Oleh : Hotma D. L. Tobing
"Besok tanggal 30 Oktober 1946 soeatoe hari jang mengandoeng sedjarah bagi tanah air kita. Rakjat kita menghadapi penghidoepan baroe. Besok moelai beredar Oeang Repoeblik Indonesia sebagai satoe-satoenja alat pembajaran jang sah. Moelai poekoel 12 tengah malam nanti, oeang Djepang jang selama ini beredar sebagai oeang jang sah, tidak lakoe lagi. Beserta dengan oeang Djepang itoe ikoet pula tidak lakoe oeang De Javasche Bank. Dengan ini toetoeplah soeatoe masa dalam sedjarah keoeangan Repoeblik Indonesia. Masa jang penuh dengan penderitaan dan kesoekaran bagi rakjat". Demikian isi pidato Bung Hatta, 30 Oktober 1946 di RRI pukul 00.00 WIB.
Awal Mula Uang
Zaman dulu insan memenuhi kebutuhan dengan hasil ladang dan buruan. Zaman berkembang, kebutuhan pun meningkat sehingga insan menukarkan barang yang dimilikinya dengan barang yang dimiliki orang lain. Nenek moyang kita memenuhi segala kebutuhan sandang, pangan dan papan dari lingkungan mereka. Seiring dengan bertambahnya kebutuhan dalam kelompok masyarakat maka muncullah proses innatura atau barter suatu proses tukar-menukar barang dengan barang.
Tatkala kehidupan manusia semakin kompleks, barter pun bertumbuh subur. Konon pada 1626 Peter Minuit menukarkan manik-manik dan barang perhiasan kecilnya seharga US $ 24 dengan pulau Manhattan. Pada tahun 1993 total pulau ini diperkirakan bernilai US $ 50,4. Di Indonesia justru sistem barter ini masih ditemukan di beberapa masyarakat pedalaman seperti suku Sasak, Badui dalam dan luar, suku Sakai, dan lain-lain.
Misalnya sejumlah hasil kebun seperti buah sawo, manggis diletakkan di pinggir jalan untuk ditukar dengan gula, garam, pakaian, dan lain-lain. Tatkala dalam perkembangan zaman, perdagangan berkembang semakin pesat, orang kemudian menemukan jalan keluar dimana lahirlah uang. Pada akhirnya uang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, terutama dalam melakukan perdagangan sebagai alat pembayaran (baca: Dana dan Investasi terbitan Bapepam dan Capital Market Society 1996).
Sejarah Rupiah
Sejarah suatu bangsa sangat erat kaitannya dengan lahirnya uang. Demikian pula tentunya dengan sejarah uang rupiah di negara tercinta Indonesia. Rupiah berasal dari rupee, bahasa Sansekerta yang bermakna perak. Usai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 diumumkan, pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk mengeluarkan mata uang sendiri.
Oeang Repoeblik Indonesia atau ORI adalah mata uang pertama yang dimiliki Republik Indonesia setelah merdeka. Pemerintah memandang perlu untuk mengeluarkan uang sendiri yang tidak hanya berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah tapi juga sebagai lambang utama Negara merdeka. ORI resmi beredar pada tanggal 30 Oktober 1946.
ORI tampil dalam bentuk uang kertas bernominal satu sen dengan gambar muka keris terhunus dan gambar belakang teks Undang-undang. ORI ditandatangani Menteri Keuangan saat itu A.A. Maramis. Pada hari itu juga dinyatakan bahwa uang Jepang dan uang De Javasche Bank tidak berlaku lagi.
ORI pertama kali dicetak di Percetakan Canisius dengan desain sederhana dengan dua warna dan memakai pengaman serat halus. Tahun kedua setelah ORI diterbitkan, ada peristiwa tragis yang mengenaskan bangsa kita. Ketika PKI menguasai Madiun dan Ponorogo, sebagian hasil cetakan diangkut ke Sawahan-Nganjuk dan dihancurkan. Bahkan Belanda yang sempat menguasai Madiun, tanggal 18 Desember 1948 turut pula mengacaukan proses pemindahan alat percetakan.
Soetijpto, pimpinan percetakan ORI ditangkap dan ditembak mati. Meski masa peredaran ORI cukup singkat, namun ORI telah diterima di seluruh wilayah Republik Indonesia dan ikut menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajah. Inilah wujud eksistensi kemerdekaan republik ini, dan bukti bahwa Kemerdekaan merupakan perjuangan rakyat Indonesia dan bukan pemberian dari bangsa lain.
Sekelumit peristiwa sejarah uang RI, seyogyanya mengingatkan bangsa Indonesia untuk lebih menghargai uang. Mencari uang tidaklah mudah, bahkan proses awalnya juga meninggalkan sebuah tragedi. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, pemerintah menetapkan beberapa ketentuan yang mengatur tentang jenis mata uang yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah.
Pertama, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah RI tanggal 2 Oktober 1945, menetapkan bahwa uang NICA tidak berlaku lagi di wilayah RI.
Kedua, pemerintah mengeluarkan Maklumat Presiden RI No. 1/10 tanggal 3 Oktober 1945, menetapkan beberapa jenis uang yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Indonesia. Setelah itu pemerintah melalui Undang-undang No. 17 tahun 1946 secara resmi menetapkan pengeluaran "Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Pada saat Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, di negeri kita beredar empat jenis mata uang.
Pertama, uang sisa zaman kolonial Belanda, De Javasche Bank. Kedua, uang yang sudah dipersiapkan oleh Jepang sebelum menguasai Indonesia dengan bahasa resmi Hindia Belanda, yaitu mata uang De Japansche Regeering dengan satuan gulden yang dikeluarkan tahun 1942.
Ketiga, uang pendudukan Jepang menggunakan bahasa Indonesia, Pemerintah Dai Nippon emisi 1943 dengan pecahan bernilai 100 rupiah.
Keempat, Dai Nippon Teikoku Seihu, emisi 1943 bergambar Satria Gatot Kaca dengan pecahan bernilai 10 rupiah, bergambar rumah gadang Minang dengan pecahan bernilai 5 rupiah. Selanjutnya pengaturan pengeluaran ORI termasuk mengenai nilai tukarnya terhadap uang yang beredar lainnya ditetapkan dalam Undang-undang No. 19 tahun 1946. ORI ditetapkan secara sah mulai berlaku 30 Oktober 1946, pukul 00.00. Wakil Presiden RI Mohammad Hatta menyampaikan pidato sambutannya atas berlakunya ORI melalui siaran Radio Republik Indonesia Yogyakarta (62 tahun ORI, dari ORI sampai Reformasi, Koperasi Sejahtera Anggaran- Depkeu RI)
Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) Daerah
Ketika ibukota pemerintahan pindah ke Yogyakarta, hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terputus. Suasana yang tidak kondusif pada masa itu mengakibatkan langkanya ORI di daerah-daerah tertentu, maka pemerintah memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk menerbitkan uang kertas atau tanda pembayaran yang sah yang berlaku secara terbatas di daerah.
Uang darurat di daerah provinsi Sumatera Utara (ORIPS) yang pada mulanya dicetak di Pematang Siantar, misalnya diedarkan pada tanggal 11 April 1947. Pecahan terdiri dari nilai nominal 1, 5, 10, dan 100 rupiah. Pengeluaran diatur dengan ketentuan yang berlaku. Kemudian melalui PP No. 19/1947 tanggal 26 Agustus 1947, yang dikenal dengan URIDA. Penerbitan uang tersebut dijamin oleh Pemerintah dan dapat ditukar dengan ORI.
Beberapa URIDA yang pernah terbit antara lain:
* ORIDAB-Uang Kertas Darurat untuk Daerah Banten
* ORIPS-Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera
* Surat Tanda Penerimaan Uang untuk Yogyakarta
* Kupon Penukaran Uang untuk Jambi
* Tanda Pembayaran yang sah untuk Keresidenan Lampung
* Mandat Dewan Pertahanan Daerah Palembang (DPDP)
* Tanda Pembayaran yang sah berlaku untuk Sumatera Selatan
* Bon Pemerintah Negara Repoeblik Indonesia kabupaten Asahan
* Mandat Pertahanan untuk Daerah Keresidenan Lampung
* Tanda Pembayaran yang sah berlaku untuk daerah Aceh
Pengguntingan dan Pengebirian uang
Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, konfrontasi fisik dengan Belanda praktis tidak terjadi lagi, tetapi rupiah masih belum bebas dari cobaan. Pahit getirnya perjalanan rupiah masih berlanjut di kurun Ekonomi Liberal (1950-1959). Pada masa itu, ada peristiwa sejarah yaitu "gunting Syafruddin". Secara harfiah maksud dari perkataan itu memang terjadi pengguntingan (potongan) uang rupiah menjadi dua bagian.
Bagian kiri sampai tanggal 9 April 1950 pukul 18.00 tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai separuhnya. Sedangkan guntingan sebelah kanan dapat ditukar dengan obligasi Negara 3 % per tahun dan akan dibayar dalam jangka waktu 43 tahun.
Kejadian ini didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan RIS Mr. Syafruddin Prawiranegara Nomor PU.1 dan PU.2. Uang yang menjadi objek "gunting Syafruddin" adalah uang kertas De Javasche Bank dan uang NICA yang ditujukan untuk menyedot jumlah peredaran uang yang terlalu banyak, menghimpun dana pembangunan, dan menekan defisit anggaran belanja.
Sementara itu fenomena moneter lain yang tak kalah menarik, terjadi pula sembilan bulan berikutnya yakni 25 Agustus 1949 di mana pecahan uang bernilai diatas Rp 100,- diturunkan menjadi sepersepuluh nilai semula (dikebiri) oleh Keputusan Kerja, Rupiah Presidensial pertama setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1949 untuk kembali ke UUD 1945.
Di samping itu pula ada ketentuan bahwa simpanan bank berjumlah lebih dari Rp 25.000,- dibekukan dan didevaluasikan terhadap dollar AS dari 1 : 11,4 menjadi 1 : 11,45. Kebijaksanaan ini ditujukan terutama kepada kaum spekulan dan pemegang uang panas. Tetapi kenyataannya hampir seluruh masyarakat terkena imbasnya.
Setelah itu sejarah uang masih bergema di masa ekonomi terpimpin (1959-1965) hingga masa orde baru (1966-1998). Kini 62 tahun kita telah menggunakan sebagai alat pembayaran sah. Dirgahayu Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(Sumber: www.kabarindonesia.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar