Tampilkan postingan dengan label ORIDA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ORIDA. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 21 Maret 2009

Cerita Mata Uang Aceh yang ada di British Museum, London


Pada awal Desember 1998 hingga pertengahan Februari 1999 saya berkeliling 23 kota dan 14 negara di dunia.

Pada tgl 5 Januari 1999 (pertengahan Ramadhan) pukul 09.30 pm saya berangkat dari JFK Airport New York dengan penerbangan United Airlines, tiba di London Heathrow Airport pukul 06.30 pagi. Setelah tiba di hotel di kawasan Russell Square dan beristirahat, sore harinya mencari informasi tentang tourist attractions di London. Esok harinya saya mulai berkunjung ke tempat-tempat yang sudah saya rencanakan. Salah satunya saya memilih British Museum sebelum tour berikutnya ke Tower Bridge, London Parliament House dan Buckingham Palace.

Setelah hampir satu jam saya keliling melihat-lihat semua koleksi di dalam British Museum, akhirnya saya tiba di bagian koleksi mata uang kuno seluruh dunia. First step, tentu saya mencari bagian koleksi untuk negara di Asia, khususnya mata uang Indonesia. Ternyata saya kebingungan karena tidak ada mata uang kuno Indonesia yang dikoleksi oleh British Museum. Karena itu saya minta bertemu dengan salah satu staf yang ahli mata uang kuno.

Lantas dia tunjukkan koin dari kerajaan Banten, Makasar, dan Maluku yang dipajang di ruangan itu. Dua koin kerajaan Jawa (Banten), satu koin kerajaan Makasar, dan satu koin Maluku terdapat di sana. Saya masih belum menemukan koin Aceh.

Singkat cerita saya kembali ke resepsionis bersama staf ini dan bertemu dengan dalangnya koin Asia, namanya Mr Joe Cribb (Kurator Koin).

Akhirnya dia minta identitas saya. Saya menunggu sekitar 10 menit. Setelah itu Mr Cribb datang lagi dan mempersilakan saya masuk ke ruang kantornya. Saya masuk dan duduk di kursi, berhadapan dengan dia. Di atas meja sudah ada tiga kotak kira-kira berukuran 25 x 10 cm agak tipis (ukuran kotak koin koleksi) yang masih tertutup rapat. Sebelum Mr Cribb mau membuka kotak koin dia bilang karena tidak ada appointment, maka dia tidak bisa jelaskan dengan detil. Dia hanya berikan saya waktu paling lama 30 menit untuk melihat dan penjelasan singkat. Kemudian Mr Cribb mebukakan kotak tersebut dan menjelaskan tentang koin Aceh yang ada di dalam kotak.

· Ukuran koinnya (diameter) 10 - 13 mm dan tipis, bulatannya tidak begitu rata (sebesar uang Rp 25 rupiah Indonesia yang dulu).

· Jumlah koin sekitar 75 (karena satu kotak berisi sekitar 25 koin), koin terbuat dari emas murni dan kedua sisi bertulisan huruf Arab dengan nama Sultan yang memerintah di zman itu.

· Umur koin ada yang dari tahun 1230 dan yang paling akhir kalau tidak salah 1912 atau 1800-an.

· Nama Sultan di koin itu yang saya masih ingat disebutkan: Muhammad…….., Sultan Zainal Abidin, Rihayat Syah, Iskandar Syah, dll.

Mr Cribb sangat menguasai nama-nama Sultan yang ada di koin itu dan Mr Cribb juga mempunyai banyak pengetahuan tentang Aceh. Buku referensi ada di tangannya berikut riwayat koin yang bersangkutan. Buku itu berisi cerita berapa lama koin itu beredar di pasaran, sebelum sultan yang memerintah berikunya mengeluarkan koin baru.

Saya sempat bertanya kepada Mr Cribb kenapa mata uang Aceh tidak dipajang di luar. Menurut Mr Cribb, hal itu sudah ditetapkan oleh peraturan pemerintahnya (mungkin ada kaitannya dengan GAM ketika itu atau mungkin karena kemenangan Inggris yang tidak sah dalam Perang Aceh penyunting).

(disunting dari: krueng.org)

Selasa, 24 Februari 2009

Kolektor Uang Revolusi dari Denmark


Barangkali salah satu koleksi uang revolusi Indonesia yang cukup lengkap saat ini berada di Denmark. Kolektornya adalah Mr. Hansen. Di Denmark sendiri koleksi uang Indonesia masih kurang dipahami oleh sebagian besar kolektor. Tentu tidak demikian dengan Mr. Hansen itu.

Mr. Hansen termasuk seorang numismatis yang amat getol memburu uang-uang lama Indonesia, termasuk uang revolusi atau ORI daerah. Koleksinya meliputi dua album yang cukup besar. Di antara koleksinya itu ternyata uang revolusi Indonesia yang dia miliki nyaris lengkap. Malah ada beberapa yang tergolong amat langka.

Menurut penuturannya, minatnya akan uang Indonesia termotivasi oleh keindahan lukisan dan gambarnya. Tidak heran dia memiliki pengetahuan akan koleksi Indonesia yang cukup memadai. Bahkan dia paham betul akan jenis dan variasi uang revolusi Indonesia.

Hansen mengatakan, album bakunya didapat pada 1964 dalam sebuah pelelangan di Amsterdam. Waktu itu dia beli seharga 500 Gulden. Sampai saat ini dia masih tetap berusaha melengkapi dan mencari jenis-jenis yang belum ada di dalam koleksinya. Beberapa jenis langka yang ada di dalam koleksinya antara lain ORI Surakarta, Serang, Siantar, Bukittinggi, Tjurup, Tandjungkarang, Bengkulu, Asahan, Aceh, Palembang, Kualaleidong, Labuan Batu, Labuan Bilik, Tapanuli, Djambi, dan Panai. Koleksinya meliputi berbagai pecahan, termasuk pecahan terbesar dari Labuan Bilik yaitu Rp 5 juta dan 25 juta.

Konon, nanti koleksinya akan disumbangkan ke Museum Kopenhagen. Bukan tidak mungkin, museum itu akan menjadi museum uang langka Indonesia terlengkap di dunia.

(Sumber: Berita PPKMU)

Sabtu, 14 Februari 2009

ORI Darurat Daerah Banten Sementara (ORIDABS)


Uang kertas darurat daerah Banten sudah lama dikenal oleh para kolektor, khususnya di Indonesia. Namun riwayatnya belum banyak diketahui, termasuk oleh para kolektor sendiri.

Pada masa perjuangan kemerdekaan RI tahun 1945/1946 pusat pemerintahan berada di Yogyakarta. Karena situasi maka hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah-daerah nyaris putus, termasuk dengan daerah Banten.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan alat pembayaran di daerah tersebut maka pemerintah pusat di Yogyakarta memerintahkan Residen Banten Tubagus Kiai Haji Achmad Chotib untuk mencetak dan mengedarkan ORIDABS. Pencetakan ORIDABS dilaksanakan di Percetakan “Serang”, Jl. Diponegoro No. 6, Serang. Pemilik percetakannya adalah Abdurrodjak.

Pencetakannya dipimpin oleh R. Abubakar Winangun, M. Sastra Atmadja, Abdurrodjak, dan M. Solihin. Sedangkan pejabat penerima, penyimpanan, dan pengedaran uang kertas adalah M. Asamail. Kesemuanya diangkat berdasarkan surat ketetapan Kepala Penjabatan Keuangan Dewan Pertahanan Daerah Banten No. UU/94 Tanggal 26 Mei 1948.

Pembuat gambarnya adalah E. Edel Yusuf di Serang, sedangkan pembuat klisenya adalah M. Ruyani dan Dana di kecamatan Petir. Bahan klise dibuat dari kayu sawo kecik, kecuali untuk pecahan Rp 100 dibuat dari timah.

Uang-uang yang dicetak adalah nilai pecahan Rp 1, 5, 10, 25, dan 50 yang jumlahnya tidak diketahui dan nilai pecahan Rp 100 sejumlah satu juta rupiah. Ahli-ahli dan karyawan pencetakannya berjumlah 11 orang. Masa pencetakan ORIDABS adalah Februari 1947 hingga 11 Agustus 1948.

ORIDABS ditandatangani oleh Tb. K.H. Achmad Chotib (dengan huruf Arab) sebagai Residen Banten 1945-1949 dan Abubakar Winangun sebagai Panitia Keuangan/Pimpinan Umum tahun 1947. Pada 1948 penandatangannya adalah Tb. K.H. Achmat Chotib dan Yusuf Adiwinata sebagai Pedjabat Keuangan Dewan Pertahanan Daerah Banten.

ORIDABS berlaku di daerah Banten termasuk Tangerang, Jasinga, dan Lampung Selatan. Sayangnya pecahan Rp 100 belum sempat beredar karena tentara Belanda pada Aksi Militer II menyerbu Banten. Semua klise dihancurkan oleh tentara Belanda.

Kini ORIDABS sudah mulai sulit dicari di pasaran. Bilamana ada yang menemukan atau memiliki ORIDABS bernominal Rp 100 adalah orang yang beruntung.

(Sumber: Peruri: Dari Masa ke Masa. Cukilan Fakta dan Peristiwa dari Masa Perjuangan Fisik Hingga Tahun 1957)

Rabu, 29 Oktober 2008

Uang Kesultanan Yogyakarta Diangkut Belanda


Kalau kita sekarang merasakan sulitnya untuk melengkapi koleksi uang-uang Indonesia, salah satunya adalah karena materinya memang sudah sangat sedikit. Bahkan, beberapa di antaranya sudah nyaris punah. Pada zaman penjajahan, banyak kekayaan negeri kita, termasuk koleksi numismatik, dirampas oleh orang-orang Belanda sewaktu mereka kalah perang. Barang-barang itu dibawa ke negeri mereka.

