TAK banyak masyarakat yang mengenal Bank Indonesia (BI), sekalipun bank sentral ini merupakan lembaga yang sangat vital dalam kehidupan perekonomian bangsa ini. Kurangnya informasi yang diterima masyarakat tentang BI, salah satu penyebab kurangnya masyarakat mengenal BI. Kondisi itu menjadi salah satu pendorong bagi Bank Indonesia mendirikan Museum Bank Indonesia. Dengan adanya museum ini, diharapkan masyarakat luas akan mengetahui secara lebih jauh apa dan bagaimana peran BI. Termasuk untuk memberikan informasi jejak BI di masa lampau hingga sekarang.
Museum ini menjadi humas BI yang utuh. Bekal lain yang menguatkan tekad BI mendirikan museum adalah karena memiliki aset gedung tua, bekas De Javasche Bank, di Jln. Pintu Besar Utara, Jakarta. Gedung itu bersejarah dan sebelumnya juga merupakan kantor BI. Namun, setelah BI mempunyai kantor baru, gedung ini nyaris tidak dimanfaatkan. Oleh karena itu, gedung tersebut akhirnya digunakan sebagai museum.
Selain itu BI juga memiliki dokumen, benda-benda bersejarah, yang terkait dengan kegiatan BI di masa lampau, seperti berbagai macam uang yang pernah ada di Indonesia, dan benda lainnya. Semua itu kalau disimpan di satu tempat dan bisa dengan mudah diakses masyarakat, akan menjadi salah satu pengetahuan yang sangat penting. Maka museumlah, tempat yang paling tepat untuk menyimpan semua itu.
"Alasan-alasan itu lah, yang akhirnya mendorong BI mendirikan museum ini," kata Agus Santosa, salah seorang petugas Museum BI, menjelaskan kepada rombongan wartawan dari Tasikmalaya, termasuk dari Pikiran Rakyat, awal Desember lalu. Rombongan wartawan datang ke Museum BI, sebagai salah satu kegiatan yang dilakukan BI Tasikmalaya, di bawah Pimpinan H. Yoyo Soenarno. Dengan tujuan mengetahui lebih jauh tentang BI.
Museum itu, kata Yoyo Soenaryo, merupakan objek wisata yang bermanfaat karena akan memberikan banyak informasi tentang uang, kebijakan, dan lain-lain, yang dilakukan oleh BI. Museum ini memang belum lama berdiri. Tepatnya, mulai dibuka pada 15 Desember 2006 dan diresmikan oleh Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah. Saat "PR" berkunjung, proses penyelesaian rehab untuk pembangunan museum belum selesai. Saat ini, baru memasuki tahap pertama, dari dua tahap yang direncanakan. Sejumlah petugas bangunan terlihat sedang menyelesaikan perbaikan untuk tahap kedua. Diharapkan, akhir Tahun 2008, tahapan itu bisa selesai dikerjakan.
Rombongan dari Tasikmalaya ini merupakan pengunjung museum yang jumlahnya sudah mencapai 17.000 lebih. Selama ini, selain rombongan pers, banyak rombongan pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum berkunjung ke tempat ini. Pihak museum belum menarik bayaran dari setiap pengunjung. Untuk sementara, pengunjung hanya bisa menikmati fasilitas yang ada di tahap pertama."Pada tahap pertama ini, museum menampilkan berbagai informasi tentang sejarah Bank Indonesia sejak berdirinya pada tahun 1953, meliputi pula latar belakang dan dampak kebijakan-kebijakannya bagi masyarakat di masa lalu. Selain itu, terdapat pula fakta dan benda sejarah dari masa jauh sebelum Bank Indonesia berdiri yaitu pada masa kerajaan-kerajaan nusantara dan bagaimana mereka melakukan transaksi dagang dengan bangsa lain," kata Agus.
Petugas museum memberikan penjelasan tentang ruang-ruang yang ada, mulai dari depan gedung museum, yang memang sangat megah sekalipun masih bergaya arsitektur lama. Dari depan bangunan, rombongan dibawa ke lobi dan ke loket-loket bekas transaksi zaman dulu. Setelah itu, mulai berjalan ke ruang peralihan. Ruang peralihan ini merupakan ruangan pertama dari seluruh rangkaian kegiatan kunjungan ke museum.
Di tempat ini, para pengunjung bisa menikmati permainan interaktif melalui proyektor khusus. Saat itu, di dinding ruangan ada gambar mata uang. Kalau mata uang itu dilingkari oleh tangan kita, dengan sendirinya akan langsung muncul informasi tentang mata uang itu, seperti kapan waktu mulai dikeluarkan, hingga bahan baku yang digunakan.
Dari ruang peralihan ini, rombongan dibawa ke ruangan teater atau bioskop. Di ruangan itu, ada tempat duduk dengan kapasitas 45 orang. Ketika kami semua sudah masuk, ruangan menjadi gelap lalu diputar film sejarah BI dari zaman baheula sampai kondisi terakhir. Informasi itu diputar kurang lebih selama 30 menit. Perjalanan selanjutnya yaitu menuju ke ruangan sejarah pra-Bank Indonesia. Semua itu digambarkan lewat peta kuno yang cukup panjang, hampir menutupi semua dinding ruangan sejarah BI.
Ceritanya, proses kegiatan perdagangan masyarakat bangsa Indonesia zaman sebelum kemerdekaan. Jauh sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah menjadi pusat perdagangan internasional, seperti di Aceh dan lainnya. Sementara di daratan Eropa, merchantilisme (perdagangan bebas) telah berkembang menjadi revolusi industri dan menyebabkan pesatnya kegiatan dagang Eropa. Pada saat itulah muncul lembaga perbankan sederhana, seperti Bank van Leening di negeri Belanda.
Sistem perbankan ini kemudian dibawa oleh bangsa barat yang mengekspansi nusantara pada waktu yang sama. VOC di Jawa pada 1746 mendirikan De Bank van Leening yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank itu adalah bank pertama yang lahir di nusantara, cikal bakal dari dunia perbankan pada masa selanjutnya. Pada 24 Januari 1828, pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan nama De Javasche Bank (DJB). Selama berpuluh-puluh tahun bank tersebut beroperasi dan berkembang berdasarkan suatu oktroi dari penguasa Kerajaan Belanda, hingga akhirnya diundangkan DJB Wet 1922.
Masa pendudukan Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan Hindia Belanda untuk sementara waktu. Kemudian masa revolusi tiba, Hindia Belanda mengalami dualisme kekuasaan, antara Republik Indonesia (RI) dan Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA). Perbankan pun terbagi dua, DJB dan bank-bank Belanda di wilayah NICA sedangkan Jajasan Poesat Bank Indonesia dan Bank Negara Indonesia di wilayah RI.
Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian DJB sebagai bank sentral bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus bertahan hingga masa kembalinya RI dalam negara kesatuan. Berikutnya sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, RI menasionalisasi bank sentralnya. Maka, sejak 1 Juli 1953 berubahlah DJB menjadi Bank Indonesia, bank sentral bagi Republik Indonesia.
***
DARI ruangan prasejarah, rombongan masuk ke ruangan yang ada di sampingnya, berupa ruangan sejarah BI. Ruangan ini menampilkan berbagai cerita dan gambar, tertera di dinding, sejak BI berdiri tahun 1953 hingga tahun 2005 lalu. Ada tiga fungsi yang ditampilkan di ruangan ini. Fungsi pertama yaitu moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Di antara berbagai ruangan yang telah dilalui, justru ruangan numismatik yang paling banyak diminati oleh pengunjung. Di ruangan ini ditampilkan sejarah uang dan contoh-contoh uang yang pernah ada di Indonesia, sebelum kemerdekaan hingga sekarang.
Uang ditampilkan per periode dan ada juga uang yang pernah beredar di perkebunan, termasuk uang yang pernah beredar di perkebunan Cimahi dan sekitarnya. Uang perkebunan itu dibuat dari bambu. Kabarnya, waktu itu Belanda tidak punya uang untuk membayar pegawai perkebunan sehingga membuat mata uang sendiri dari bambu. Namun, uang perkebunan ini hanya berlaku di lokasi perkebunan sekitar Cimahi, tidak bisa dibawa ke luar. Sayangnya, tidak disebutkan tahun yang pasti, hanya sekitar tahun 1700.
Sejarah mencatat, mata uang pertama yang memiliki standardisasi yang berlaku pada zaman dulu yaitu di Kerajaan Mataram, ketika dipimpin Raja Syailendra, sekitar abad ke-9. Nama uangnya MASA atau MA, yang terbuat dari emas dan perak. Besarannya, sebiji jagung. Uang MASA juga ditemukan di Kerajaan Kediri/Daha, yang merupakan pecahan dari Mataram.
Di Majapahit, ketika dipimpin Raja Hayam Wuruk dengan Patih Gajah Mada dikenal mata uang MASA dan Gobog Wayang. Di Kerajaan Samudera Pasai/Aceh juga ada mata uang bernama MASA. Lalu, di Kerajaan Banten mata uang Gobog Banten. Di Kerajaan Buton juga ditemukan mata uang yang pernah berlaku pada abad ke-14. Waktu itu, Pemerintahan Buton dipimpin Ratu Bulawaba dengan membuat mata uang dari kain tenun.
Namun, yang menenunnya putri-putri dari kerajaan, bukan sembarang orang. Ukuran atau nilai tukar mata uang yang bernama Kampua/Bida ini, ditentukan oleh Menteri Besar Kerajaan. Nilai tukarnya sebesar empat jari tangan menteri, sama dengan satu butir telur. Namun, setiap tahun uang Kampua ini selalu berganti-ganti untuk menghindari pemalsuan.
Bagi warga yang ketahuan membuat atau memalsukan Kampua akan dihukum pancung. Banyak lagi cerita dari ceceran mata uang zaman dulu ini, termasuk mata uang dari Cina yang pernah masuk, lalu saat zaman penjajahan Belanda, Jepang, hingga akhirnya membuat mata uang sendiri pada tahun 1952 dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI).
Selain uang, ada juga benda-benda atau barang kuno era dulu yang berhubungan dengan BI.Dari ruangan numismatik, akhirnya rombongan diajak ke ruangan auditorium untuk mengikuti seminar atau diskusi tentang peran dan fungsi BI terkini. Ada beberapa pejabat BI yang memberikan informasi tentang BI tersebut. Selama kurang lebih tiga jam berada di tempat ini. Beragam informasi telah diperoleh, sekaligus menikmati keindahan artsitektur lama dari bangunan museum ini. Selain memperoleh pengetahuan, pengunjung juga dihibur dengan berbagai permainan yang disajikan petugas. Tidak lupa, ada juga beragam cenderamata yang ditawarkan di tempat ini. (Undang Sudrajat/"PR")***
(Sumber: Pikiran Rakyat Online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar