Sabtu, 28 Maret 2009

Museum Uang Berdimensi Kultural Edukatif


Kehadiran ORI sangat dramatis dan patut dihargai setinggi-tingginya. Ini karena pada masa prakemerdekaan banyak percetakan ditutup atau dihancurkan, banyak peralatan cetak disita, dan uang hasil cetakan dimusnahkan oleh pihak kolonialis. Bahkan banyak pegawai percetakan ditembak mati karena berusaha menyelamatkan mesin cetak dan hasil-hasil cetakannya.

Dalam perjalanannya selama 59 tahun, pemerintah telah menerbitkan ratusan pecahan uang kertas dan uang logam (koin). Dari segi kuantitas, jumlah sebanyak itu belumlah tinggi. Apalagi jika dibandingkan dengan banyak negara berkembang lainnya. Jumlah yang masih relatif sedikit itu menjadikan uang-uang kita masih kurang diperhatikan orang sebagai salah satu benda budaya sekaligus sumber informasi berbagai ilmu pengetahuan dan objek numismatik.


Zaman Purba

Sesungguhnya uang sebagai alat tukar sudah dikenal luas masyarakat Indonesia sejak zaman purba. Pada awalnya, orang hanya menerapkan sistem barter dalam transaksi. Namun kemudian dirasakan sistem itu kurang efisien sehingga orang menggunakan alat tukar yang lebih pantas. Objek yang dipilih adalah benda-benda yang tahan lama dan dikenal banyak orang. Yang paling umum adalah kulit kerang, manik-manik, dan batu. Jenis uang ini dikenal sebagai uang primitif dan dipergunakan pada masa prasejarah.

Pada masa klasik, yaitu masa pengaruh kerajaan-kerajaan kuno bercorak Hindu dan Buddha, pemakaian mata uang sudah semakin maju. Kerajaan Sriwijaya, misalnya, memakai uang Namo. Kerajaan Jenggala, mengenal uang emas Krishnala dalam berbagai ukuran. Pada masa kemudian, kerajaan Majapahit memakai uang perak Teratai, uang perak Kancing, uang Gajah Mada, uang Buddha, dan uang Gobog.

Pada masa kesultanan Islam, yang paling populer adalah uang dinar dan uang dirham, terbuat dari emas dan perak. Selain itu dikenal uang timah, uang tembaga, uang kepeng, dan uang picis. Yang unik adalah uang kesultanan Buton yang disebut kampua. Uang berbahan kain itu ditenun sendiri oleh putri-putri kraton Buton.

Uang-uang mancanegara pernah beredar pula di seluruh Nusantara, seiring pesatnya perdagangan internasional. Uang mancanegara bisa dikategorikan dua jenis, yakni uang Timur (China, Jepang, Annam, Persia, India, Arab) dan uang Barat (Belanda, Inggris, Spanyol, Portugis, Austria).

Sayangnya, perjalanan sejarah uang-uang Indonesia purba hingga masa pasca kemerdekaan, baru sedikit saja yang terekam dalam museum. Salah satu museum yang menyimpan uang-uang kuno Indonesia adalah Museum Artha Suaka (artha = uang, suaka = tempat perlindungan). Museum milik Bank Indonesia itu terletak dalam kompleks Bank Indonesia, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

Museum Artha Suaka juga menyimpan beberapa surat perjanjian dagang dari masa VOC. Bahkan sejumlah koleksi dilengkapi tulisan yang menggunakan darah manusia untuk menunjukkan keotentikannya.

Ada pula uang perkebunan, uang yang hanya beredar di wilayah perkebunan dalam lingkungan tanah partikelir. Uang perkebunan merupakan alat pembayaran khusus yang hanya berlaku di daerah setempat.

Koleksi Museum Artha Suaka yang tergolong unik dan langka adalah uang pecahan 0,25 cent keluaran tahun 1934. Pecahan yang berbahan perunggu itu merupakan satu-satunya uang percobaan.

Museum Artha Suaka belum terbuka bebas untuk umum. Namun masyarakat umum boleh mengunjungi museum ini dengan izin khusus Bank Indonesia.

Dalam skala lebih kecil, perjalanan sejarah bangsa lewat uang, bisa disaksikan di Museum Reksa Artha (reksa = memelihara, artha = uang). Lokasinya di Jalan Lebak Bulus I, dekat RS Fatwamati, Jakarta Selatan. Museum ini pun masih belum terbuka bebas untuk umum, karena merupakan museum pribadi Perum Peruri. Yang memrihatinkan, keadaan museum ini seperti “hidup segan, mati tak mau”.

Tak banyak koleksi uang di tempat ini. Yang mengharukan, di sini tersimpan mesin-mesin cetak uang, mesin potong, alat foto repro, dan kelengkapan percetakan ORI. Dengan begitu diharapkan kita akan mengenang para perintis ORI. Mereka bukan saja menjadikan ORI sebagai alat pembayaran, tetapi juga sebagai atribut utama negara merdeka dan berdaulat, alat pemersatu bangsa, dan alat perjuangan di mata dunia internasional.

Peran uang sebagai sumber sejarah dan sumber ilmu pengetahuan, juga bisa dilihat di Museum Nasional, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Koleksi-koleksi itu terdapat di Ruang Numismatik, antara lain berupa uang-uang kuno yang diperoleh lewat ekskavasi arkeologi.

Museum ini sudah terbuka untuk umum. Namun jumlah koleksinya masih jauh dari memuaskan masyarakat awam.

Rencananya di daerah Jakarta Kota akan berdiri Museum Bank Mandiri. Kita harapkan koleksi museum itu akan menjadi primadona, sehingga bermanfaat sebagai objek studi dan objek pariwisata.


Gudang Ilmu

Sebagai negara yang dipandang berkebudayaan tinggi dengan urutan sejarah yang panjang, seharusnya kita mempunyai museum uang yang besar, minimal merupakan gabungan Museum Artha Suaka, Museum Reksa Artha, Museum Nasional, dan Museum Bank Mandiri. Tak dimungkiri kalau perhatian pemerintah dan berbagai kalangan terhadap museum masih sangat kecil.

Ini karena museum masih dianggap sebagai gudang barang-barang rongsokan. Bandingkan dengan negara-negara maju, yang sudah memperlakukan museum sebagai gudang ilmu pengetahuan. Taruhlah Jerman yang salah satu museumnya memiliki koleksi uang-uang kuno dari seluruh dunia yang mencapai ratusan ribu buah. Bahkan museum-museum di sana sudah dilengkapi dengan perangkat canggih, seperti komputer dan audio visual untuk membantu pengunjung.

Museum uang yang representatif memang masih menjadi dambaan kita semua, terutama para numismatis, arkeolog, sejarawan, dan peneliti. Mudah-mudahan pendirian museum yang berdimensi kultural edukatif atau edutainment bisa terlaksana secepatnya. Dengan demikian banyak hal bisa dipetik lewat uang, misalnya mengetahui sejarah perekonomian, melacak sejarah seni grafis, membandingkan sejarah teknologi, dan memperluas wawasan sejarah politik.***

DJULIANTO SUSANTIO
Arkeolog, Numismatis

Selasa, 24 Maret 2009

Mata Uang yang Direkayasa dan Uang Fantasi


Ketika SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah) masih beredar, masyarakat pernah dihebohkan dengan uang kertas lama bergambar Presiden Soekarno pecahan Rp 1000 tahun 1964. Uang itu memiliki berbagai macam gambar fantasi yang katanya bernilai jutaan rupiah setiap lembarnya. Konon, di dalam uang tersebut terdapat “water mark” bergambar Soekarno dengan tepi-tepinya bergambar palu arit sehingga disebut-sebut sebagai “uang sakti”.

Kemudian muncul uang Brasil pecahan 5.000 dan 10.000 Cruzados. Pada 1989 pemerintah Brasil telah “menggunting” uang itu menjadi 5 dan 10 Cruzados. Oleh oknum-oknum tertentu uang-uang tersebut ditawarkan kepada masyarakat awam dengan nilai tukar 1:1 bahkan lebih. Konon, penukarannya bisa melalui bank pemerintah. Sampai kini transaksi demikian, karena ketidaktahuan masyarakat saja, masih sesekali terjadi. Memang uang Brasil itu asli, namun tidak laku dijual atau memiliki kurs yang jauh lebih kecil daripada rupiah.

Penipuan dengan uang Brasil tercatat kerap terjadi. Sering dengan bujuk rayu yang manis dikatakan nilai uang Brasil itu setara dengan nilai dollar AS. Untuk itu masyarakat perlu waspada, apalagi di zaman yang serba susah ini.

