduga, kata rupiah berasal dari dialek daerah tertentu. Yang ekstrem berpendapat, rupiah berasal dari nama teman perempuan Presiden Soekarno.

Seperti halnya dollar dan peso yang dipakai di banyak negara, nama rupee dengan modifikasinya juga digunakan di sejumlah negara yang dipengaruhi kebudayaan India itu. Selain di India sendiri, rupee adalah nama mata uang di Pakistan, Srilanka, dan Nepal. Bunyi yang mirip terdapat di Maladewa (rufiyaa), Seychelles (roupi), dan Mauritius (roupie).


Duit

Sebenarnya, banyak orang awam sudah mafhum kalau duit identik dengan uang. Namun umumnya kata uang dihubungkan dengan bahasa Indonesia, sementara duit cenderung ke dialek Jakarta (Betawi). Sesungguhnya, duit berasal dari kata Doit, yakni sebutan bagi uang receh kuno Eropa dari abad XIV. Pada awalnya, Doit terbuat dari bahan perak dengan nilai tukar setara dengan 1/8 Stuiver. Pada abad XIV itu 1 Gulden = 20 Stuiver. Jadi 1 Gulden = 160 Doit.

Ketika itu Doit menjadi satuan mata uang terkecil di Belanda, seperti halnya Penny di Inggris. Sejak 1573 Doit tidak lagi terbuat dari perak. Karena bahan itu dianggap mahal, bahannya diganti tembaga yang lebih murah.

Doit masuk ke Kepulauan Nusantara sejak 1726. Semula Doit harus didatangkan dari Belanda. Tetapi mengingat pengiriman dengan kapal sering mengalami hambatan, misalnya waktu perjalanan lama dan gangguan bencana alam, sementara di pihak lain kebutuhan akan uang kecil terus meningkat, maka pemerintah Belanda mengizinkan VOC untuk menempanya sendiri di Batavia dan Surabaya.

Doit yang dibuat di Nusantara terdiri atas dua jenis. Pertama, berbahan tembaga dengan ciri-ciri berbentuk bundar, berwarna coklat, bertulisan JAVA, dan dilengkapi angka tahun pembuatan. Kedua, berbahan timah dengan ciri-ciri berbentuk bundar, ada inisial LN dan lambang VOC, ada tulisan Arab Melayu duyit, dan dilengkapi angka tahun pembuatan.

Umumnya Doit dikeluarkan untuk gaji pegawai. Kalau pegawai VOC lebih banyak menerima Gulden untuk jerih payahnya karena bergaji tinggi, maka pegawai bumiputera justru bergaji kecil. Sekadar gambaran, pada 1888 pendapatan per kapita orang Eropa sebesar 2.100 gulden dan orang asing lainnya 250 gulden. Sementara pendapatan bangsa bumiputera hanya 63 gulden atau 5,25 gulden per bulan. Karena terlalu sering menerima doit atau duyit alias uang recehan, maka istilah itu sangat akrab di telinga mereka. Lama-kelamaan istilah itu berubah menjadi duit, sesuai lidah bangsa Indonesia. Istilah itu terus dikenal sampai sekarang, tanpa ada perbedaan nilai besar atau kecil.***

Pornografi pada Koleksi Numismatik


Oleh: DJULIANTO SUSANTIO

Masalah pornografi selalu menjadi bahan perdebatan berbagai kalangan karena dianggap dapat menimbulkan efek negatif pada masyarakat. Dampak terparah adalah merusak moral para remaja atau anak-anak yang umumnya belum mengerti batasan pornografi.

Tapi entah disadari entah tidak, di pasaran banyak dijual karya-karya seni yang memerlihatkan ketelanjangan. Justru karya-karya itu menjadi komoditi perdagangan yang selalu dicari orang.

Ironisnya, di banyak daerah di Indonesia, seperti di pedalaman Papua, Kalimantan, Sumatra, dan Bali banyak penduduk asli masih menggunakan pakaian minim. Bahkan banyak kaum wanita di sana tidak memakai penutup dada. Dari segi etnografi tentu sulit dikategorikan pornografi karena mereka adalah penduduk asli yang melestarikan kebudayaan nenek moyang mereka.

Ternyata, suku bangsa tradisional yang memegang adat leluhur juga masih banyak terdapat di Afrika, benua yang dianggap masih terbelakang. Salah satunya adalah Swaziland. Namun berkat produk numismatiknya, berupa uang kertas bernilai 1 Lilangeni emisi 1968, maka Kerajaan Swaziland (sebuah negara kecil di dekat Afrika Selatan), menjadi bahan perbincangan numismatis dunia.

Pada uang kertas itu, sisi utama bergambar Raja Shobuza II. Sisi sebaliknya menampilkan sembilan wanita dengan pakaian minim tanpa penutup dada. Mereka adalah para isteri Raja Shobuza II. Apakah ini termasuk gambar porno atau bukan, tentu tergantung penilaian masing-masing.

Nyatanya sejak beberapa tahun lalu, uang Swaziland merupakan salah satu primadona uang asing sebagai benda koleksi. Benda ini banyak diburu kolektor dari sejumlah negara, termasuk dari Indonesia.

Kini ketenaran uang kertas tersebut malah semakin meningkat setelah salah satu keturunan Raja Shobuza II, yakni Raja Mswati III menikah secara resmi dengan Noliqhwa Ntentesa pada 2005 lalu. Ntentesa adalah isteri ke-11 Raja Mswati III.

