Tampilkan postingan dengan label Uang Kuno. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Uang Kuno. Tampilkan semua postingan

Minggu, 07 Juni 2009

Mata Uang Kuno dan Sumber Sejarah


Oleh: Trigangga


Kehadiran mata uang khususnya di Nusantara (Indonesia) adalah akibat dari aktivitas perdagangan yang semakin kompleks, yang mana diperlukan alat tukar barang yang praktis, mudah dibawa, tahan lama dan dapat digunakan sesuai kebutuhan. Letak geografis kepulauan Indonesia yang strategis menjadikan kepulauan Indonesia sebagai salah satu jalur pelayaran perdagangan internasional yang menghubungkan dunia barat dan timur. Pedagang-pedagang dari berbagai bangsa, terutama dari India dan Cina, dalam pelayarannya terkadang harus singgah di pelabuhan karena menunggu badai reda misalnya, atau memang menjalin hubungan dagang dengan penguasa-penguasa di berbagai daerah di Indonesia.

Bukti bahwa kepulauan Indonesia pernah dikunjungi pedagang-pedagang asing dapat diketahui dari sumber-sumber tertulis seperti prasasti dan kronik asing, juga tinggalan-tinggalan arkeologis berupa mata uang. Di dalam prasasti Telaga Batu, salah satu peninggalan kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7, dijumpai istilah dalam bahasa Sansekerta, vaņiyāga yang artinya ‘saudagar’ atau ‘pedagang’. Inilah prasasti pertama yang menyebutkan kata ‘pedagang’ di Indonesia. Istilah vaņiyāga ini kemudian muncul dalam prasasti-prasasti berbahasa Jawa Kuna menjadi banyaga, dan diadopsi menjadi kata bahasa Indonesia, berniaga, padanan kata dari ‘berdagang’.

Keterangan dari berbagai prasasti memberi petunjuk bahwa ada kelompok orang asing yang mungkin berprofesi pedagang dan dikenai kewajiban membayar pajak, disebut sebagai wargga kilalān. Mereka adalah orang-orang India yang berasal dari berbagai daerah dan suku bangsa seperti Kalingga (kling), Arya, Drawida, Karņataka, Pandya-Chera (pandikira), juga dari Vietnam (campa), Kamboja (kmir) dan Srilangka (singhala). Kehadiran orang-orang Cina belum disebut di dalam prasasti-prasasti abad ke-10--12, namun kronik Cina sendiri telah memberitakan kehadiran seorang musafir Cina bernama Fa-hsien yang pernah singgah di Jawa pada tahun 414.

Kronik-kronik Cina merinci komoditi ekspor dari kepulauan Indonesia, khususnya Jawa, yang membuat pedagang-pedagang asing datang antara lain cengkeh, pala, merica, kayu cendana, gaharu, kapur barus, kapas, garam, gula, gading gajah, cula badak, dan lain-lain. Adapun barang-barang impor untuk konsumsi di Jawa yang utama adalah sutera, kain brokat warna-warni dan keramik. Sebagai contoh, di dalam prasasti ada disebutkan satu barang yang mungkin sekali diimpor yaitu wdihan buat kling atau kain buatan negeri Kalingga (India).

Pedagang-pedagang asing tersebut ketika mengadakan transaksi dagang dengan penduduk lokal menggunakan mata uang yang dibawa dari negerinya masing-masing. Akibatnya banyak mata uang asing dari berbagai negara beredar di kepulauan Indonesia. Hubungan dagang yang intensif dengan India dan Cina lambat laun mendatangkan inspirasi bagi penduduk lokal atau penguasa suatu kerajaan di Jawa untuk membuat mata uang sendiri.

Prasasti-prasasti biasanya menyebut satuan mata uang emas dan perak yang beradar di Jawa mulai dari ukuran yang terbesar sampai terkecil dalam bentuk singkatan. Satuan mata uang emas dari yang terbesar hingga terkecil adalah kāti, suwarņa, māsa, kupang, dan sātak. Sedangkan satuan mata uang perak adalah kāti, dhāraņa, māsa, dan kupang. Semua satuan mata uang tersebut menunjukkan ukuran berat benda. Ini dapat diketahui dari inskripsi-inskripsi singkat pada benda-benda berupa wadah emas yang ditemukan di desa Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah. Pada bagian dasar sebuah mangkuk besar contohnya, tertera tulisan tatur brat su 14 mā 15 sā 3 dalam huruf Jawa Kuna, artinya “emas berat 14 suwarņa 15 māsa 3 sātak”. Jadi jelaslah bahwa mata uang emas dan perak itu dinilai berdasarkan berat benda (nilai intrinsik). Segala transaksi perdagangan, khususnya barang yang bernilai besar, dibayar dengan uang emas atau perak dengan berat yang telah ditentukan.

Mata uang Jawa dari emas dan perak yang ditemukan kembali, termasuk di situs kota Majapahit, kebanyakan berupa uang “Ma”, (singkatan dari māsa) dalam huruf Nagari atau Siddham, kadang kala dalam huruf Jawa Kuna. Di samping itu beredar juga mata uang emas dan perak dengan satuan tahil, yang ditemukan kembali berupa uang emas dengan tulisan ta dalam huruf Nagari. Kedua jenis mata uang tersebut memiliki berat yang sama, yaitu antara 2,4 – 2,5 gram.

Uang “Ma” perak dengan tulisan Nagari dan uang “Ma” emas dengan tulisan Jawa Kuna (kol. Museum Nasional)

Selain itu masih ada beberapa mata uang emas dan perak berbentuk segiempat, ½ atau ¼ lingkaran, trapesium, segitiga, bahkan tak beraturan sama sekali. Uang ini terkesan dibuat apa adanya, berupa potongan-potongan logam kasar; yang dipentingkan di sini adalah sekedar cap yang menunjukkan benda itu dapat digunakan sebagai alat tukar. Tanda tera atau cap pada uang-uang tersebut berupa gambar sebuah jambangan dan tiga tangkai tumbuhan atau kuncup bunga (teratai?) dalam bidang lingkaran atau segiempat [gambar 2]. Jika dikaitkan dengan kronik Cina dari zaman Dinasti Song (960 – 1279) yang memberitakan bahwa di Jawa orang menggunakan potongan-potongan emas dan perak sebagai mata uang, mungkin itulah yang dimaksud.

Potongan-potongan logam emas yang digunakan sebagai alat tukar (kol. Museum Nasional)

Mata uang dengan satuan-satuan tersebut di atas, terutama māsa dan tahil, tampaknya terus dipakai hingga awal munculnya kerajaan Majapahit. Di dalam prasasti Tuhanyaru tahun 1245 Saka (1323 M) uang “Ma” perak masih disebutkan sebagai benda sesaji bersama pakaian. Kronik Cina dari zaman Dinasti Ming (1368 – 1643) mencatat bahwa uang tahil emas masih digunakan di Jawa. Diberitakan bahwa pada waktu terjadi perang saudara di kerajaan Majapahit tahun 1405, sekitar 170 orang Cina ikut terbunuh dalam kerusuhan itu. Meskipun raja Majapahit kemudian meminta maaf atas kejadian itu, kaisar Cina tetap menjatuhkan hukuman denda sebesar 60.000 thail (=tahil) emas.

Satu hal yang patut diketahui bahwa dalam periode Majapahit mata uang emas dan perak tidak begitu sering lagi disebutkan di dalam prasasti dan naskah. Sebagai gantinya adalah mata uang tembaga, timah dan kuningan yang memang banyak digunakan pada masa itu. Yang terakhir ini dapat diidentifikasikan sebagai uang lokal Majapahit dan kepeng Cina.

Pada abad ke-14 semakin banyak orang Cina yang datang ke daerah-daerah yang menjadi wilayah kerajaan Majapahit dengan tujuan berdagang. Di antara mereka ada yang tinggal menetap dalam jangka waktu cukup lama. Banyaknya orang Cina yang bermukim di wilayah kerajaan Majapahit memunculkan profesi baru yang dikenal dengan istilah juru cina. Istilah ini kerap muncul di dalam prasasti-prasasti Majapahit yang memuat daftar para mangilala drawya haji, yaitu pegawai kerajaan yang tinggal di dalam lingkungan tembok kota. Tugas juru cina mungkin berurusan dengan orang-orang Cina yang datang dan menetap di ibukota kerajaan Majapahit atau di berbagai tempat lain di wilayah kerajaan Majapahit di Jawa. Di antara mereka tentunya ada yang bertugas sebagai penerjemah jika ada utusan-utusan Cina datang membawa pesan dari kaisar. Bukan tidak mungkin kalau juru cina ini dijabat oleh orang Cina yang sudah lama menetap di sini dan diminta bantuannya sebagai penerjemah bagi raja Majapahit.

Relief pedagang pada sebuah panel relief candi Tigawangi, Kediri, Jawa Timur (abad ke-14)

Di dalam buku Ying-yai Shêng-lan atau “Laporan Umum tentang Pantai-pantai Lautan” yang diterbitkan pada 1416 oleh Ma-Huan, dikatakan bahwa orang-orang Cina yang tinggal di kerajaan Majapahit berasal dari Canton, Chang-chou dan Ch’üan-chu. Mereka kebanyakan bermukim di Tuban dan Gresik menjadi orang kaya di sana. Tidak sedikit penduduk pribumi yang menjadi orang kaya dan terpandang. Dalam transaksi perdagangan penduduk setempat menggunakan uang tembaga (kepeng) Cina dari berbagai dinasti. Pernyataan terakhir ini mengindikasikan bahwa penduduk pribumi tidak mengerti tulisan Cina yang tertera pada kepeng itu sehingga mau menerima uang Cina dari dinasti mana pun (Dinasti Tang, Song, Yuan) yang mungkin tidak berlaku lagi di negeri asalnya.

Penggunaan kepeng Cina atau uang lokal Majapahit ditunjukkan dalam istilah pisis (Jawa Kuna) yang artinya ‘uang’. Istilah ini pertama kali muncul di dalam prasasti Bendosari (± 1350 M) dari masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, isinya merupakan surat keputusan pengadilan tentang sengketa tanah (jayasong). Pihak Aki Santana Mapanji Sarana bersengketa dengan pihak Sang Apanji Anawung Harsa mengenai status tanah di berbagai tempat seluas 67 lirih. Sang Apanji Anawung Harsa berargumentasi bahwa pihaknyalah yang punya hak atas semua tanah itu karena dahulu, tahun 919 Saka (997 M), kakek buyutnya telah menggadaikan kepada kakek buyut Aki Santana Mapanji Sarana seharga 2½ takar perak, yaitu pada waktu penduduk pulau Jawa tidak menggunakan uang kepeng (duk punang bhumi jawa tan pagagaman pisis). Pernyataan ini menunjukkan bahwa di pulau Jawa, semasa hidup kakek buyut Sang Apanji Anawung Harsa, uang perak masih umum digunakan sebagai alat pembayaran. Ini seperti yang dinyatakan dalam kronik Cina dari zaman Dinasti Song bahwa di Jawa orang menggunakan potongan-potongan perak sebagai mata uang. Kemudian, di masa hidup Sang Apanji Anawung Harsa uang kepeng sudah umum digunakan.

Di Jawa Timur banyak sekali ditemukan uang kepeng Cina, bahkan dapat dikatakan bahwa kepeng Cina ditemukan di setiap kabupaten di Jawa Timur. Di kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan terdapat koleksi uang kepeng Cina sekitar 40.000 keping. Kepeng Cina tersebut berasal dari berbagai dinasti terutama Dinasti Song dan Ming. Banyaknya kepeng Cina yang beredar pada masa Majapahit diperkuat oleh temuan berbagai jenis celengan terakota di daerah Trowulan, menandakan bahwa tradisi menabung telah dikenal pada masa Majapahit. Di samping uang kepeng Cina, di Museum Trowulan terdapat koleksi uang lokal Majapahit yang disebut gobog dan uang perak. Uang gobog inilah yang mungkin merupakan bentuk tiruan dari kepeng Cina, karena dalam beberapa hal dari bentuk dan hiasan mirip dengan kepeng Cina, walau figur yang digambarkan berciri lokal, mirip wayang kulit.

Uang Gobog

Jika satuan mata uang terdahulu seperti suwarņa, māsa, kupang dan lain-lain mengacu kepada ukuran berat atau kualitas, maka pada masa Majapahit ini satuan mata uang mengacu kepada jumlah atau kuantitas. Di dalam prasasti-prasasti dan naskah-naskah hukum dijumpai berbagai istilah yang menyatakan jumlah uang, antara lain sātak (200 keping), sātak sawě (250 keping), samas (400 keping), domas (400 keping), rong tali (2000 keping), patang tali (4000 keping), salaksa (10.000 keping), sakěţi (100.000 keping), sakěţi rong laksa (120.000 keping), sakěţi něm laksa (160.000 keping), dan rong kěţi (200.000 keping).

Akhirnya, ada beberapa prasasti dari masa Majapahit yang berkaitan dengan penggunaan kepeng ini. Salah satu di antaranya adalah prasasti Paguhan, ditulis pada tiga lempeng tembaga, tulisannya amat besar dan isinya cukup singkat. Terjemahan bebas dari prasasti itu adalah sebagai berikut: pada tanggal 13 paro terang bulan Asuji tahun 1338 Saka (= 4 September 1416) Paduka Yang Mulia dari Talonan menyetujui pembelian (?) untuk kepentingan Baţara di Paguhan yang meninggal di Pramalaya, diterima oleh para angucap gawe (nama jabatan) di Gědong Dingdiwa. Mereka adalah Patih Sěmut, Sang Arya Pagěh, Sang Arya Guna, Patih dari Paguhan, Patih Sirěg, dan Patih Tembeng, menerima sejumlah uang sebesar 200.000 (dua ratus ribu) kepeng.

Apa yang terbayang dari isi prasasti itu adalah suatu serah terima pembelian (waruk) yang sayang tidak disebutkan objeknya, mungkin sebidang tanah. Jika yang dimaksud adalah sebidang tanah, mungkin tanah itu hendak dijadikan sima, kemudian hasilnya dipersembahkan untuk dewa atau arwah leluhur yang dipuja di bangunan suci. Yang menarik perhatian dari prasasti ini adalah jumlah uang yang diterima keenam pejabat tersebut sebanyak 200.000 keping, ditulis dengan angka dan huruf (terbilang) sampai dua kali. Cara penulisan yang demikian mirip dengan cara pengisian selembar kuitansi pada masa sekarang. Kemudian, pada akhir “kuitansi” tersebut tertera hari, tanggal, bulan dan nama (tertanda): Sa[ng] Kawasa.

Jumlah uang 200.000 kepeng adalah jumlah terbesar yang pernah disebutkan dalam prasasti maupun naskah. Dapat dibayangkan uang sebanyak itu ditaruh ke dalam beberapa buah guci, sedikitnya dibutuhkan 10 buah guci ukuran sedang (ukuran ±40 cm). Sering terdengar berita tentang temuan mata uang dalam guci, baik ditemukan dalam keadaan utuh maupun sudah pecah berantakan.

Trigangga
Pernah menjabat Kurator Numismatik Museum Nasional

Rabu, 20 Mei 2009

Uang Kuno Koleksi Museum Nasional


Uang "Gobog"

Kuningan
Jawa (Majapahit)
Abad XIII-XVI Masehi
D 68,16 mm, Tbl 3,38 mm, Brt 73, 5 gr
No. inv. 2628/3032

Bagian tengah berlubang tembus sisi lainnya. Di sekitar lubang terdapat motif bintang bersudut enam. Sisi muka bergambar relief wayang (Semar, Kresna), seekor gajah dan ular. Pada sisi lain tertera tulisan Arab yang merupakan kalimat Syahadat "La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah". Uang ini disebut juga "pisis" dan diperkirakan beredar pada masa akhir Kerajaan Majapahit.


Uang "Kampua (Bida)"


Katun
Buton, Sulawesi Tenggara
Abad XIX Masehi
P 140 mm, L 170 mm
No. inv. 13002

Jenis uang ini terbuat dari sehelai tenunan berbentuk persegi panjang. Tenunan ini dibuat oleh putri-putri istana dengan jumlah dan corak yang ditentukan di bawah pengawasan Menteri Besar. Setiap tahun coraknya dibuat berbeda untuk menghindari pemalsuan. Pemalsu uang "Kampua" dapat dituntut hukuman mati.

Kamis, 16 April 2009

Koleksi Numismatik dan Heraldik Museum Nasional


Koleksi Numismatik dan Heraldik terdiri dari benda-benda seperti koin, uang kertas dan token yang pernah beredar dan digunakan oleh masyarakat. Di samping itu terdapat alat cetak uang dan medali. Koleksi Numismatik Museum Nasional sebagian besar berasal dari masa kerajaan-kerajaan Indonesia kuna, masa kolonial (Belanda, Portugis, Inggris dan Jepang) hingga masa kemerdekaan Indonesia. Selain koleksi numismatik dari dalam negeri, juga terdapat koleksi numismatik yang berasal dari negara-negara di benua Asia, Eropa, Afrika, Amerika dan Australia. Sedangkan koleksi Heraldik yang dimiliki Museum Nasional adalah lambang-lambang seperti medali/tanda jasa, cap/stempel, dan amulet.