Selain itu pernah heboh koin perak bergambar Raja Willem tahun 1818 pecahan 2,5 Gulden palsu. Koin itu biasanya berukuran lebih besar dari aslinya dengan bahan tembaga atau kuningan yang disepuh perak. Pernah juga terjadi koin rekayasa Diponegoro yang ornamen belakangnya disulap menjadi gambar-gambar burung dan keris dengan macam-macam fantasi serta uang kertas bergambar Presiden Soekarno bertahun 1954.

Masih ada kasus lain, yakni penyalahgunaan uang lembaran 1 juta dollar AS dan Kanada. Bayangkan besarnya! Uang demikian disebut uang fantasi atau “dream money”. Bukan uang sungguhan, hanya “main-main” untuk keperluan kolektor. Jadi tidak bisa dipakai sebagai alat transaksi.


Metode meneliti uang daerah


Biasanya bahan dasar uang darurat sangat rapuh dan layu. Lalu bagaimana meneliti uang darurat yang kondisi kertasnya masih kokoh?

Cara pertama, meraba permukaan kertas dan membandingkannya dengan uang darurat yang bahan dan kondisi kertasnya serupa.

Cara kedua, melihat dengan bantuan kaca pembesar untuk segi mutu cetakan, struktur kertas, dan kekasatan hasil cetaknya.

Mudah-mudahan info klasifikasi mutu berikut bermanfaat bagi Anda:

Kertas tik lama, cetakan stensil, cap stempel tangan, tinta pekat tidak menyolok, nomor seri dengan numerator, kasat. Terdapat pada uang daerah Rantau Prapat, Labuhan Bilik, dan Membangmoeda.

Kertas pembungkus berwarna agak coklat, cetakan mesin handpress, stempel tangan, nomor seri cap dengan numerator, kasat, warna pekat dan tidak menyolok, angka nominal cap pada sisi atas kiri. Terdapat pada uang Bojonegoro.

Kertas buku tulis, cetakan tangan, warna pekat tidak menyolok, tinta darurat, nomor seri stempel dengan numerator, tidak luntur, ornamen tulis dan gambar tidak pudar. Terdapat pada Cek Palembang.

Sedapat mungkin kita harus meneliti secara cermat detilnya. Kalau perlu dicatat ukuran dan pola dari ornamen tulisan dan gambarnya, agar kita mendapat pegangan atau patokan yang kuat untuk memastikan apakah uang daerah yang baru kita jumpai itu asli atau tidak.

(Sofyan Sunaryo, Buletin PPKMU, Oktober 1996)

Senin, 23 Maret 2009

Mencegah Penipuan dalam Dunia Numismatik Indonesia


Sebagai kolektor kita dituntut tidak sekadar gemar mengumpulkan koleksi mata uang saja. Kita harus terdorong untuk menggali dan mengupas masalah yang bersangkut paut dengan koleksi. Dengan demikian bukan hanya menjadi hobi belaka bilamana kita mau mengungkap sejarah di balik latar belakangnya. Tentunya akan menambah keasyikan kita dalam mencari mata uang yang baru dalam melengkapi koleksi kita.

Kegemaran mengumpulkan mata-mata uang dari negeri sendiri dapat digolongkan sebagai kepedulian akan sejarah bangsa. Apalagi kita mau menelusuri sejarahnya demi melengkapi apa yang telah kita punya.

Dewasa ini banyak orang “menggosipkan” berbagai jenis mata uang, misalnya heboh uang fantasi 1 juta dollar dan uang Soekarno 1964. Tentunya ada oknum tertentu yang mencari kesempatan dan keuntungan material dengan saling tuding dan bahkan memfitnah.

Sejak lama dunia numismatik Indonesia sudah mengenal mata uang “asli” dan “palsu”. Yang dimaksud “asli” dan “palsu” di sini adalah mata uang yang benar-benar asli dan berlatar belakang sejarah serta mata uang yang sekadar fantasi atau fiktif.

Koleksi mata uang yang asli sudah jelas dicetak dan diterbitkan oleh pemerintah. Dulu uang-uang palsu sengaja dibuat oleh musuh-musuh pemerintah guna menyerang pemerintahan yang sah.


Mata uang palsu buatan zaman dulu dan zaman sekarang

Uang palsu buatan zaman dulu dapat kita kenali ciri-cirinya lewat perbandingan dengan uang yang asli. Uang palsu buatan zaman dulu kentara bedanya dengan uang palsu buatan zaman sekarang.

Karakter uang palsu zaman dulu mempunyai ciri-ciri tertentu dalam pembuatannya. Misalnya uang logam palsu bila berusia ratusan tahun bahkan ribuan tahun memiliki berat dan kepadatan logam yang khas karena dibuat dengan teknologi seadanya. Sedangkan uang logam palsu yang dibuat sekarang dibuat dengan teknologi sekarang. Kalaupun dibuat dengan mencontoh teknologi zaman dulu, akan gampang kentara karena kebekuan logam yang dipanaskan. Seorang pakar mampu mendeteksinya dari contoh bunyi logam atau dengan menggoreskan logamnya.

Sementara itu uang kertas palsu buatan zaman dulu memiliki ciri-ciri seperti warna kertas kecoklatan, tua, dan rapuh dengan baunya yang khas bila telah berusia 40 tahun atau lebih. Begitupun bila kondisi barangnya UNC. Meski keadaan kertasnya kelihatan kuat, sebenarnya rapuh dan patah bila terlipat.

Tulisan dan gambar kering dan telah melekat kuat merasuk ke pori-pori kertas sehingga bila terkena air tidak mudah luntur dan masih kentara cetakannya apabila terendam air dan dikeringkan kembali. Warna kertas yang kecoklatan berubah menjadi bersih bila direndam cukup lama dan kertas tetap rapuh bila sudah kering.

Sedangkan uang palsu yang dibuat zaman sekarang mempunyai ciri-ciri warna kertas kecoklatan tetapi kertasnya menjadi coklat akibat dijemur matahari ataupun diasapi dan kertasnya kokoh bila dilipat-lipat. Hal ini untuk menirukan kondisi uang kertas lama yang seakan-akan asli.

Warna tinta tidak begitu kering dan kurang meresap ke dalam pori-pori sehingga mudah luntur meski terkena setetes air. Bila dicetak dengan cetak sablon akan mudah kentara dari bau dan daya lekatnya kurang kuat. Warnanya pun cerah terkadang mengkilap. Bila menggunakan cetak stensil baunya keras atau tintanya mudah luntur karena belum meresap ke pori-pori. Bila menggunakan mesin offset kertasnya kuat dan warnanya cerah seperti baru.

Uang palsu zaman dulu dibuat dengan cara menjiplak gambar dengan ketelitian tangan lalu kemudian dibuat menjadi klise. Sedangkan uang palsu buatan zaman sekarang kertasnya janggal. Terkadang komposisi tulisan, gambar, dan warna kurang teliti karena dibuat dengan cara fotokopi terlebih dulu, baru dibuat klisenya.


Meneliti keaslian uang kertas daerah

Umumnya uang kertas daerah karena dibuat dalam keadaan darurat, maka kurang memiliki tanda-tanda pengaman yang memadai. Sulit sekali membedakan mana uang asli dan mana uang palsu.

Hanya diketahui proses pembuatan uang daerah relatif sama, yakni media kertas yang digunakan dan teknik mencetaknya. Kita mesti memaklumi, dulu pemerintah daerah masih belum memiliki sarana yang memadai. Konon, karena operasi militer penjajah, lokasi pencetakan uang sering kali harus berpindah tempat bahkan sampai ke hutan.

Hal ini menyebabkan terbatasnya penggunaan bahan. Menurut pengalaman, terdapat kesamaan bahan di antara daerah-daerah yang berdekatan. Misalnya karakter uang darurat daerah Asahan serupa dengan Kuala Leidong. Karakter uang darurat daerah Langsa sama dengan Kutaraja, dsb.

Keunikan ciri-ciri karakter uang kertas darurat sesungguhnya khas dan mudah kentara bila dibandingkan dengan uang palsu. Rata-rata uang darurat memiliki kertas-kertas yang rapuh dan layu. Warna kertas pucat kecoklatan dan berbau meskipun dalam keadaan UNC. Cetakan pada tulisan dan ornamen gambar meresap ke pori-pori kertas terdalam dan tidak mudah luntur bila terkena air, sekalipun dicetak menggunakan tinta air.

(Sumber: Sofyan Sunaryo, Berita PPKMU, Oktober 1996)

Sabtu, 21 Maret 2009

Cerita Mata Uang Aceh yang ada di British Museum, London


Pada awal Desember 1998 hingga pertengahan Februari 1999 saya berkeliling 23 kota dan 14 negara di dunia.

Pada tgl 5 Januari 1999 (pertengahan Ramadhan) pukul 09.30 pm saya berangkat dari JFK Airport New York dengan penerbangan United Airlines, tiba di London Heathrow Airport pukul 06.30 pagi. Setelah tiba di hotel di kawasan Russell Square dan beristirahat, sore harinya mencari informasi tentang tourist attractions di London. Esok harinya saya mulai berkunjung ke tempat-tempat yang sudah saya rencanakan. Salah satunya saya memilih British Museum sebelum tour berikutnya ke Tower Bridge, London Parliament House dan Buckingham Palace.

Setelah hampir satu jam saya keliling melihat-lihat semua koleksi di dalam British Museum, akhirnya saya tiba di bagian koleksi mata uang kuno seluruh dunia. First step, tentu saya mencari bagian koleksi untuk negara di Asia, khususnya mata uang Indonesia. Ternyata saya kebingungan karena tidak ada mata uang kuno Indonesia yang dikoleksi oleh British Museum. Karena itu saya minta bertemu dengan salah satu staf yang ahli mata uang kuno.

Lantas dia tunjukkan koin dari kerajaan Banten, Makasar, dan Maluku yang dipajang di ruangan itu. Dua koin kerajaan Jawa (Banten), satu koin kerajaan Makasar, dan satu koin Maluku terdapat di sana. Saya masih belum menemukan koin Aceh.

Singkat cerita saya kembali ke resepsionis bersama staf ini dan bertemu dengan dalangnya koin Asia, namanya Mr Joe Cribb (Kurator Koin).

Akhirnya dia minta identitas saya. Saya menunggu sekitar 10 menit. Setelah itu Mr Cribb datang lagi dan mempersilakan saya masuk ke ruang kantornya. Saya masuk dan duduk di kursi, berhadapan dengan dia. Di atas meja sudah ada tiga kotak kira-kira berukuran 25 x 10 cm agak tipis (ukuran kotak koin koleksi) yang masih tertutup rapat. Sebelum Mr Cribb mau membuka kotak koin dia bilang karena tidak ada appointment, maka dia tidak bisa jelaskan dengan detil. Dia hanya berikan saya waktu paling lama 30 menit untuk melihat dan penjelasan singkat. Kemudian Mr Cribb mebukakan kotak tersebut dan menjelaskan tentang koin Aceh yang ada di dalam kotak.

· Ukuran koinnya (diameter) 10 - 13 mm dan tipis, bulatannya tidak begitu rata (sebesar uang Rp 25 rupiah Indonesia yang dulu).

· Jumlah koin sekitar 75 (karena satu kotak berisi sekitar 25 koin), koin terbuat dari emas murni dan kedua sisi bertulisan huruf Arab dengan nama Sultan yang memerintah di zman itu.

· Umur koin ada yang dari tahun 1230 dan yang paling akhir kalau tidak salah 1912 atau 1800-an.

· Nama Sultan di koin itu yang saya masih ingat disebutkan: Muhammad…….., Sultan Zainal Abidin, Rihayat Syah, Iskandar Syah, dll.

Mr Cribb sangat menguasai nama-nama Sultan yang ada di koin itu dan Mr Cribb juga mempunyai banyak pengetahuan tentang Aceh. Buku referensi ada di tangannya berikut riwayat koin yang bersangkutan. Buku itu berisi cerita berapa lama koin itu beredar di pasaran, sebelum sultan yang memerintah berikunya mengeluarkan koin baru.

Saya sempat bertanya kepada Mr Cribb kenapa mata uang Aceh tidak dipajang di luar. Menurut Mr Cribb, hal itu sudah ditetapkan oleh peraturan pemerintahnya (mungkin ada kaitannya dengan GAM ketika itu atau mungkin karena kemenangan Inggris yang tidak sah dalam Perang Aceh penyunting).

(disunting dari: krueng.org)

Rabu, 18 Maret 2009

Uang Kertas Penerbitan Khusus



Nama Uang : Uang Kertas Bank Indonesia Emisi 1993
Seri/ Emisi : Emisi 1993
Pecahan : Rp 50.000
Zaman/Masa : Zaman RI Kesatuan
Bahan : Kertas
Penanda tangan : Adrianus Mooy dan Hasudungan Tampubolon

Tanggal
  • Penerbitan : 01 Maret 1993
  • Penarikan : 21 Agustus 2000

Warna Dominan
  • Depan : Biru / hijau
  • Belakang : Biru / hijau

Ukuran
  • Panjang x Lebar : 152 x 76 mm

Ciri-ciri
  • Depan : Gambar Presiden Soeharto dengan latar belakang pembangunan di semua sektor
  • Belakang : Gambar pesawat terbang sedang lepas landas di bandara internasional Soekarno-Hatta
  • Tanda Air : Holografis Soeharto

(Sumber: www.bi.go.id)

Sejarah Bank Indonesia


Jauh sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah menjadi pusat perdagangan internasional. Sementara di daratan Eropa, merkantilisme telah berkembang menjadi revolusi industri dan menyebabkan pesatnya kegiatan dagang Eropa. Pada saat itulah muncul lembaga perbankan sederhana, seperti Bank van Leening di negeri Belanda. Sistem perbankan ini kemudian dibawa oleh bangsa barat yang mengekspansi nusantara pada waktu yang sama. VOC di Jawa pada 1746 mendirikan De Bank van Leening yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank itu adalah bank pertama yang lahir di nusantara, cikal bakal dari dunia perbankan pada masa selanjutnya. Pada 24 Januari 1828, pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan nama De Javasche Bank (DJB). Selama berpuluh-puluh tahun bank tersebut beroperasi dan berkembang berdasarkan suatu oktroi dari penguasa Kerajaan Belanda, hingga akhirnya diundangkan DJB Wet 1922.

Masa pendudukan Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan Hindia Belanda untuk sementara waktu. Kemudian masa revolusi tiba, Hindia Belanda mengalami dualisme kekuasaan, antara Republik Indonesia (RI) dan Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA). Perbankan pun terbagi dua, DJB dan bank-bank Belanda di wilayah NICA sedangkan "Jajasan Poesat Bank Indonesia" dan Bank Negara Indonesia di wilayah RI. Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian DJB sebagai bank sentral bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus bertahan hingga masa kembalinya RI dalam negara kesatuan. Berikutnya sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, RI menasionalisasi bank sentralnya. Maka sejak 1 Juli 1953 berubahlah DJB menjadi Bank Indonesia, bank sentral bagi Republik Indonesia.

Sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional. Pada saat itu terdapat dua jalur perniagaan internasional yang digunakan oleh para pedagang, jalur darat dan jalur laut. Pada masa itu telah terdapat dua kerajaan utama di nusantara yang mempunyai andil besar dalam meramaikan perniagaan internasional, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Dalam maraknya perniagaan tersebut belum ada mata uang baku yang dijadikan nilai standar. Meskipun masyarakat telah mengenal mata uang dalam bentuk sederhana.

Sementara itu pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa sedang berupaya memperluas wilayah penjelajahannya di berbagai belahan dunia, termasuk Asia dan Nusantara. sejak jatuhnya Konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani (1453), penjelajahan tersebut dipelopori oleh Spanyol dan Portugis yang kemudian diikuti oleh Belanda, Inggris, dan Perancis. Kegiatan penjelajahan tersebut telah mendorong munculnya paham merkantilisme di Eropa pada abad ke 16–17.

Selanjutnya pada akhir abad ke-18 revolusi industri telah berlangsung di Eropa. Kegiatan industri berkembang dan hasil produksi meningkat sehingga mendorong kegiatan ekspor ke wilayah Asia dan Amerika. Pesatnya perdagangan di Eropa memicu tumbuhnya lembaga pemberi jasa keuangan yang merupakan cikal-bakal lembaga perbankan modern, antara lain seperti Bank van Leening di Belanda. Kemudian secara bertahap bank-bank tertentu di wilayah Eropa seperti Bank of England (1773), Riskbank (1809), Bank of France (1800) berkembang menjadi bank sentral.

Munculnya Malaka sebagai emporium perdagangan telah menarik perhatian bangsa Portugis yang akhirnya pada 1511 berhasil menguasai Malaka. Mereka terus bergerak ke arah timur menuju sumber rempah-rempah di Maluku. Di sana Portugis menghadapi bangsa Spanyol yang datang melalui Filipina. Beberapa saat kemudian bangsa Belanda juga berusaha menguasai sumber-sumber komoditi perdagangan di Jawa dan Nusantara. Dengan mengibarkan bendera VOC yaitu perusahaan induk penghimpun perusahaan-perusahaan dagang Belanda, mereka mengukuhkan kekuasaanya di Batavia pada 1619. Untuk memperlancar dan mempermudah aktivitas perdagangan VOC di Nusantara, pada 1746 didirikan De Bank van Leening dan kemudian berubah menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank van Leening merupakan bank pertama yang beroperasi di Nusantara. Pada akhir abad ke-18, VOC telah mengalami kemunduran, bahkan kebangkrutan. Maka kekuasaan VOC di nusantara diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Setelah masa pemerintahan Herman William Daendels dan Janssen, Hindia Timur akhirnya jatuh ke tangan Inggris.

Ratu Inggris mengutus Sir Thomas Stamford Raffles untuk memerintah Hindia Timur. Tetapi pemerintahan Raffles tidak bertahan lama, karena setelah usainya perang melawan Perancis (Napoleon) di Eropa, Inggris dan Belanda membuat kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali kepada Belanda. Sejak saat itu Hindia Timur disebut sebagai Hindia Belanda (Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815–1819) yang terdiri dari Elout, Buyskes, dan van der Capellen. Pada periode inilah berbagai perbaikan ekonomi mulai dilaksanakan di Hindia Belanda. Hingga nantinya Du Bus menyiapkan beberapa kebijakan yang mempersiapkan didirikannya De Javasche Bank pada 1828.

Gagasan pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda dicetuskan menjelang keberangkatan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Mr. C.T. Elout ke Hindia Belanda. Kondisi keuangan di Hindia Belanda dianggap telah memerlukan penertiban dan pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk lembaga bank. Pada saat yang sama kalangan pengusaha di Batavia, Hindia Belanda, telah mendesak didirikannya lembaga bank guna memenuhi kepentingan bisnis mereka. Meskipun demikian gagasan tersebut baru mulai diwujudkan ketika Raja Willem I menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda pada 9 Desember 1826. Surat tersebut memberikan wewenang kepada pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk suatu bank berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu, atau lazim disebut oktroi.

Dengan surat kuasa tersebut, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan berdirinya DJB. Pada 11 Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda Leonard Pierre Joseph Burggraaf Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat Keputusan No. 28 tentang oktroi dan ketentuan-ketentuan mengenai DJB. Kemudian pada 24 Januari 1828 dengan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda No. 25 ditetapkan akte pendirian De Javasche Bank (DJB). Pada saat yang sama juga diangkat Mr. C. de Haan sebagai Presiden DJB dan C.J. Smulders sebagai sekretaris DJB.

Oktroi merupakan ketentuan dan pedoman bagi DJB dalam menjalankan usahanya. Oktroi DJB pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837 dan diperpanjang sampai dengan 31 Maret 1838. Pada periode oktroi keenam, DJB melakukan pembaharuan akte pendiriannya di hadapan notaris Derk Bodde di Jakarta pada 22 Maret 1881. Sesuai dengan akte baru DJB, status bank diubah menjadi Naamlooze Vennootschap (N.V.). Dengan perubahan akte tersebut, DJB dianggap sebagai perusahaan baru. Oktroi kedelapan adalah oktroi DJB terakhir hingga berlakunya DJB Wet pada 1922. Pada periode oktroi terakhir ini, DJB banyak mengeluarkan ketentuan baru dalam bidang sistem pembayaran yang mengarah kepada perbaikan bagi lalu lintas pembayaran di Hindia Belanda. Oktroi kedelapan berakhir hingga 31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang selama satu tahun sampai dengan 31 Maret 1922.

Pada 31 Maret 1922 diundangkan De Javasche Bankwet 1922 (DJB Wet). Bankwet 1922 ini kemudian diubah dan ditambah dengan UU tanggal 30 April 1927 serta UU 13 November 1930. Pada dasarnya De Javasche Bankwet 1922 adalah perpanjangan dari oktroi kedelapan DJB yang berlaku sebelumnya. Masa berlaku Bankwet 1922 adalah 15 tahun ditambah dengan perpanjangan otomatis satu tahun, selama tidak ada pembatalan oleh gubernur jenderal atau pihak direksi. Pimpinan DJB pada periode DJB Wet adalah direksi yang terdiri dari seorang presiden dan sekurang-kurangnya dua direktur, satu di antaranya adalah sekretaris. Selain itu terdapat jabatan presiden pengganti I, presiden pengganti II, direktur pengganti I, dan direktur pengganti II. Penetapan jumlah direktur ditentukan oleh rapat bersama antara direksi dan dewan komisaris. Pada periode ini DJB terdiri atas tujuh bagian, di antaranya bagian ekonomi statistik, sekretaris, bagian wesel, bagian produksi, dan bagian efek-efek.

Pada periode ini DJB berkembang pesat dengan 16 kantor cabang, antara lain: Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan Manado, serta kantor perwakilan di Amsterdam, dan New York. DJB Wet ini terus berlaku sebagai landasan operasional DJB hingga lahirnya Undang-undang Pokok Bank Indonesia 1 Juli 1953.

Pecahnya Perang Dunia II di Eropa terus menjalar hingga ke wilayah Asia Pasifik. Militer Jepang segera melebarkan wilayah invasinya dari daratan Asia menuju Asia Tenggara. Menjelang kedatangan Jepang di Pulau Jawa, Presiden DJB, Dr. G.G. van Buttingha Wichers, berhasil memindahkan semua cadangan emasnya ke Australia dan Afrika Selatan. Pemindahan tersebut dilakukan lewat pelabuhan Cilacap. Setelah menduduki Pulau Jawa pada bulan Februari-Maret 1942, tentara Jepang memaksa penyerahan seluruh aset bank kepada mereka. Selanjutnya, pada bulan April 1942, diumumkan suatu banking-moratorium tentang adanya penangguhan pembayaran kewajiban-kewajiban bank. Beberapa bulan kemudian, pimpinan tentara Jepang untuk Pulau Jawa, yang berada di Jakarta, mengeluarkan ordonansi berupa perintah likuidasi untuk seluruh bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank Cina. Ordonansi serupa juga dikeluarkan oleh komando militer Jepang di Singapura untuk bank-bank di Sumatera, sedangkan kewenangan likuidasi bank-bank di Kalimantan dan Great East diberikan kepada Navy Ministry di Tokyo.

Fungsi dan tugas bank-bank yang dilikuidasi tersebut, kemudian diambil alih oleh bank-bank Jepang, seperti Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank, yang pernah ada sebelumnya dan ditutup oleh Belanda ketika mulai pecah perang. Sebagai bank sirkulasi di Pulau Jawa, dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang melanjutkan tugas tentara pendudukan Jepang dalam mengedarkan invansion money yang dicetak di Jepang dalam tujuh denominasi, mulai dari satu hingga sepuluh gulden. Sampai pertengahan bulan Agustus 1945, telah diedarkan invansion money senilai 2,4 milyar gulden di Pulau Jawa, 1,4 milyar gulden di Sumatera, serta dalam nilai yang lebih kecil di Kalimantan dan Sulawesi. Sejak tanggal 15 Agustus 1945, juga masuk dalam peredaran senilai 2 milyar gulden, yang sebagian berasal dari uang yang ditarik dari bank-bank Jepang di Sumatera serta sebagian lagi dicuri dari De Javasche Bank Surabaya dan beberapa tempat lainnya. Hingga bulan Maret 1946, jumlah uang yang beredar di wilayah Hindia Belanda berjumlah sekitar delapan milyar gulden. Hal tersebut menimbulkan hancurnya nilai mata uang dan memperberat beban ekonomi wilayah Hindia Belanda.

Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, Indonesia segera memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945 telah disusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam penjelasan UUD 1945 Bab VIII pasal 23 Hal Keuangan yang menyatakan cita-cita membentuk bank sentral dengan nama Bank Indonesia untuk memperkuat adanya kesatuan wilayah dan kesatuan ekonomi-moneter. Sementara itu dengan membonceng tentara Sekutu, Belanda kembali mencoba menduduki wilayah yang pernah dijajahnya. Maka dalam wilayah Indonesia terdapat dua pemerintahan yaitu: pemerintahan Republik Indonesia dan pemerintahan Belanda atau Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA). Selanjutnya NICA membuka akses kantor-kantor pusat Bank Jepang di Jakarta dan menugaskan DJB menjadi bank sirkulasi mengambil alih peran Nanpo Kaihatsu Ginko. Tidak lama kemudian DJB berhasil membuka sembilan cabangnya di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh NICA. Pembukaan cabang-cabang DJB terus berlanjut seiring dengan dua agresi militer yang dilancarkan Belanda kepada Indonesia. Sementara itu di wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia, dibentuk Jajasan Poesat Bank Indonesia (Yayasan Bank Indonesia) yang kemudian melebur dalam Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2/1946. Namun demikian situasi perang kemerdekaan dan terbatasnya pengakuan dunia sangat menghambat peran BNI sebagai bank sirkulasi. Namun demikian pada 30 Oktober 1946, pemerintah dapat menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) sebagai uang pertama Republik Indonesia. Periode ini ditutup dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 yang memutuskan DJB sebagai bank sirkulasi untuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Bank Negara Indonesia sebagai bank pembangunan.

Pada Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada saat itu, sesuai dengan keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), fungsi bank sentral tetap dipercayakan kepada De Javasche Bank (DJB). Pemerintahan RIS tidak berlangsung lama, karena pada tanggal 17 Agustus 1950, pemerintah RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada saat itu, kedudukan DJB tetap sebagai bank sirkulasi. Berakhirnya kesepakatan KMB ternyata telah mengobarkan semangat kebangsaan yang terwujud melalui gerakan nasionalisasi perekonomian Indonesia. Nasionalisasi pertama dilaksanakan terhadap DJB sebagai bank sirkulasi yang mempunyai peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian Indonesia. Sejak berlakunya Undang-undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953, bangsa Indonesia telah memiliki sebuah lembaga bank sentral dengan nama Bank Indonesia.

Sebelum berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter, perbankan, dan sistem pembayaran berada di tangan pemerintah. Dengan menanggung beban berat perekonomian negara pasca perang, kebijakan moneter Indonesia ditekankan pada peningkatan posisi cadangan devisa dan menahan laju inflasi. Sementara itu, pada periode ini, pemerintah terus berusaha memperkuat sistem perbankan Indonesia melalui pendirian bank-bank baru. Sebagai bank sirkulasi, DJB turut berperan aktif dalam mengembangkan sistem perbankan nasional terutama dalam penyediaan dana kegiatan perbankan. Banyaknya jenis mata uang yang beredar memaksa pemerintah melakukan penyeragaman mata uang. Maka, meski hanya untuk waktu yang singkat, pemerintah mengeluarkan uang kertas RIS yang menggantikan Oeang Republik Indonesia dan berbagai jenis uang lainnya. Akhirnya, setelah sekian lama berlaku sebagai acuan hukum pengedaran uang di Indonesia, Indische Muntwet 1912 diganti dengan aturan baru yang dikenal dengan Undang-undang Mata Uang 1951.

(Sumber: www.bi.go.id)

Latar Belakang Pendirian Museum Bank Indonesia


Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral merupakan lembaga yang sangat vital dalam kehidupan perekonomian nasional karena kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh BI akan memiliki dampak yang langsung dirasakan oleh masyarakat. BI, yang didirikan pada tanggal 1 Juli 1953, telah lebih dari setengah abad melayani kepentingan bangsa. Namun, masih banyak masyarakat yang tidak mengenal BI, apalagi memahami kebijakan-kebijakan yang pernah diambilnya, sehingga seringkali terjadi salah persepsi masyarakat terhadap BI. Masyarakat sering memberikan penilaian negatif terhadap BI karena tidak cukup tersedianya data atau informasi yang lengkap dan akurat yang dapat diakses dan dipahami dengan mudah oleh masyarakat.

Usia setengah abad lebih ini akan semakin panjang lagi apabila diperhitungkan juga peran dari pendahulunya, yaitu De Javasche Bank (DJB) yang didirikan pada tahun 1828 atau 177 tahun yang lalu. Sementara itu, gedung BI Kota yang dulu dibangun dan digunakan oleh DJB, kemudian dilanjutkan pemakaiannya oleh BI dan saat ini praktis kosong tidak digunakan lagi, merupakan gedung yang mempunyai nilai sejarah tinggi yang terancam kerusakan apabila tidak dimanfaatkan dan dilestarikan. Pemerintah telah menetapkan bangunan tersebut sebagai bangunan cagar budaya. Di samping itu, BI juga memiliki benda-benda dan dokumen-dokumen bersejarah yang perlu dirawat dan diolah untuk dapat memberikan informasi yang sangat berguna bagi masyarakat.

Dilandasi oleh keinginan untuk dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai peran BI dalam perjalanan sejarah bangsa, termasuk memberikan pemahaman tentang latar belakang serta dampak dari kebijakan-kebijakan BI yang diambil dari waktu ke waktu secara objektif, Dewan Gubernur BI telah memutuskan untuk membangun Museum Bank Indonesia dengan memanfaatkan gedung BI Kota yang perlu dilestarikan. Pelestarian gedung BI Kota tersebut sejalan dengan kebijakan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang telah mencanangkan daerah Kota sebagai daerah pengembangan kota lama Jakarta. Bahkan, BI diharapkan menjadi pelopor dari pemugaran/revitalisasi gedung-gedung bersejarah di daerah Kota.

Hal inilah yang antara lain menjadi pertimbangan munculnya gagasan akan pentingnya keberadaan Museum Bank Indonesia, yang diharapkan menjadi suatu lembaga tempat mengumpulkan, menyimpan, merawat, mengamankan, dan memanfaatkan aneka benda yang berkaitan dengan perjalanan panjang BI. Saat ini memang telah ada beberapa museum yang keberadaannya mempunyai kaitan dengan sejarah BI, namun museum-museum tersebut masih belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Selain itu, gagasan untuk mewujudkan Museum Bank Indonesia juga diilhami oleh adanya beberapa museum bank sentral di negara lain, sebagai sebuah lembaga yang menyertai keberadaan bank sentral itu sendiri.

:: Tujuan Pendirian Museum Bank Indonesia

Guna menunjang pengembangan kawasan kota lama sebagai tujuan wisata di DKI Jakarta, maka sangat tepat apabila gedung BI Kota yang telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh pemerintah, dimanfaatkan menjadi Museum Bank Indonesia. Keberadaan museum ini nantinya diharapkan dapat seiring dan sejalan dalam mendorong perkembangan sektor pariwisata bersama museum-museum lain yang saat ini sudah ada di sekitarnya, seperti Museum Fatahillah, Museum Wayang, Museum Keramik, dan Museum Bahari di daerah Pasar Ikan. BI mengharapkan bahwa keberadaan Museum Bank Indonesia akan berarti terwujudnya suatu museum bank sentral di Indonesia, yang mempunyai misi untuk mencari, mengumpulkan, menyimpan, dan merawat benda-benda maupun dokumen bersejarah yang saat ini dimiliki, sehingga menjadi suatu sosok yang mempunyai nilai dan arti penting bagi masyarakat. Hal ini hanya akan dapat terwujud apabila kita dapat menyajikan semuanya dalam bentuk yang mampu memberikan informasi yang lengkap dan runtut, sehingga mudah dimengerti dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.

Museum yang direncanakan ini juga diharapkan dapat menjadi wahana pendidikan dan penelitian bagi masyarakat Indonesia maupun internasional tentang fungsi dan tugas BI, di samping merupakan wahana rekreasi. Dengan pencapaian tujuan-tujuan tadi, diharapkan fungsi humas dalam rangka membangun citra (image building) BI sebagai bank sentral akan dapat berjalan dengan lebih baik. Sesuai dengan fungsi BI, sosok museum yang direncanakan diharapkan dapat menunjukkan karateristik BI secara menyeluruh, dilihat dari aspek-aspek kelembagaan, moneter, perbankan, dan sistem pembayaran yang disusun secara historikal perspektif. Sepenuhnya disadari bahwa rencana pembangunan museum ini bukanlah suatu gagasan yang sederhana, melainkan suatu gagasan yang bersasaran ganda. Dengan segala keterbatasan dan kendala yang ada, antara lain berkaitan dengan tingkat apresiasi masyarakat Indonesia terhadap museum yang relatif belum setinggi di negara-negara maju, proses perwujudan Museum Bank Indonesia jelas membutuhkan keuletan dan ketelitian. Mengingat keterbatasan kemampuan dan pengetahuan BI mengenai permuseuman, maka kerjasama dengan para ahli dari berbagai bidang diperlukan untuk bersama-sama mewujudkan gagasan ini secara menyeluruh dari tahapan konsep sampai dengan pelaksanaan fisik nantinya.

Sementara persiapan pembangunan museum secara fisik terus dilakukan, Museum Bank Indonesia disajikan dalam bentuk cyber museum. Dalam Cyber Museum Bank Indonesia ini diceritakan mengenai perjalanan panjang BI dalam bidang kelembagaan, moneter, perbankan, dan sistem pembayaran yang dapat diikuti dari waktu ke waktu, sejak periode DJB hingga periode BI semasa berlakunya Undang-Undang No.11 tahun 1953, Undang-Undang No.13 tahun 1968, Undang-Undang No.23 tahun 1999, dan Undang-Undang No.3 tahun 2004 saat ini.