Pada awalnya pernikahan tersebut banyak ditentang oleh para pekerja sosial. Ini karena Swaziland merupakan negara yang memiliki tingkat infeksi HIV tertinggi di dunia. Ntentesa dipilih oleh Raja Mswati III pada 2002 lalu di sebuah acara dansa tahunan. Dua gadis lagi, konon sedang menunggu giliran dinikahkan dengan raja. Raja Swaziland sendiri pernah datang ke Indonesia pada Oktober 2007 lalu dan sempat bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sayang, berita tentang kedatangannya kurang mendapat perhatian pers nasional.

Yang menambah kepopuleran uang tersebut adalah karena Sang Raja mempunyai gaya hidup yang luar biasa tinggi. Demi membahagiakan ke-11 isterinya itu, Sang Raja memerintahkan pembangunan istana bagi setiap isterinya. Sang Raja juga menghabiskan duit jutaan dollar untuk membeli sedan mewah buat para mertuanya, pesawat jet kerajaan, dan merenovasi tiga istana utamanya. Konyolnya lagi, Sang Raja memiliki koleksi puluhan mobil mewah. Padahal, sejak lama negaranya dilanda krisis pangan berkepanjangan sehingga rakyatnya hidup serba kekurangan. Dan lagi, tingkat pengangguran di negaranya juga tertinggi di dunia.

Perilaku Raja Mswati III rupanya setali tiga uang dengan ayahnya. Saat meninggal pada 1982, Raja Shobuza II “mewariskan” 70 isteri. Buseeeet! Entah, apakah prestasi Raja Swaziland ini masuk Guiness Book of World Records atau tidak.

Negara Afrika lainnya yang pernah mengeluarkan mata uang “berbau” pornografi adalah Benin. Pada koin bernilai 1000 Francs emisi 1992 itu juga tergambar jelas bagian dada seorang wanita. Namun kepopuleran uang Benin tidak setinggi uang Swaziland. Meskipun banyak diburu kolektor, harga pasaran benda-benda numismatik tersebut tidak begitu tinggi.

Yang lebih klasik adalah koin perak Yunani kuno yang berusia 2000 tahun lebih. Pada koin itu terpampang gambar seorang pria dalam keadaan telanjang bulat. Memang, seni Yunani kuno banyak memperlihatkan hal demikian. Tidak heran bila pameran patung kuno Yunani di Jakarta beberapa tahun lalu menimbulkan pro kontra. Akibatnya, bagian vital patung terpaksa ditutupi kain putih agar sang patung tidak “malu”.

Ternyata koin “jorok” itu pernah laku dalam suatu pelelangan di London pada 1995 seharga 100.000 dollar lebih. Coba saja kurskan dengan rupiah! Tentu saja koleksi itu berharga mahal bukan karena gambarnya, melainkan karena benar-benar unik dan langka. Nah, meskipun berkesan pornografi, ternyata keunikan, kelangkaan, dan kepopuleran sangat menunjang harga sebuah koleksi. Apalagi, sering menjadi bahan berita, berarti semakin menambah kepopuleran koleksi tersebut dan tentu saja semakin mahal harganya. Ini sudah menjadi hukum dalam dunia bisnis.***

Selasa, 03 Maret 2009

Varia Numismatik (III)


Koban Batavia
  • Pada sebuah lelang internasional 1988, uang koban Batavia yang berbentuk lempengan emas tipis laku seharga kira-kira Rp 4,5 juta (kurs waktu itu)

Uang Jepang
  • Pada abad XVII pihak penguasa VOC memberikan cap singa di atas beberapa uang emas daerah di Jepang guna diedarkan di Indonesia.

Uang atau Token?
  • Inflasi yang hebat menyebabkan masyarakat Bolivia yang akan menggunakan telepon umum harus menggunakan uang logam 5 pesos (1976-1980), padahal merupakan pecahan tertinggi dalam peredaran. Pemanfaatan uang sah yang sudah tidak bernilai lagi, sebagai token (alat tukar) telepon lebih menghemat biaya daripada harus membuat token khusus. Pihak instansi telkom Bolivia (TASA) menjualnya di bawah tarif resmi yang berlaku kepada orang-orang buta atau orang-orang cacad sehingga mereka dapat menjual kembali kepada pemakai telepon umum. Dengan demikian ikut membantu dalam memecahkan masalah pengangguran.

1000 Kali Lipat
  • Majalah Life pernah menawarkan hadiah $1000 kepada siapa saja yang dapat mengembalikan uang kertas AS $1 (1985) seri nomor G 27909101 H di peredaran. Uang tersebut mempunyai kisah yang unik bagi majalah Life dan telah berumur sekitar 18 bulan sejak pengeluarannya.

Uang Sindiran
  • Taxed Dollar (Dollar Kena Pajak) dari Republik Pisang Taxtralia adalah uang kertas sindiran yang diterbitkan pada 1985 dan diberlakukan kembali pada 1986-1987 oleh sekelompok masyarakat yang memprotes pajak yang dianggap tinggi di Australia. Tulisan bagian belakang menyatakan bahwa pembayar pajak bekerja 161,5 hari pada 1984 untuk program pajak pemerintah.