Di antara barang-barang yang dibawa adalah uang kesultanan Yogyakarta. Simak saja berita harian Merdeka, 3 Maret 1950.
"Pada waktu Belanda melarikan diri dari Indonesia karena dikejar2 Jepang, antara bermacam uang dan kekayaan di Indonesia yang dibawa pergi, termasuk juga uang Pemerintah Kesultanan Yogyakarta, yang sejak itu sampai Aksi Militer kedua, belum bisa diperhitungkan" (tulisan sudah disesuaikan dengan EYD).

Maka tidak heran kalau kolektor asing memiliki koleksi numismatik Indonesia lebih lengkap daripada numismatis Indonesia sendiri.

(Sumber: Berita PPKMU, No. 3/1994)

Senin, 27 Oktober 2008

Mengenal "Uang" Kertas Probolinggo


Oleh: Djulianto Susantio

Kertas Probolinggo dikeluarkan pada 1810, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811). Ketika itu keadaan keuangan negara di Hindia Belanda mengalami defisit berat karena pengeluaran jauh lebih besar daripada pemasukan.

Pengeluaran terbesar adalah untuk perbaikan kesejahteraan pegawai dan tentara, memperkuat benteng-benteng pertahanan, biaya peperangan dengan raja-raja di tanah Jawa, dan pembuatan jalan raya baru antara Anyer hingga Panarukan. Di pihak lain, hasil bumi yang melimpah tidak dapat dijual ke luar negeri karena blokade tentara Inggris.

Daendels yang memerintah dengan tangan besi pusing memikirkan keadaan keuangan pemerintahannya. Suatu saat dia menemukan gagasan untuk menjual tanah-tanah pemerintah kepada pihak swasta (partikelir). Sebagai perjanjian, pemilik tanah akan mendapat kekuasaan mutlak atas tanah yang dimilikinya, misalnya boleh menarik pajak seenaknya, mempekerjakan orang secara rodi, dsb. Bahkan polisi pemerintahan tidak boleh ikut campur atas perbuatan tersebut karena mereka boleh memiliki polisi sendiri.

Beberapa daerah yang dijual ke pihak swasta itu antara lain tanah Probolinggo, Panarukan, Besuki, dll. Tanah Probolinggo yang terluas itu dijual kepada seorang konglomerat bernama Han Ti Ko dengan harga 1 juta Rijksdaalder atau dikenal juga 1 juta Ringgit. Suatu jumlah yang besar sekali waktu itu, namun pembayarannya boleh dicicil.

Karena pemerintah memerlukan uang dengan segera, maka diterbitkanlah surat berharga dengan jaminan uang perak senilai tanah Probolinggo tersebut untuk jangka waktu 10 tahun. Surat berharga inilah yang disebut Kertas Probolinggo dan diterbitkan dalam beberapa nilai nominal, yaitu 100, 200, 300, 400, 500, dan 1000 Rijksdaalder. Surat berharga tersebut dicetak dalam bahasa Belanda dan Arab Melayu, ditandatangani langsung oleh para pejabat yang berwenang dan dibubuhi cap "LN" (Lodewijk Napoleon) bertahun 1810. Waktu itu kerajaan Belanda berada di bawah kekuasaaan kekaisaran Perancis pimpinan Napoleon.

Penerbitan "uang" kertas tersebut akhirnya kurang terkontrol. Nilainya makin lama makin merosot sehingga masyarakat enggan memilikinya. Sekarang kertas Probolinggo sudah nyaris punah dan hanya tersisa beberapa lembar. Sebagian besar dimiliki kolektor luar negeri.

Sekitar tahun 1990 satu set uang kertas Probolinggo berhasil diboyong kembali ke tanah air oleh seorang kolektor Indonesia melalui pembelian tidak resmi (non-lelang) seharga 40.000 dollar atau setara dengan Rp 80 juta kurs waktu itu. Ini merupakan salah satu materi numismatik Indonesia termahal.

Dikabarkan, pemilik semula adalah seorang kolektor muda mancanegara. Kita harapkan para numismatis Indonesia mampu memboyong kembali benda-benda numismatik lainnya yang masih bertebaran di banyak negara. Seharusnya harga bukanlah tujuan akhir, tetapi kepuasan memiliki dan kemungkinan bisa ikut dilihat orang banyak adalah sasaran utama seorang numismatis sejati.

(Sumber: Berita PPKMU, No. 1/1991 dan No. 5/1993)

♦ Kontak Saya ♦

Nama Anda :
Email Anda :
Subjek :
Pesan :
Masukkan kode ini :

.

Photobucket

.

Pyzam Glitter Text Maker