(Sumber: www.bi.go.id)

Selasa, 17 Maret 2009

Sekilas Cerita tentang Rupiah


Oleh : Hotma D. L. Tobing


"Besok tanggal 30 Oktober 1946 soeatoe hari jang mengandoeng sedjarah bagi tanah air kita. Rakjat kita menghadapi penghidoepan baroe. Besok moelai beredar Oeang Repoeblik Indonesia sebagai satoe-satoenja alat pembajaran jang sah. Moelai poekoel 12 tengah malam nanti, oeang Djepang jang selama ini beredar sebagai oeang jang sah, tidak lakoe lagi. Beserta dengan oeang Djepang itoe ikoet pula tidak lakoe oeang De Javasche Bank. Dengan ini toetoeplah soeatoe masa dalam sedjarah keoeangan Repoeblik Indonesia. Masa jang penuh dengan penderitaan dan kesoekaran bagi rakjat". Demikian isi pidato Bung Hatta, 30 Oktober 1946 di RRI pukul 00.00 WIB.


Awal Mula Uang

Zaman dulu insan memenuhi kebutuhan dengan hasil ladang dan buruan. Zaman berkembang, kebutuhan pun meningkat sehingga insan menukarkan barang yang dimilikinya dengan barang yang dimiliki orang lain. Nenek moyang kita memenuhi segala kebutuhan sandang, pangan dan papan dari lingkungan mereka. Seiring dengan bertambahnya kebutuhan dalam kelompok masyarakat maka muncullah proses innatura atau barter suatu proses tukar-menukar barang dengan barang.

Tatkala kehidupan manusia semakin kompleks, barter pun bertumbuh subur. Konon pada 1626 Peter Minuit menukarkan manik-manik dan barang perhiasan kecilnya seharga US $ 24 dengan pulau Manhattan. Pada tahun 1993 total pulau ini diperkirakan bernilai US $ 50,4. Di Indonesia justru sistem barter ini masih ditemukan di beberapa masyarakat pedalaman seperti suku Sasak, Badui dalam dan luar, suku Sakai, dan lain-lain.

Misalnya sejumlah hasil kebun seperti buah sawo, manggis diletakkan di pinggir jalan untuk ditukar dengan gula, garam, pakaian, dan lain-lain. Tatkala dalam perkembangan zaman, perdagangan berkembang semakin pesat, orang kemudian menemukan jalan keluar dimana lahirlah uang. Pada akhirnya uang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, terutama dalam melakukan perdagangan sebagai alat pembayaran (baca: Dana dan Investasi terbitan Bapepam dan Capital Market Society 1996).


Sejarah Rupiah

Sejarah suatu bangsa sangat erat kaitannya dengan lahirnya uang. Demikian pula tentunya dengan sejarah uang rupiah di negara tercinta Indonesia. Rupiah berasal dari rupee, bahasa Sansekerta yang bermakna perak. Usai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 diumumkan, pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk mengeluarkan mata uang sendiri.

Oeang Repoeblik Indonesia atau ORI adalah mata uang pertama yang dimiliki Republik Indonesia setelah merdeka. Pemerintah memandang perlu untuk mengeluarkan uang sendiri yang tidak hanya berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah tapi juga sebagai lambang utama Negara merdeka. ORI resmi beredar pada tanggal 30 Oktober 1946.

ORI tampil dalam bentuk uang kertas bernominal satu sen dengan gambar muka keris terhunus dan gambar belakang teks Undang-undang. ORI ditandatangani Menteri Keuangan saat itu A.A. Maramis. Pada hari itu juga dinyatakan bahwa uang Jepang dan uang De Javasche Bank tidak berlaku lagi.

ORI pertama kali dicetak di Percetakan Canisius dengan desain sederhana dengan dua warna dan memakai pengaman serat halus. Tahun kedua setelah ORI diterbitkan, ada peristiwa tragis yang mengenaskan bangsa kita. Ketika PKI menguasai Madiun dan Ponorogo, sebagian hasil cetakan diangkut ke Sawahan-Nganjuk dan dihancurkan. Bahkan Belanda yang sempat menguasai Madiun, tanggal 18 Desember 1948 turut pula mengacaukan proses pemindahan alat percetakan.

Soetijpto, pimpinan percetakan ORI ditangkap dan ditembak mati. Meski masa peredaran ORI cukup singkat, namun ORI telah diterima di seluruh wilayah Republik Indonesia dan ikut menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajah. Inilah wujud eksistensi kemerdekaan republik ini, dan bukti bahwa Kemerdekaan merupakan perjuangan rakyat Indonesia dan bukan pemberian dari bangsa lain.

Sekelumit peristiwa sejarah uang RI, seyogyanya mengingatkan bangsa Indonesia untuk lebih menghargai uang. Mencari uang tidaklah mudah, bahkan proses awalnya juga meninggalkan sebuah tragedi. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, pemerintah menetapkan beberapa ketentuan yang mengatur tentang jenis mata uang yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah.

Pertama, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah RI tanggal 2 Oktober 1945, menetapkan bahwa uang NICA tidak berlaku lagi di wilayah RI.

Kedua, pemerintah mengeluarkan Maklumat Presiden RI No. 1/10 tanggal 3 Oktober 1945, menetapkan beberapa jenis uang yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Indonesia. Setelah itu pemerintah melalui Undang-undang No. 17 tahun 1946 secara resmi menetapkan pengeluaran "Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Pada saat Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, di negeri kita beredar empat jenis mata uang.

Pertama, uang sisa zaman kolonial Belanda, De Javasche Bank. Kedua, uang yang sudah dipersiapkan oleh Jepang sebelum menguasai Indonesia dengan bahasa resmi Hindia Belanda, yaitu mata uang De Japansche Regeering dengan satuan gulden yang dikeluarkan tahun 1942.

Ketiga, uang pendudukan Jepang menggunakan bahasa Indonesia, Pemerintah Dai Nippon emisi 1943 dengan pecahan bernilai 100 rupiah.

Keempat, Dai Nippon Teikoku Seihu, emisi 1943 bergambar Satria Gatot Kaca dengan pecahan bernilai 10 rupiah, bergambar rumah gadang Minang dengan pecahan bernilai 5 rupiah. Selanjutnya pengaturan pengeluaran ORI termasuk mengenai nilai tukarnya terhadap uang yang beredar lainnya ditetapkan dalam Undang-undang No. 19 tahun 1946. ORI ditetapkan secara sah mulai berlaku 30 Oktober 1946, pukul 00.00. Wakil Presiden RI Mohammad Hatta menyampaikan pidato sambutannya atas berlakunya ORI melalui siaran Radio Republik Indonesia Yogyakarta (62 tahun ORI, dari ORI sampai Reformasi, Koperasi Sejahtera Anggaran- Depkeu RI)


Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) Daerah


Ketika ibukota pemerintahan pindah ke Yogyakarta, hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terputus. Suasana yang tidak kondusif pada masa itu mengakibatkan langkanya ORI di daerah-daerah tertentu, maka pemerintah memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk menerbitkan uang kertas atau tanda pembayaran yang sah yang berlaku secara terbatas di daerah.

Uang darurat di daerah provinsi Sumatera Utara (ORIPS) yang pada mulanya dicetak di Pematang Siantar, misalnya diedarkan pada tanggal 11 April 1947. Pecahan terdiri dari nilai nominal 1, 5, 10, dan 100 rupiah. Pengeluaran diatur dengan ketentuan yang berlaku. Kemudian melalui PP No. 19/1947 tanggal 26 Agustus 1947, yang dikenal dengan URIDA. Penerbitan uang tersebut dijamin oleh Pemerintah dan dapat ditukar dengan ORI.

Beberapa URIDA yang pernah terbit antara lain:

* ORIDAB-Uang Kertas Darurat untuk Daerah Banten
* ORIPS-Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera
* Surat Tanda Penerimaan Uang untuk Yogyakarta
* Kupon Penukaran Uang untuk Jambi
* Tanda Pembayaran yang sah untuk Keresidenan Lampung
* Mandat Dewan Pertahanan Daerah Palembang (DPDP)
* Tanda Pembayaran yang sah berlaku untuk Sumatera Selatan
* Bon Pemerintah Negara Repoeblik Indonesia kabupaten Asahan
* Mandat Pertahanan untuk Daerah Keresidenan Lampung
* Tanda Pembayaran yang sah berlaku untuk daerah Aceh


Pengguntingan dan Pengebirian uang


Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, konfrontasi fisik dengan Belanda praktis tidak terjadi lagi, tetapi rupiah masih belum bebas dari cobaan. Pahit getirnya perjalanan rupiah masih berlanjut di kurun Ekonomi Liberal (1950-1959). Pada masa itu, ada peristiwa sejarah yaitu "gunting Syafruddin". Secara harfiah maksud dari perkataan itu memang terjadi pengguntingan (potongan) uang rupiah menjadi dua bagian.

Bagian kiri sampai tanggal 9 April 1950 pukul 18.00 tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai separuhnya. Sedangkan guntingan sebelah kanan dapat ditukar dengan obligasi Negara 3 % per tahun dan akan dibayar dalam jangka waktu 43 tahun.

Kejadian ini didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan RIS Mr. Syafruddin Prawiranegara Nomor PU.1 dan PU.2. Uang yang menjadi objek "gunting Syafruddin" adalah uang kertas De Javasche Bank dan uang NICA yang ditujukan untuk menyedot jumlah peredaran uang yang terlalu banyak, menghimpun dana pembangunan, dan menekan defisit anggaran belanja.

Sementara itu fenomena moneter lain yang tak kalah menarik, terjadi pula sembilan bulan berikutnya yakni 25 Agustus 1949 di mana pecahan uang bernilai diatas Rp 100,- diturunkan menjadi sepersepuluh nilai semula (dikebiri) oleh Keputusan Kerja, Rupiah Presidensial pertama setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1949 untuk kembali ke UUD 1945.

Di samping itu pula ada ketentuan bahwa simpanan bank berjumlah lebih dari Rp 25.000,- dibekukan dan didevaluasikan terhadap dollar AS dari 1 : 11,4 menjadi 1 : 11,45. Kebijaksanaan ini ditujukan terutama kepada kaum spekulan dan pemegang uang panas. Tetapi kenyataannya hampir seluruh masyarakat terkena imbasnya.

Setelah itu sejarah uang masih bergema di masa ekonomi terpimpin (1959-1965) hingga masa orde baru (1966-1998). Kini 62 tahun kita telah menggunakan sebagai alat pembayaran sah. Dirgahayu Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(Sumber: www.kabarindonesia.com)

Nonton Perbankan Tempo Doeloe di Museum Mandiri


Oleh: Iwan Santosa


Wisata di museum tidak sekadar menonton benda dan bangunan bersejarah. Malam Minggu (5/5), akhir pekan lalu, sejarah disuguhi rekonstruksi perbankan tempo doeloe berlatar tahun 1930-an di Museum Bank Mandiri di depan Stasiun BEOS (Jakarta Kota ) di Kota Tua Jakarta yang bersejarah.

Tema yang diusung Komunitas Jelajah Budaya adalah Kasir China, salah satu ikon perbankan pada masa kolonial. Kala itu para pegawai Tionghoa sebagian besar menjadi tenaga kasir di bank.

Para tuan besar Belanda sebagai nasabah, kasir Tionghoa, dan kerani Bumiputera, tampil di salah satu sudut bank yang memang pernah menjadi ruang kasir pada masa silam. Topi bambu bulat, seragam putih-putih, celana model Bermuda, hingga baju cheongsam yang digunakan para Nona Tionghoa pegawai bank ditampilkan pada malam itu.

Para wisatawan pun disuguhi rekonstruksi yang mirip tonil lengkap dengan kelakar. Sayang, tak banyak istilah Melayu Pasar yang lazim digunakan, tak muncul dalam pertunjukan pada malam itu, seperti sebutan babah, nona, encek, dan sebagainya.

Namun, upaya membangun keaslian penampilan agak terganggu pada sejumlah detail, seperti keberadaan tauchang (kepang rambut alias pig tail pria Tionghoa). Pada tahun 1930-an, tauchang sudah tidak lagi dipakai seiring revolusi Tiongkok pada awal abad ke-20 yang melahirkan gerakan kwa tauchang (memotong kepang rambut).

Meski demikian, para penonton antusias melihat pertunjukan tersebut. Calvin Barus yang datang bersama istrinya, Ruth, dari Depok, mengaku menikmati acara tersebut.

"Cara berpakaian yang dipakai mirip waktu saya kecil di perkebunan di Sumatera Utara. Saya ingat bapak saya biasa berbusana seperti para tuan besar lengkap dengan topi. Bapak saya memang kerja di perkebunan pemerintah yang diambil alih dari Belanda akhir tahun 1950-an," tutur Calvin.

Selepas rekonstruksi, para pengunjung diberi kesempatan lagi untuk kembali ke masa lalu. Nuansa tersebut dibangun dalam acara makan lengkap berupa rijstaffel (harfiah meja nasi), yakni hidangan khas zaman Kolonial yang merupakan pertemuan selera Belanda dan Indonesia. Rijstaffel disajikan belasan pelayan berjas ala tempo dulu, menghidangkan nasi ditemani belasan penganan dan tentu saja kerupuk yang merupakan makanan mewah di masa lalu.

Sambil santap malam, pengunjung juga menyaksikan film hitam putih tentang Insulinde (sebutan Indonesia awal abad ke-20) ketika ekonomi sedang bangkit dan pembangunan serta keindahan negeri ini sangat memukau dunia Barat.

Setelah itu, pengunjung dibawa berkeliling museum yang selesai dibangun tahun 1933 sebagai kantor Nederlansche Handel-Maatschappij (NHM). Ruang bawah tanah, brankas antik, kaca patri yang menggambarkan sejarah Nusantara sejak kedatangan Belanda, dan perangkat perbankan tempo dulu.

Titi, pengunjung lain, mengaku bahwa menonton pertunjukan sekaligus mengelilingi museum memberikan wawasan baru tentang kebesaran Nusantara di masa silam. "Ternyata banyak hal yang bisa dikagumi dari masa lalu," ujar Titi.

Kartum, ketua Komunitas Jelajah Budaya, mengatakan, kemasan rekonstruksi sejarah sengaja dibuat agar menggugah kepedulian masyarakat terhadap kebesaran di masa lalu sekaligus membangun rasa percaya diri. "Kalau tidak dimulai dari sekarang tentu bangunan cagar budaya berikut cerita yang menyertainya akan dilupakan," ungkap Kartum.

(Sumber: Kompas, Rabu, 09 Mei 2007)

Minggu, 15 Maret 2009

Koleksi Numismatik Museum Nasional


The Museum Nasional has more than 17,112 Numismatic and Heraldic objects-500 of which are on public display. The Numismatic collection comprises Indonesian and foreign coins and valuable papers, whereas the Heraldic collection is made up of medals, emblems, stamps and amulets. These collections were started by Radermacher in 1778.



As recorded by ancient Javanese inscriptions, Indonesian currencies date back to the 8th century. These early coins were made out of gold and silver, and were known as masa, suwarna and dharana. They were utilized until the 15th century together with Chinese currency, although the latter continued to be used in Bali until the 1950s.

During the Majapahit age, coins called gobog were also in circulation and in subsequent centuries, Islamic kingdoms such as Aceh, Palembang, Jambi and Banten produced their own currencies too. They were named after kings and were imprinted with the Islamic year (Hijrah) in Arab-Melayu letters.



Between the 16th and 20th centuries, each colony (Portuguese, Dutch, British and Japanese) had their own currency. As time passed, gold and silver coins gave way to paper notes.

The Musuem Nasional collects foreign currencies, including Dutch, British, Portuguese, Spanish, Indian, Chinese and Japanese coinage. Among the most interesting collections are knife money (tao chien or uang pisau), made in the 3rd century BC.

(Sumber: museumnasional.org)

Kamis, 12 Maret 2009

Minat Numismatik di Jabar Masih Rendah

- Untuk Bergabung dengan ANI

Bandung, Kompas - Minat para kolektor uang kuno atau numismatik di Jawa Barat untuk menjadi anggota asosiasi masih rendah. Padahal, peran asosiasi dapat menguntungkan karena berfungsi sebagai ajang tukar-menukar informasi mengenai penjualan uang kuno serta menggalakkan hobi tersebut di masyarakat.

Demikian dikatakan Ketua Asosiasi Numismatik Indonesia (ANI) Daerah Jawa Barat Sutan Hidayatsyah di Bandung, Sabtu (4/6). Rendahnya minat untuk bergabung dalam asosiasi dapat dilihat dari jumlah anggota ANI Jabar yang hanya 40 orang. Padahal, penggemar uang kuno di Jabar sekitar 500 orang, sedangkan di seluruh Indonesia sekitar 5.000 orang.

"Jumlah penggemar uang kuno di Jabar bisa saja lebih dari 500 orang. Dari dulu kalau ada acara berkumpul para kolektor yang muncul orangnya ya itu- itu saja," kata Sutan.