Lencana Lindeteves
  • Pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945) pabrik cat terbesar Lindeteves yang berlokasi di daerah Jakarta Kota, membuat lencana (tanda pengenal) yang sangat sederhana bagi para karyawannya. Di dalam lencana tertera angka (mungkin menunjukkan nomor urut pegawai) dan huruf Jepang. Lencana ini terbuat dari tembaga yang disepuh nikel. Bagian belakang kosong sama sekali. Beratnya kira-kira 13 gram dan berdiameter kira-kira 32 mm. Sesaat setelah proklamasi kemerdekaan RI pabrik cat Lindeteves ini mempunyai andil dalam proses percetakan uang RI pertama (ORI Djakarta).

Uang Kertas Marcos
  • Uang kertas Filipina 500 Piso yang menggambarkan Presiden Marcos tidak jadi beredar karena revolusi Februari 1986 yang menyebabkan Marcos tersingkir. Sebagian besar uang kertas ini telah dimusnahkan, namun Bank Sentral Filipina masih menyimpan sebagian kecil sampai menjelang perubahan situasi politik. Tiga klub numismatik telah mengirimkan surat kepada Gubernur Bank Sentral mengenai pengeluaran uang tersebut untuk kepentingan para numismatis. Mereka yakin bahwa Bank Sentral menyimpan surat tersebut untuk dibicarakan dengan Presiden Aquino pada saat yang tepat.

Uang Fantasi
  • Mei 1988 Balai Lelang Sotheby menjual uang kertas fantasi 1 juta poundsterling (bertahun 1903) yang dibuat untuk film “Million Pound Note” yang dibintangi oleh Gregori Peck seharga 1500 poundsterling, jauh di atas harga taksiran 1000 poundsterling. Uang ini sedikit mirip dengan uang kertas Inggris (Bank of England) dengan tanggal dan tanda tangan fiktif. Pada kenyataannya uang kertas dengan pecahan sedemikian besar tidak pernah dikeluarkan untuk peredaran biasa.

(Sumber: Berbagai Berita PPKMU)

Senin, 02 Maret 2009

Varia Numismatik (II)

  • Uang logam kuno adalah objek peninggalan sejarah terlengkap, teringan, dan mungkin termurah.
  • Uang emas (derham mas) Aceh mencakup kurun abad XII/XIII – XIX, rangkaian terpanjang dalam sejarah numismatik Indonesia dan bukti peninggalan kebesaran kerajaan-kerajaan di Bumi Rencong.
  • J.P. Moquette adalah numismatis terbesar di Indonesia. Koleksi-koleksinya yang kini menjadi milik Museum Nasional merupakan koleksi numismatik terbesar di Asia Tenggara. Karya-karya penelitiannya yang sangat kompleks menjadi dasar acuan numismatik kolnial hingga kini.
  • Uang bantal adalah julukan untuk uang kertas darurat (revolusi) Labuan Batu (Orlab 1947-48). Karena inflasi yang hebat, penduduk harus membawa setumpuk uang hanya untuk membeli secangkir kopi. Sayangnya sedikit sekali tersisa, sehingga menjadi sangat langka.
  • Jawa adalah uang logam perak terkecil dan teringan di dunia. Uang 1 Jawa (1/512 mohar) mempunyai berat 1/100 (0,01) gram. Kadang-kadang Jawa dibagi lagi menjadi ¼ Jawa yang beratnya 0,002 gram dan berukuran sekitar 2 mm.
  • Di Jawa Tengah uang kertas pendudukan Jepang pernah dipakai sebagai prangko pada masa revolusi.
  • Semua jenis uang bisa bercerita tentang berbagai masalah.
  • Uang tembaga gobog wayang menampilkan episode-episode yang menarik.
  • Uang kertas darurat tulisan tangan sudah lazim dipakai pada zaman pendudukan Belanda.
  • Banyak jenis uang lokal Indonesia terkubur ditelan zaman.
  • Kuantitas dan frekuensi penyebaran uang asing di Indonesia tidak merata pada masa lampau.
  • Uang emas derham Aceh dikabarkan mengungkapkan kemurahan hati raja-raja dan ratu-ratu (sultan-sultan dan sutanah-sultanah) Aceh kepada rakyatnya.
  • Uang kebun merupakan hasil dari zaman kuli kontrak abad XIX.
  • Saham-saham darurat di Sumatera mirip uang kertas.
  • Medali-medali pejuang kemerdekaan pernah dibuat dari pecahan peluru.
  • Ketidaksabaran bisa membuahkan hasil produksi uang sendiri pada masa revolusi.

(Sumber: Berita PPKMU, Agustus 1992 dan Desember 1995)

Minggu, 22 Februari 2009

Memahami Sejarah Bangsa Melalui Uang


JAKARTA—Uang bukan sekadar alat tukar, tetapi juga cermin dari puncak-puncak peradaban dari suatu entitas politik dan budaya tertentu yang hidup pada kurun waktu tertentu pula. Dengan demikian, uang sangatlah multifungsi. Ketika cara memperoleh dan menggunakan uang sudah melanggar semua norma, orang pun mengatakan uang bukan segalanya. Can’t buy me love, kata band legendaris asal Inggris The Beatles.

Namun, seperti tersirat dalam keseluruhan lirik lagu tadi, uang mempermudah semua urusan, termasuk urusan bercinta. Ketika peradaban ekonomi sudah memasuki tahap virtual (virtual economy), uang pun menjadi komoditas bisnis.