Uang “PITIH TEBOH”

Uang ini berbentuk segi delapan dengan lubang bundar di bagian tengah, terbuat dari timah dengan berat 1,44 gr. Uang ini berasal dari Palembang, Sumatra Selatan. Salah satu sisinya tertera tulisan Arab, dibaca “Haza fulus fi Balad Palembang-1219”. Dari angka tahun Hijriyah yang tertera 1219 (=1804 Masehi), uang ini beredar pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin.
No. Inv. 12991


Uang “KASHA”

Uang berbentuk bundar dengan lubang berbentuk segi enam di bagian tengah ini terbuat dari kuningan mempunyai berat 3,57 gr. Uang ini berasal dari masa Kesultanan Banten, abad ke-16 M. Pada salah satu sisinya tertera tulisan Arab berbahasa Jawa, dibaca “Pangeran Ratu Ing Banten”, gelar Sultan Maulana Muhammad yang memerintah di Banten pada tahun 1580-1596.
No. Inv. 13621


Medali JP Coen

Perunggu
Belanda
Tahun 1937
No. inv. 13344

Medali tanda penghargaan 350 tahun kelahiran Jan Pieter Zoon Coen (1587-1937), pendiri kota Batavia, Hindia Belanda (Indonesia), sebagai Gubernur Jenderal dan meninggal dunia pada tahun 1629. Nama Batavia berasal dari Batavieren, nama suku bangsa nenek moyang bangsa Belanda yang berasal dari Jerman. Nama Batavia kemudian diusulkan oleh Van Raai pada tanggal 12 Maret 1619.

(disunting dari Museum-nasional.com)

Senin, 02 Maret 2009

Uang Logam Banten


Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, daerah ini berada di bawah kekuasaan Kerajaan Salakanagara, Tarumanagara, Sunda, dan Pajajaran sebagai suatu Kadipaten (Propinsi). Ketika agama Islam berkembang dengan pesat dan meluasnya supremasi Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, daerah Banten lambat laun menjadi daerah protektorat Cirebon.

Sultan Banten pertama Maulana Hasanuddin (P. Sebakingkin), putra Sunan Gunung Jati, merupakan cikal bakal Sultan-sultan Banten (1552-1823). Seperti halnya daerah-daerah lain, mata uang Cina merupakan satu-satunya alat pembayaran yang digunakan dalam perdagangan dan kehidupan sehari-hari.

Orang-orang Eropa yang pertama kali mengunjungi pulau Jawa pada akhir abad XVI, menemukan adanya pemakaian uang Cina (cash) ini baik yang berasal dari Cina sendiri maupun tiruan timah setempat. Mereka juga menyebutkan kehadiran pemalsu uang bangsa Cina yang membuatnya di Banten.

Menurut Linschoten, yang singgah di pelabuhan Banten pada 1590, jenis uang yang digunakan hanyalah apa yang disebut “caixa” (kasha), di antaranya 200 caixas = 1 sata dan 1000 caixas = 1 crusaat Portugis atau 3 Carolus Gulden Belanda. Menurut Houtman, 116 caixas = 1 real. Sangat disayangkan mata uang tersebut tidak pernah ditemukan lagi.

Adapun mata uang Banten (picis) yang berdasarkan atas prototipe uang Cina (cash) terdiri atas dua tipe:

Pertama, bertuliskan huruf Jawa “Pangeran Ratu”, diperkirakan merupakan jenis uang tertua yang diketahui orang sejauh ini. Jika dilihat dari jenis aksara yang digunakan, jelas menunjukkan pengaruh kebudayaan Jawa yang masih kuat. Kemungkinan uang ini berasal dari masa sebelum abad XIV atau pada masa awal berdirinya Kesultanan Banten. Tidaklah dapat dipastikan penguasa (raja) mana yang mengeluarkannya karena gelar tersebut di atas digunakan oleh seorang putra raja atau seorang pangeran dari keluarga kerajaan.

Raffles memperkirakan uang tersebut dibuat tahun 1569 yang merupakan tahun menjelang wafatnya Sultan Hasanuddin. Jenis uang ini berukuran besar, sedang, dan kecil dengan lubang segi enam dan terbuat dari bahan tembaga. Mata uang dengan ukuran yang lebih kecil mempunyai bentuk dan corak yang sama seperti di atas tetapi pada sisi belakang terdapat suatu tulisan atau semacam tanda cetak.

Jenis kedua bertuliskan angka Jawa (40) sebanyak enam kali dan berlubang segi lima. Pada masing-masing sudut ada yang tumpul dan runcing ke dalam, terbuat dari bahan yang sama. Belum diketahui apakah angka 40 ada hubungannya dengan peringatan sesuatu peristiwa (candrasangkala) atau tahun pemerintahan dari seorang penguasa.


Kedua, bertuliskan huruf Arab Melayu yang terdiri atas beberapa macam. Yang bertuliskan “Pangeran Ratu Ing Banten” (P. Ratu dari Banten) dikeluarkan oleh S. Abdul Mufakhir Muhammad, terbuat dari bahan tembaga dan ada pula timah, dengan bentuk, ukuran, dan lubang seperti yang disebutkan terdahulu.

S. Abu’l Ma’ali Ahmad Rahmatullah (1650—1) pernah mengeluarkan picis timah dan tembaga yang bertuliskan “as-Sultan Abu’l Ma’ali”. Diikuti oleh S. Abu’l Fatah Muh. Syifa’ Zainul Arifin yang bertuliskan “Picis Banten Sanat 1147, 1149, atau 1146” atau 1733 M dan 1753 M. Selanjutnya S. Abu’l Nasar Muh. ‘Arif Zainul Asyikin merupakan Sultan Banten terakhir yang mengeluarkan uang picis bertuliskan “Alamat Picis Banten Sanat 1181” (1767). Kedua sultan terakhir ini juga mengeluarkan picis dari bahan timah.

Kekuasaan asing di Banten bermula dengan dibukanya kantor dagang Kompeni Inggris pada 1602-1678, disusul kemudian oleh Kompeni Belanda tahun 1659. Setelah pemerintahan Banten berhasil menanamkan kekuasaannya, maka terbentuklah Kabupaten Serang (1816), Kabupaten Lebak (1813), Kabupaten Pandeglang (1848), dan Kabupaten Rangkasbitung (?). Pada 1832 Kesultanan Banten dihapus secara definitif oleh Pemerintah Hindia Belanda dan berada di bawah pemerintahan Keresidenan Banten.

(Sumber: Alim A. Sumana, Berita PPKMU 1985)

Selasa, 24 Februari 2009

Mata Uang Jambi


Pada mulanya Jambi berada di bawah kekuasaan kerajaan Kantoli, Malayu I (Malayu Awal), Sriwijaya, Malayu II (Dharmasraya), dan bajak laut Cina. Kerajaan Jambi sendiri didirikan oleh Tun Telanai dari India Muka, sebagai cikal bakal raja-raja Jambi pada awal abad XV. Meskipun agama Islam sudah berkembang di sana pada abad XV-XVI, raja-raja Jambi masih memakai gelar Panembahan seperti halnya Mataram sebagai kerajaan yang Dipertuan. Barulah gelar Sultan pertama dipakai oleh P. Seda yang terkenal dengan nama S. Abdul Kahar Agung Sri Ingologo (1615-1643).

Tidak diketahui dengan pasti mata uang mana yang mula-mula dipakai sebagai alat tukar. Yang jelas mata uang Cina (cash, caxam kassha, dsb) merupakan satu-satunya alat tukar yang digunakan secara luas dalam hubungan perdagangan dan juga kehidupan sehari-hari di samping alat tukar tradisional (in natura) di seluruh Timur Jauh selama berabad-abad. Kemungkinan besar uang emas (deureuham) dan uang timah (keueh) Aceh juga sudah digunakan di daerah Jambi karena Aceh pernah berusaha meluaskan politik ekspansinya ke arah selatan dengan menaklukkan Kerajaan Jambi kira-kira tahun 1624.

Sekitar abad XVII dapatlah diketahui bahwa Kesultanan Jambi telah membuat mata uang sendiri. Menurut Valentijn (1691) nilai tukar yang berlaku pada waktu itu adalah 1 Real Spanyol = 60 cash dan 1 tael = 16 mas. Mata uang Kesultanan Jambi terdiri atas tiga tipe, yaitu:

Pertama, bertuliskan huruf Jawa “Cap Sultan Jambi”. Menilik dari jenis aksara yang dipakai jelas menunjukkan pengaruh Jawa di pantai timur Sumatra hingga akhir abad XVII.

Mata uang picis ini terbuat dari bahan timah dan berbentuk bundar dengan lubang yang bundar pula, seperti halnya mata uang Kesultanan Siak Sri Indrapura. Kemungkinan mata uang picis ini dibuat pada masa pemerintahan S. Sri Ingologo (Abdul Muhji) pada 1665-1690 (?).

Kedua, bertuliskan huruf Arab Melayu “Alamat Sultan”, bentuknya masih seperti di atas. Ada pula yang dibatasi dengan bidang segi enam.

Mata uang lainnya yang bertuliskan “S. Anom Sri Ingologo” mempunyai bentuk dan corak yang sama tetapi dengan lubang segi enam. Seri selanjutnya berbentuk segi delapan, tulisannya sukar dibaca. Mata uang ini dibuat pada masa pemerintahan S. Ahmad Zainuddin Anom Sri Ingologo (1770-1790). Nilai tukar pada waktu itu 1 Real Spanyol = 400 picis. Setelah itu picis Jambi tidak dibuat lagi tetapi digantikan oleh mata uang VOC.

Ketiga, berupa tiruan dari uang VOC (duit) yang dibuat W. Friesland dengan bagian belakang berupa lambang VOC tetapi bertarikh “18PP” di bawahnya.

Pada 1858 S. Thaha Syaifuddin P. Jayadiningrat memberontak melawan Belanda sehingga dia digantikan oleh saudaranya S. Ahmad Nazaruddin sebagai raja boneka (1858-1881). Untuk memperkuat kekuasaannya, Belanda mengangkat beberapa orang wakilnya sebagai civil gezaghebber, politiek agent serta asistent resident (1823-1916). Tahun 1906 Kesultanan Jambi dihapuskan oleh Belanda dengan status Keresidenan (1906-1942), yang sebelumnya merupakan bagian dari Keresidenan Palembang (1901-1906). Pada masa pendudukan Jepang, Jambi merupakan suatu keresidenan (Djambi Sju) di bawah pengawasan pemerintahan Angkatan Darat (Rikugun) Armada XXV.

Setelah kemerdekaan Jambi merupakan keresidenan sebagai bagian dari Provinsi Sumatra Tengah (1945-1957). Tahun 1957 Jambi menjadi provinsi dari NKRI.

(Sumber: Berita PPKMU)


Rabu, 01 Oktober 2008

Penemuan Uang Kuno Banten di Inggris


Oleh: DJULIANTO SUSANTIO


Penemuan serenceng uang kuno asal Indonesia di tepi Sungai Thames (Inggris) akhir 2003 lalu sebagaimana berita di SH, memang masih merupakan misteri, tapi menarik untuk disimak. Uang kuno tersebut berbahan tembaga dan berlubang segi enam di tengahnya. Pada setiap keping terdapat tulisan Arab yang berbunyi ”Pangeran Ratu ing Bantan”. ”Bantan” adalah sebutan untuk Provinsi Banten sekarang.

Dari hasil penelitian diketahui uang kuno ini bertarikh abad ke-17 dan merupakan mata uang kuno Jawa pertama di Inggris. Menurut rencana temuan ini akan dipamerkan di Museum London dalam waktu dekat.

Mutlak

Bagaimana koin-koin kuno itu bisa sampai di Inggris, tentu memerlukan penelitian lebih jauh. Yang mendukung penelitian adalah jumlah temuan relatif banyak yakni sekitar 900 keping.


Sebenarnya mata uang kuno sudah banyak beredar di Indonesia sejak ribuan tahun yang lalu, sejak masa prasejarah hingga pengaruh kerajaan-kerajaan bercorak Hindu/Budha. Selanjutnya pada zaman kerajaan-kerajaan bercorak Islam, jenis mata uang lebih banyak beredar. Ini terjadi karena setiap raja atau penguasa yang memerintah hampir selalu mengeluarkan mata uang. Misalnya Kesultanan Perlak, Samudra Pasai, Aceh, Banten, Cirebon, Siak, Jambi, Palembang, Buton, Gowa dan Sumenep.


Pada abad ke-16 muncul pedagang-pedagang dari Portugis, Belanda, Spanyol, dan Inggris. Mereka membawa mata uang logam sebagai alat tukar dalam perdagangan dengan penduduk pribumi. Sampai kini penemuan mata uang dari kerajaan/kesultanan lokal dan mata uang asing banyak terdapat di berbagai situs di Indonesia. Mulai yang berbahan perunggu dan timah hingga berbahan perak dan emas. Di samping Belanda, mata uang Inggris paling banyak dijumpai di Indonesia pada abad ke-18, antara lain golden ropy, stuiver, ropij, duit, double suku, dan kepeng.


Mata uang, khususnya mata uang logam (koin) merupakan salah satu benda yang berperanan penting untuk mengungkapkan perjalanan sejarah bangsa. Para arkeolog dan sejarawan merasa sangat terbantu apabila di situs ditemukan mata uang. Terlebih bila berjumlah relatif besar, sehingga memudahkan penafsiran data.


Mata uang merupakan artifak bertanggal mutlak. Ini karena mata uang mengandung data tekstual (tulisan) dan piktorial (gambar). Pada mata uang, misalnya, sering tertera angka tahun sehingga bisa ditafsirkan masa pemerintahan seorang raja/penguasa waktu itu. Selain itu bisa diketahui raja/penguasa mana yang menerbitkan mata uang tersebut melalui gambar wajah pada salah satu sisinya. Karena terdapat data tekstual dan piktorial, maka mata uang dipandang sebagai data primer.


Mata uang juga bisa menjadi alat bantu untuk memberikan penanggalan pada suatu lapisan tanah atau himpunan temuan. Ini sering dilakukan para arkeolog dalam berbagai proyek ekskavasi. Biasanya mata uang yang berada di dalam tanah memiliki hubungan fisik dengan temuan lain.


Sayangnya di Indonesia studi atau penelitian tentang mata uang masih jarang dilakukan. Hanya beberapa arkeolog yang sampai kini masih menekuni numismatik. Temuan mata uang ini sebenarnya memungkinkan para pakar dapat merekonstruksi mata rantai yang terputus (missing link), sehingga mampu mengisi kekosongan sejarah.


Contohnya mengenai keberadaan sultan-sultan Banten. Dalam pemerintahannya hampir sebagian besar Sultan Banten mengeluarkan mata uang sehingga merupakan urutan yang panjang. Dengan demikian mata uang dapat menggantikan peranan sumber-sumber tertulis yang ada. Umumnya mata uang kuno terdapat di daerah pantai.


Koin peninggalan Kerajaan Yunani dan Romawi hingga kini dianggap memiliki nilai sejarah yang tinggi. Sumber-sumber demikian sulit diperoleh dari artifak-artifak lain. Pelukisan Alexander Agung, Apollo, Kaisar Nero, dan Philipus sangat membantu penafsiran sejarah.


Keindahan, seni, dan detail yang mengagumkan sangat dipuji para arkeolog dan numismatis. Mereka memotret secara realistis para kaisar, negarawan, dan panglima perang. Ini dipandang merupakan catatan sejarah yang tidak ternilai.


Banten

Provinsi Banten baru terbentuk pada 2000. Namun nama Banten sudah terkenal sejak berabad-abad lampau. Banyak penduduk Nusantara dan pengelana mancanegara mengenal Banten sebagai kota dagang dan kota pelabuhan penting. Pada abad ke-12 hingga ke-15 Banten menjadi pelabuhan utama Kerajaan Sunda yang banyak disebut buku-buku sejarah.


Sebelumnya peran Banten kurang begitu penting sebagaimana diungkapkan Tome Pires, pengeliling dunia bangsa Portugis. Nama banten menjadi besar ketika berdiri kerajaan bercorak Islam.


Setelah kedatangan bangsa Belanda pada 1596, Banten menjadi pusat perekonomian dunia. Banyak pedagang mancanegara bertransaksi di sini. Mereka berdatangan dari Portugis, Inggris, Arab, Persia, Turki, Cina, Keling, Pegu, Malaya, Benggali, Gujarat, Malabar, dan Abesinia (sekarang Ethiopia).


Dalam transaksi sudah digunakan uang sebagai alat pembayaran. Mata uang yang dikenal luas di sana antara lain mata uang Cina cash. Mata uang lain adalah tumdaya atau tael.


Primadona di Banten adalah perdagangan keramik. Banyak ekspor keramik ke Eropa dilakukan dari sini. Intensitas tertinggi perdagangan keramik terjadi pada 1614-1616 mencakup lebih dari 130.000 potong keramik.


Puncak kebesaran Kerajaan Banten dicapai ketika pemerintahan dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672). Di masa ini Banten mengalami pembangunan besar-besaran.


Kemudian nama Banten semakin terkenal ke mancanegara. Pada masa Sultan Haji, Banten mengirim duta besar pertama ke Inggris (1662), yaitu Kyai Ngabehi Naya Wipraja. Karena dipandang berjasa, beliau dianugerahi gelar Sir Abdul oleh Raja Inggris Charles II.


Temuan uang kuno di Inggris itu kemungkinan berhubungan dengan Sultan Haji. Namun bagaimana bisa sampai terendam lumpur: apakah sengaja dibuang orang karena uang Banten tidak laku di Inggris, sengaja dipendam oleh ulah usil penggemar barang antik, terjatuh dari kapal, atau penyebab lain, kita masih menunggu tim peneliti Inggris karena merekalah yang punya barang tersebut.


Penulis adalah arkeolog dan numismatis,
tinggal di Jakarta

(Pernah dimuat di SINAR HARAPAN, 2003)

♦ Kontak Saya ♦

Nama Anda :
Email Anda :
Subjek :
Pesan :
Masukkan kode ini :

.

Photobucket

.

Pyzam Glitter Text Maker