Seperti sudah disinggung, berbagai jenis uang juga menjadi cerminan perkembangan peradaban dari bangsa. Dengan membaca perkembangan mata uang, kita dapat menceritakan bagaimana kondisi sebuah bangsa dan seluruh perjalanan peradabannya.

Perjalanan sejarah Indonesia pun dapat dilihat pada uang. Yang pertama mengenal uang adalah kerajaan Djenggala, sekitar 856-1158 Masehi (dari abad ke-9 hingga abad ke-12). Pada abad VII, diketahui pada awalnya uang dibuat dari bahan perak, berbentuk setengah bulat.

Pada sisi mukanya terdapat ukiran jambangan dan kepulan asap. Pada bagian sisi belakang, terdapat ukiran bunga padma di tengah dalam sebuah bingkai. Selain bentuk setengah bulat, ada pula uang yang berbentuk segi empat dan berbentuk kancing yang bagian sisi mukanya terdapat ukiran huruf Jawa Kuno.

Pada zaman Djenggala di Kediri yang dikenal sebagai kerajaan tertua di Pulau Jawa, uang disebut Krishnala. Uang itu terbuat dari perak dan perunggu. Pada zaman Majapahit uang dikenal dengan sebutan Gobog, yang menyerupai Gobog Cina. Bentuknya bulat pipih dan pada bagian tengahnya berlubang segi empat. Pada umumnya, Gobog memiliki ukiran binatang, wayang, dan relief yang menggambarkan cerita rakyat pada masa itu.

Selain itu masih banyak lagi di Kerajaan Banten, terdapat uang yang menyerupai uang Gobog di Majapahit. Di Kerajaan Sumenep uang disebut Real Batu. Diperkirakan jenis uang ini berasal dari mata uang kerajaan Spanyol tapi dimodifikasi dengan memberi semacam stempel berupa huruf Arab ”Soemenep”, ”Angka” atau ”Bunga mawar”.

Di Kerajaan Gowa Sulawesi Selatan, uang Dinar yang terbuat dari emas dikenal pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin (sekitar abad XVII). Dinar mirip dengan Derham Aceh. Di Banjarmasin disebut dengan Doewit dan beredar sekitar tahun 1812, terbuta dari dari tembaga.

Uang yang diterbitkan oleh Kerajaan Buton, berbeda dengan uang yang dikeluarkan kerajaan-kerajaan lain di Indonesia, karena tidak menggunakan logam, melainkan kain yang ditenun sendiri oleh puteri raja. Uang Buton populer dengan sebutan Kampua atau Bida.

Nilai tukar Kampua atau Bida ditentukan oleh Menteri Besar Kerajaan (semacam Perdana menteri) yakni setiap satu butir telur, bisa ditukar dengan uang kain yang lebarnya 4 jari dan panjangnya seukuran tapak tangan Menteri Besar yang bersangkutan. Maka banyak Kampua/Bida yang ukurannya berbeda-beda. Corak Kampua atau Bida setiap tahun diubah, agar tak mudah dipalsukan. Padahal sanksi bagi pemalsu uang ini sangat berat yaitu hukuman mati.Masih banyak lagi uang yang beredar di bumi Nusantara yang memiliki corak dan sejarah bangsa Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, kita juga temukan cerita tentang bagaimana Indonesia dipimpin Presiden Soekarno, bagaimana setiap daerah menerbitkan uang sendiri. Selain itu gambaran krisis ekonomi pada tahun 1960-an sehingga dilakukan pemotongan nilai uang atau sanering.


Numismatik

Semua bentuk dan jenis dan cerita uang kuno yang sudah tidak laku tersebut dapat dijumpai di Museum Artha Suaka yang ada di Bank Indonesia. Museum ini sebenarnya sudah ada sejak 25 tahun yang lalu, namun baru dibuka untuk umum pada Senin (25/8) kemarin. Bahkan Menurut Ketua Panitia Eksibisi Koleksi Museum Artha Suaka Lucky Fathul, pameran uang ini akan diselenggarakan di berbagai kota besar di Indonesia seperti Medan Surabaya dan Makassar. Museum Artha Suaka memiliki koleksi 90 ribu bilyet uang kertas dan 360 ribu keping uang logam.

Adalah Markus Sajogo seorang kolektor uang antik dari Surabaya, mengatakan, dari setiap mata uang, dapat diketahui perjuangan bangsa. Sejak zaman kerajaan nusantara sampai Negara Indonesia, selalu ada tema yang disesuaikan kondisi saat itu. Hewan misalnya, saat pemerintah Indonesia mencanangkan untuk melestarikan hewan, maka disosialisasikan melalui uang. Selain itu masih ada lagi gambar kerajinan tangan pembangunan lalu sampai dengan perikanan dan maritim dan sebagainya.

“Kalau seorang numismatik sejati, tentunya akan memahami seberapa sulit perjuangan rupiah,” ungkap Markus.

Sekelompok orang yang mempelajari, dan mengkoleksi uang yang sudah tidak laku, sebagai alat tukar, dan benda berharga lain seperiti medali dan penghargaan lainya disebut sebagai Numismatis. Sedangkan ilmunya bernama Numismatik.

Para pengegemar numismatik di Surabaya yaitu Perekuin,yaitu Perkumpulan Edukasi dan Kolektor Uang Indonesia sedangkan di Jakarta ada PPKMU. Dalam kesempatan pameran money fari yang ada di BI ini para penggemar numismatic akan membentuk suatu wadah, ANI (Asosiasi Numismatik Indonesia).

“Orang-orang penggemar numismatik ini, gemar untuk mengumpulkan uang yang tidak laku lagi namun memiliki nilai yang sangat tinggi dan mempunyai kecintaan yang besar, kata Markus. Menurut dia, hal ini perlu ditularkan kepada generasi berikutnya.

Markus yang mengaku bukan ahli sejarah maupun ahli moneter, tapi memahami betul bagaimana karakteristik setiap uang kuno, kapan diterbitkan, pembuatanya kapan, bagaimana sejarah seputar penerbitan uang tersebut.

Yang paling menarik bagi kolektor uang dari Jawa Timur ini adalah uang Probolinggo. Menurut dia, uang Probolinggo memiliki keistimewaan yang luar biasa. “Uang Probolinggo itu sangat langka, padahal hanya selambar kertas putih, black and white, dan one side. Nilainya … miliar. Padahal nilai nominalnya 200 golden pada waktu itu,” katanya.

Sejarahnya menurut Markus, pada waktu itu, seluruh Kabupaten Probolinggo dijual oleh Belanda kepada seorang Kapten kapal dari Cina. Kapten dari Cina itu berhak untuk mengurus seluruh perbudakan, untuk menarik pajak, menjalankan kekuasaan polisi, termasuk mencetak uang diperbolehkan pada waktu itu pada tahun 1811. Uang Probolinggo yang tertulis dalam Bahasa Belanda, Arab dan Cina tersebut, semacam obligasi pada masa sekarang.


Setelah Merdeka

Setelah Indonesia Merdeka, sebelum pengedaran uang dilakukan oleh BI, yang mengeluarkan uang adalah pemerintah yaitu Menteri Keuangan. Uang Indonesia yang pertama kali ditandatangani oleh Menteri Keuangan Mohammad Hatta, pada tahun 1948. Bank Indonesia (BI) baru mengeluarkan uang pada tahun 1952, dan mulai diedarkan pada tahun 1953.

Yang pertama tersebut lebih dikenal dengan ORI (Oeang Repoeblik Indonesia). Menurut kolektor uang langka sejak 20 tahu lalu itu, ada beberapa seri ORI yang cukup langka, tetapi yang lainnya dilihat secara fisik kurang bagus. Tetapi ada sebagian yang bahkan belum sempat beredar nilainya saat ini sangat tinggi sekali, seperti ORI Rp 600 one side yang tidak sempat beredar, selain itu masih ada ORI yang tergolong langka yaitu ORI Rp 75.

Juga ada dipamerkan ORIDA (Oeang Repoeblik Indonesia Daerah), yang diterbitkan di Bukittinggi, Surakarta, Aceh Timur dll. Uang-uang itu ada yang mirip karcis parkir pada saat itu. Seorang mantan direktur BI, yang kebetulan menyaksikan uang ini, berkata sambil tersenyum. “Ada di Aceh Timur waktu uang itu dikeluarkan. Waktu dikeluarkan kursnya 1:1 dengan dolar AS, pada akhir bulan sudah jadi 1: 100. Lalu kita buat uang baru lagi. Jadi tidak ada moneter-moneteran,” ujarnya. Uang ORIDA dikeluarkan oleh pihak militer Indonesia pada 1947 demi menutupi kelangkaan alat pembayaran pada waktu itu.

ORIDA mungkin sangat mudah dipalsukan, namun para penggemar numismatis biasanya memiliki indra keenam untuk mengenali keaslian uang. Biarpun cetakan uang palsu bahkan lebih baik dari yang asli, biasanya seorang nimismatis akan menganali dengan mudah mana yang asli dan mana yang palsu.

Pemasuan sendiri sejak jaman dahulu memang sudah ada namun tidak segencar saat ini. “Saya bukan ahli moneter maupun sejarah, tapi ini hobby yang dapat menghilangkan stress, menghilangkan tekanan-tekanan batin.”setiap kali saya membuka album koleksi saya, saya selalu terkenang dengan masa lalu,” kata Markus .

Dia mengaku kenal dan hafal betul uang asli Indonesia, karena mencintai, bahkan pernah ikut lelang ke Belanda. Di sana, penggemar uang Indonesia tidak hanya orang Indonesia itu sendiri, tetapi banyak kolektor, dari Belanda, Canada, Amerika, Spanyol dan Portugis.Di Belanda ada balai lelang khusus untuk mata uang, yang disebut Loren Schulman di kota Bessum, Belanda. Meski hanya mengoleksi uang beredar di bumi nusantara ini, saat ini Markus memiliki lebih dari seribu koleksi uang yang pernah beredar di nusantara. (SH/syamsul ashar)

(Sumber: Sinar Harapan, Selasa, 26 Agustus 2003)

Senin, 16 Februari 2009

Uang Kuno Hindia-Belanda Banyak Peminatnya


Panas terik matahari menyinari Jalan Jendral Urip Sumoharjo, Jakarta Timur. Debu-debu berterbangan dan asap kotor kendaraan umum di jalan menambah sesak udara Jakarta. Namun itu tak menghalangi para edagang kaki lima menggelar dagangan di tepi jalan. Salah satunya adalah Sumardi.

Ketika mata tertuju pada lelaki kurus hitam legam itu yang duduk di belakang etalase barang dagangannya dan dilengkapi papan nama seadanya, orang segera tahu bahwa Sumardi menjual uang-uang kuno. Berdagang uang kuno, demikian Sumardi menyebutnya, sudah dilakukannya sejak tujuh tahun lalu. Berawal dari himpitan ekonomi tak kunjung membaik saat berjualan batu akik, dia banting setir merintis usaha penjualan uang kuno. Faktor hobi juga membuat Sumardi kian menekuni kegiatan ini. Dari dulu, dia memang suka mengoleksi uang-uang kuno seperti yang sekaran dimilikinya.

Sumardi menjelaskan kolektor uang kuno sekarang ini bertambah ramai. Namun justru karena makin banyak yang menggemari hobi mengoleksi uang kuno, ketersediaan uang kuno menjadi makin terbatas. Dia mencontohkan, uang 50 Gulden Hindia-Belanda yang berlaku di Indonesia tahun 1816-1942. Kelangkaan barang itu, memaksa Sumardi merogoh kocek lebih banyak untuk membayar mereka yang ingin menjual koleksi uang kunonya.

Kolektor selalu mencari uang kuno yang langka, makin sedikit barangnya dan makin banyak peminatnya, maka harganya semakin melambung tinggi. Sumardi mengaku harus cermat mengamati uang kuno yang sekarang sedang diminati. Dia juga harus mencari celah bagaimana berjuang mengisi kelangkaan uang kuno, sehingga kalau ada konsumen yang datang kepadanya, dia dapat menawarkan uang kuno itu.

Sumardi tidak terlalu bernafsu memburu uang kertas langka, karena dia berpikir rejeki tidak akan lari kemana-mana. Dia membangun relasi sesama kolektor uang kuno sembari mencari trik baru mengakali kelangkaan uang kertas kuno. Sayangnya, dia tak ingin bercerita tentang trik mencari uang kuno yang langka.

Namun dijelaskannya, kolektor uang kuno umumnya merasakan kepuasan tersendiri bila mendapatkan uang langka yang tidak didapatkan orang lain. Tingkat kepuasan pelanggan Sumardi berimbas langsung kepada dirinya. Kolektor akan melaporkan satu sama lain dan secara tak langsung mengangkat pamor Sumardi sebagai penjual uang kuno berkualitas tinggi.

Walaupun diakui Sumardi, dia tidak terlalu mementingkan peningkatan pamornya. Ibaratnya, ujar Sumardi, kepamoran hanya menambah lauk daging dalam sayur yang sedang dimakan. Dia lebih memilih mampu membeli nasi dan lauk dengan gizi cukup serta menyekolahkan anaknya ke tingkat perguruan tinggi dari kebahagiaan orang lain.


Emas Kawin

Usianya yang kini telah 65 tahun tak menghambat semangat pantang menyerah Sumardi. Apalagi dia melihat, selain kolektor uang kuno yang makin banyak, uang-uang kuno miliknya, seringkali dimanfaatkan pula oleh pasangan calon pengantin.

Dia menceritakan, ada tren emas kawin mengikuti tanggal pernikahan calon mempelai. Pecahan uang kertas dan logam saat ini tak memungkinkan calon pengantin memilih pecahan paling tepat sesuai tanggal pernikahannya. Jika menginginkan emas kawin berupa pecahan uang kertas dan logam mengikuti tanggal pernikahan, maka mereka harus membeli uang kuno dari pedagang seperti Sumardi. Misalnya membeli uang bernominal Rp 2008, sesuai tahun saat ini. Uang Rp 2.000 mungkin mudah dijumpai, yaitu dengan dua lembar Rp 1.000, tetapi uang Rp 8, sudah amat sulit. Sumardi menyediakan pecahan Rp 1, 5, dan Rp 10, untuk melengkapinya. Jadi untuk Rp 8, cukup membeli satu keping uang logam Rp 5, dan tiga keping uang logam Rp 1.

Selain Sumardi, ada lagi Hamsir Basir, pedagang uang kuno lainnya. Namun berbeda dengan Sumardi, Hamsir justru mengeluh, karena pelanggan makin sepi dan kolektor makin sedikit jumlahnya. Apalagi ditambah kelangkaan barang dan lelang uang kuno yang jarang, hanya sekitar setengah tahun sekali.

Hamsir mengatakan, dia melakukan pekerjaan sebagai penjual uang kuno hanya menghabiskan umur, sedangkan kekayaan tidak bisa didapat. Apalagi dengan kenaikan harga kebutuhan pokok yang makin tak menentu setiap hari. Bekas penjual obat tersebut mengakui, cukup sulit menjual uang-uang kuno saat ini.

Sementara itu, di bekas Kantor Pos Pasar Baru, Jakarta Pusat, yang kini menjadi Kantor Filateli Jakarta, terdapat pula beberapa pedagang uang kuno. Mereka mengatakan, walaupun kolektor uang kuno tak sebanyak kolektor prangko, namun usaha berdagang uang kuno tetap ada pasarnya tersendiri.

Terutama, seperti disebutkan mereka, bila para pedagang uang kuno memiliki uang-uang dari masa Hindia-Belanda. Saat ini, di Belanda dan di negara-negara lainnya di Eropa, kolektor uang kuno yang menggemari mengoleksi uang kuno Hindia-Belanda yang dalam bahasa Belandanya disebut Nederlands Indie dan dalam bahasa Inggris disebut Netherlands Indies, makin lama makin banyak.

Hal itu berdampak pada peningkatan harga uang-uang kuno dari masa Hindia-Belanda. Uang-uang kertas Hindia-Belanda bergambar wayang misalnya, banyak yang "memburu"nya saat ini. Di samping itu, uang-uang kertas dari masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu uang kertas dari tahun 1945 sampai 1950, juga banyak yang meminatinya.

"Harus pintar-pintar memilih uang kuno yang mau diperjualbelikan," tutur seorang pedagang uang kuno, "Kalau harganya sedang bagus, ya dilepas. Jangan terlalu lama ditahan, dan berharap harganya bakal naik lagi. Nanti kalau justru bukannya naik lagi malah turun, kan rugi. Sebaliknya, kalau harganya sedang turun, disimpan saja dulu." [HES/B-8]

(Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 20 Januari 2008)



Kamis, 05 Februari 2009

Penerbitan Uang Darurat Separatis di Indonesia


Menurut catatan sejarah, ada beberapa daerah pemberontak yang menerbitkan mata uang sendiri di wilayah masing-masing. Namun uang-uang tersebut tidak diakui oleh pemerintah RI. Meskipun begitu, koleksi demikian banyak dicari para kolektor. Daerah-daerah pemberontak yang menerbitkan mata uangnya sendiri adalah:


A. Separatis DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia)


Separatis ini berlatar belakang ingin mendirikan Negara Islam di Indonesia di bawah pimpinan Sekarmadji Kartosuwirjo. Dia memroklamasikan NII (Negara Islam Indonesia) pada 1949. Pemberontakan DI/TII bermula di Jawa Barat sekitar tahun 1949-1962. Kemudian menyebar luas ke berbagai daerah. Beberapa uang separatis yang diterbitkan adalah:
  1. NII daerah Jawa Barat, diterbitkan di Tasikmalaya berupa Warqoh dan Bon, 1949-1954, pimpinan Sekarmadji Kartosuwirjo.
  2. PNII (Pemerintah Negara Islam Indonesia) daerah Cirebon berupa Warqoh Infak dan Bon lembaran teks, 1949-1952, terbitan PBR Cirebon.
  3. PNII daerah Brebes berupa teks “uang” terbitan 1949, pimpinan Fatah.
  4. RII (Republik Islam Indonesia) daerah Borneo (Kalimantan) di hulu sungai berupa cap pada uang kertas Dai Nippon dan Malaya-Borneo British, 1949, di bawah pimpinan Ibnu Hajar.
  5. RII daerah Celebes (Sulawesi) di Makasar berupa cap pada uang kertas Dai Nippon dan Malaya-Borneo British, 1953-1957, di bawah pimpinan Kahar Muzakar (Gubernur Militer RII bagian Timur) dan Usman Balo (Ketua PUS RII bagian Timur).
  6. NII daerah Aceh Darussalam diterbitkan di Pidie berupa uang kertas NII 1953 dipimpin oleh Daud Beureuh, penanda tangan uang a.n. Gubernur Militer, Mohammad Sjah.

B. Separatis PRRI (Pemerintah Revolusioner RI)

Separatis ini berlatar belakang ketidakpuasan terhadap kebijaksanaan pemerintah pusat di bawah kabinet Djuanda, kemudian membentuk pemerintahan tandingan, PRRI Bukit Tinggi dengan Menteri Keuangannya Mr. Sjafrudin Prawiranegara (1959). Adapun uang kertas yang diterbitkan adalah:
  1. Stempel cap dan tanda tangan di atas uang BI 1952 dengan penandatangan Mr. Sjafrudin Prawiranegara dan A. Hussein.
  2. Uang PRRI cetakan Bukit Tinggi, September 1959.
  3. Uang PRRI cetakan Belgia (gambar pohon kelapa) dipakai juga oleh RPI (Republik Persatuan Indonesia) gabungan antara sempalan PRRI dengan sempalan DI pada Februari 1960.
  4. Uang PRRI cetakan Bonabulu, 1 Januari 1960.
  5. Uang PRRI/Permesta (Piagam Perjuangan Semesta) gabungan separatis di Sulawesi - Manado pimpinan F. Warrouw, diterbitkan pada 1958-1959.
  6. Uang pemerintah kabupaten Pesisir Selatan, 1960, salah satu sempalan PRRI.

C. Separatis RSI (Republik Soviet-Indonesia) PKI Madiun


Separatis yang dimotori oleh PKI di Madiun berlatar belakang ingin mendirikan negara komunis di Indonesia dengan diproklamasikannya Republik Soviet-Indonesia di Madiun pada 1948. Kemudian diterbitkan uang RSI pecahan Rp 5. Gerakan ini dipimpin Muso dan berhasil menduduki kota-kota sekitar sampai ke Cepu.


D. Separatis Gerilya Kaum Melayu (di Timtim melawan Portugis)


Separatis ini berjuang melawan rezim Portugis di Timor Timur pada November 1975 yang dimotori oleh orang-orang Melayu dan perantauan yang tergabung dalam Uni Demokrasi Rakyat Timor Timur. Tetapi pada Desember 1975 - awal 1976, Gerakan Republik Demokrasi Rakyat Timor Timur bersimpati dengan pemerintah RI dan menggabungkan diri dalam teritorial.

Pada awal pergerakan, organisasi gerilya kaum Melayu dan perantauan telah menerbitkan mata uangnya sendiri yang hanya digunakan dalam lingkungan di antara anggota organisasi saja. Adapun uang tersebut dicetak dengan mesin stensil, ada juga yang hanya berupa lembaran teks.


E. Separatis RMS (Republik Maluku Selatan)

Separatis ini adalah pembelotan eks KNIL di Maluku yang ingin mendirikan Republik Maluku Selatan (1950-1960) dipimpin Dr. Soumokil dan Menteri Keuangannya Mr. GGH Apituley yang menerbitkan uang RMS berupa cap stempel pada uang lama Hindia Belanda (De Javasche Bank dan Nederlandsch Indie) di Saparua Maluku.

Sejauh ini belum ada informasi apakah separatis lain seperti Paraku Kalimantan Utara, Gerakan Aceh Merdeka, Papua Merdeka, dll pernah menerbitkan mata uangnya sendiri.

(Sumber: Sofyan Sunaryo, Berita PPKMU, Oktober 1996)

Selasa, 03 Februari 2009

Perubahan Nilai Rupiah 1945 - 1990


17 Agustus 1945 hingga akhir Oktober 1946


Untuk sementara uang pendudukan Jepang masih berlaku di seluruh wilayah Nusantara. Ada tiga jenis uang pendudukan Jepang yang dikenal, yakni De Japansche Regeering (berbahasa Belanda), Pemerintah Dai Nippon (berbahasa Indonesia), dan Dai Nippon Teikoku Seihu (berbahasa Jepang).


30 Oktober 1946

ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) emisi pertama dinyatakan berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah RI, berdasarkan:Rata Penuh
  1. Undang-undang No. 17/1946, tanggal 1 Oktober 1946 tentang pengeluaran ORI.
  2. Undang-undang No. 19/1946, tanggal 19 Oktober 1946, tentang nilai tukar 1 rupiah ORI sama dengan 50 rupiah uang Jepang di Pulau Jawa atau 100 rupiah uang Jepang di Pulau Sumatera.
  3. Surat Keputusan Menkeu RI No. SS/1/35 tanggal 29 Oktober 1946 mengenai saat mulai berlakunya ORI sebagai alat pembayaran yang sah, tanggal 30 Oktober 1946 pukul 00.00.

Selanjutnya uang pendudukan Jepang dan uang Hindia Belanda dinyatakan tidak berlaku lagi di Jawa dan Madura, melalui jangka waktu penarikan tertentu.


20 Maret 1950 (Gunting Sjafruddin)

Surat Keputusan Menkeu Pemerintah Republik Indonesia Serikat (Kabinet Hatta) Mr. Sjafruddin Prawiranegara, No. PU/1 tanggal 20 Maret 1950, menetapkan ‘pengguntingan’ uang kertas de Javasche Bank dan Hindia Belanda pecahan bernilai nominal 5 rupiah (gulden) ke atas menjadi dua bagian.

Bagian kanan dapat ditukar dengan obligasi negara yang berbunga 3% per tahun, dengan jangka waktu pembayaran 40 tahun. Sementara simpanan di bank ditukar dengan obligasi negara yang berbunga 3%, dengan jangka waktu pembayaran 40 tahun.

Bagian kiri masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah, tetapi dengan nilai 50% dari nilai sebelumnya, dan masih berlaku sampai dengan 8 April 1950 pukul 18.00.


24 Agustus 1959

Kabinet Kerja I dengan Menteri Pertama Ir. Djuanda Kartawidjaja dalam sidangnya di Bogor, 24 Agustus 1959, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2/1959, menetapkan penurunan nilai uang kertas emisi 1957. Pecahan bernilai nominal Rp 1000 dan Rp 500 diturunkan nilainya menjadi 10% dari nilai semula.
  • Rp 1000 menjadi Rp 100
  • Rp 500 menjadi Rp 50
Pecahan bernilai di bawah Rp 500 tetap berlaku dengan nilai semula. Sementara simpanan di bank melebihi Rp 25.000 dibekukan dan ditukar dengan obligasi negara yang berbunga 3% per tahun, jangka waktu 40 tahun. Nilai tukar terhadap dollar AS adalah $1 = Rp 45.


15 Oktober 1963 hingga 1 Juli 1964

Uang kertas dan uang logam khusus diterbitkan untuk daerah Riau kepulauan, menggantikan Dolar Malaya yang sebelumnya berlaku di kawasan itu.


1964 hingga 31 Desember 1971

Setelah Irian Barat dipersatukan kembali ke dalam wilayah Indonesia pada 1 Mei 1963, pemerintah RI kemudian mengedarkan uang kertas dan uang logam khusus untuk wilayah Irian Barat, menggantikan uang Nederlands Nieuw Guinea yang sebelumnya berlaku sebagai alat pembayaran yang sah untuk wilayah tersebut. Nilai rupiah Irian Barat dibandingkan nilai rupiah biasa yang berlaku di wilayah RI lainnya adalah 1 : 10.


13 Desember 1965

Penetapan Presiden RI No. 27/1965 tanggal 13 Desember 1965 (Kabinet Dwikora I), menyatakan penarikan kembali peredaran uang lama dan menggantikannya dengan uang baru, dengan nilai tukar 1000 : 1. Artinya uang Rp 1000 lama menjadi Rp 1 baru.

(Sumber: Banknotes and Coins from Indonesia 1945 - 1990)

♦ Kontak Saya ♦

Nama Anda :
Email Anda :
Subjek :
Pesan :
Masukkan kode ini :

.

Photobucket

.

Pyzam Glitter Text Maker