Dikemukakan, target menarik kolektor mata uang sebanyak 150 orang untuk tahun 2005 merupakan harapan yang cukup berat karena kurangnya sosialisasi keberadaan ANI. Para penggemar uang kuno biasanya hanya bertransaksi langsung antar-individu tanpa perantara. Penggemar uang kuno juga kerap mempertanyakan manfaat menjadi anggota ANI. Padahal, ujar Sutan, menjadi anggota tidak begitu memberatkan dari segi biaya, dibanding keuntungan yang didapat.


Uang palsu

Iuran anggota ANI per bulan hanya Rp 15.000 dan para kolektor akan mendapatkan informasi dari anggota lain. Selain itu, buletin juga berfungsi sebagai media untuk menjual uang kuno. Sutan mengakui, iuran anggota ANI Jabar sebenarnya tidak mencukupi untuk menerbitkan buletin sehingga harus ditambah dari pengurus asosiasi.

Wakil Ketua ANI Jabar Puji Harsono mengatakan, asosiasi berfungsi untuk memberi informasi mengenai keabsahan, kualitas, dan harga uang kuno yang pantas. Juga untuk mencegah anggotanya menjual uang palsu karena bertentangan dengan UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Menurut Puji, numismatik bila ditekuni secara serius dapat menghasilkan keuntungan karena nilai mata uang kuno ada yang mencapai miliaran rupiah. Misalnya, mata uang gulden Belanda yang dikeluarkan VOC tahun 1796.

Keistimewaan uang kuno Indonesia terletak pada keindahan serta variasi desainnya yang khas. Puji menyayangkan banyaknya uang kuno berada di tangan kolektor luar negeri, terutama Singapura, karena pedagang uang kuno di luar negeri mampu menawar harga lebih tinggi. Kolektor luar negeri terutama menyukai uang kuno yang memiliki ciri khas daerah. Misalnya, uang yang diterbitkan pemerintahan darurat di Sumatera Barat ketika ibu kota negara dipindahkan ke Bukittingi pada masa agresi militer Belanda tahun 1948. (bay)

(Sumber: Kompas, Senin, 6 Juni 2005)

Senin, 09 Maret 2009

Tentang Rupiah dan Duit


Oleh: DJULIANTO SUSANTIO


Sering kali orang bertanya, mengapa mata uang negara kita disebut rupiah? Sayangnya, pertanyaan itu masih sulit dijawab secara pasti (ilmiah). Sejak lama banyak orang menafsirkannya secara hipotesis berdasarkan hal yang mereka tahu, baca, dan dengar saja. Mencari di internet pun relatif sukar. Belum ada nara sumber yang mampu menguraikannya secara panjang lebar.

Sejumlah sumber hanya mengatakan, nama rupiah pertama kali digunakan secara resmi ketika dikeluarkannya mata uang rupiah pada zaman pendudukan Jepang (1943). Jadi sebelum Indonesia menjadi negara berdaulat penuh. Ketika itu Dai Nippon Teikoku Seihu mengedarkan lima jenis pecahan, yakni pecahan setengah roepiah, satoe roepiah, lima roepiah, sepoeloeh roepiah, dan seratoes roepiah. Sebelumnya di daerah yang disebut Indonesia sekarang, orang menggunakan Gulden Belanda.

Namun, menurut seorang penulis di internet, nama rupiah sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka. Alasannya, dia memiliki uang setengah sen tahun 1860. Di situ tertulis, “Saporo rong-atus rupiyah” (seperduaratus rupiah). Kalau seperseratus rupiah adalah satu sen, maka seperduaratus rupiah adalah setengah sen. Teori ybs tentu saja masuk akal.

Diperkirakan nama rupiah berasal dari nama mata uang India, rupee. Hubungan India dengan Indonesia memang sudah terjalin erat sejak abad V. Bisa dikatakan sejarah kuno Indonesia yang bercirikan Hinduisme dan Buddhisme sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India. Karena itu tidak heran kalau kita banyak mengadopsi hal-hal berbau India, termasuk bahasa Sansekerta.

Tafsiran lain mengatakan rupiah berasal dari bahasa Sansekerta ru-pya yang berarti perak, khususnya perak yang ditempa atau dicetak. Ada pula yang menduga, kata rupiah berasal dari dialek daerah tertentu. Yang ekstrem berpendapat, rupiah berasal dari nama teman perempuan Presiden Soekarno.

Seperti halnya dollar dan peso yang dipakai di banyak negara, nama rupee dengan modifikasinya juga digunakan di sejumlah negara yang dipengaruhi kebudayaan India itu. Selain di India sendiri, rupee adalah nama mata uang di Pakistan, Srilanka, dan Nepal. Bunyi yang mirip terdapat di Maladewa (rufiyaa), Seychelles (roupi), dan Mauritius (roupie).


Duit

Sebenarnya, banyak orang awam sudah mafhum kalau duit identik dengan uang. Namun umumnya kata uang dihubungkan dengan bahasa Indonesia, sementara duit cenderung ke dialek Jakarta (Betawi). Sesungguhnya, duit berasal dari kata Doit, yakni sebutan bagi uang receh kuno Eropa dari abad XIV. Pada awalnya, Doit terbuat dari bahan perak dengan nilai tukar setara dengan 1/8 Stuiver. Pada abad XIV itu 1 Gulden = 20 Stuiver. Jadi 1 Gulden = 160 Doit.

Ketika itu Doit menjadi satuan mata uang terkecil di Belanda, seperti halnya Penny di Inggris. Sejak 1573 Doit tidak lagi terbuat dari perak. Karena bahan itu dianggap mahal, bahannya diganti tembaga yang lebih murah.

Doit masuk ke Kepulauan Nusantara sejak 1726. Semula Doit harus didatangkan dari Belanda. Tetapi mengingat pengiriman dengan kapal sering mengalami hambatan, misalnya waktu perjalanan lama dan gangguan bencana alam, sementara di pihak lain kebutuhan akan uang kecil terus meningkat, maka pemerintah Belanda mengizinkan VOC untuk menempanya sendiri di Batavia dan Surabaya.

Doit yang dibuat di Nusantara terdiri atas dua jenis. Pertama, berbahan tembaga dengan ciri-ciri berbentuk bundar, berwarna coklat, bertulisan JAVA, dan dilengkapi angka tahun pembuatan. Kedua, berbahan timah dengan ciri-ciri berbentuk bundar, ada inisial LN dan lambang VOC, ada tulisan Arab Melayu duyit, dan dilengkapi angka tahun pembuatan.

Umumnya Doit dikeluarkan untuk gaji pegawai. Kalau pegawai VOC lebih banyak menerima Gulden untuk jerih payahnya karena bergaji tinggi, maka pegawai bumiputera justru bergaji kecil. Sekadar gambaran, pada 1888 pendapatan per kapita orang Eropa sebesar 2.100 gulden dan orang asing lainnya 250 gulden. Sementara pendapatan bangsa bumiputera hanya 63 gulden atau 5,25 gulden per bulan. Karena terlalu sering menerima doit atau duyit alias uang recehan, maka istilah itu sangat akrab di telinga mereka. Lama-kelamaan istilah itu berubah menjadi duit, sesuai lidah bangsa Indonesia. Istilah itu terus dikenal sampai sekarang, tanpa ada perbedaan nilai besar atau kecil.***

Pornografi pada Koleksi Numismatik


Oleh: DJULIANTO SUSANTIO

Masalah pornografi selalu menjadi bahan perdebatan berbagai kalangan karena dianggap dapat menimbulkan efek negatif pada masyarakat. Dampak terparah adalah merusak moral para remaja atau anak-anak yang umumnya belum mengerti batasan pornografi.

Tapi entah disadari entah tidak, di pasaran banyak dijual karya-karya seni yang memerlihatkan ketelanjangan. Justru karya-karya itu menjadi komoditi perdagangan yang selalu dicari orang.

Ironisnya, di banyak daerah di Indonesia, seperti di pedalaman Papua, Kalimantan, Sumatra, dan Bali banyak penduduk asli masih menggunakan pakaian minim. Bahkan banyak kaum wanita di sana tidak memakai penutup dada. Dari segi etnografi tentu sulit dikategorikan pornografi karena mereka adalah penduduk asli yang melestarikan kebudayaan nenek moyang mereka.

Ternyata, suku bangsa tradisional yang memegang adat leluhur juga masih banyak terdapat di Afrika, benua yang dianggap masih terbelakang. Salah satunya adalah Swaziland. Namun berkat produk numismatiknya, berupa uang kertas bernilai 1 Lilangeni emisi 1968, maka Kerajaan Swaziland (sebuah negara kecil di dekat Afrika Selatan), menjadi bahan perbincangan numismatis dunia.

Pada uang kertas itu, sisi utama bergambar Raja Shobuza II. Sisi sebaliknya menampilkan sembilan wanita dengan pakaian minim tanpa penutup dada. Mereka adalah para isteri Raja Shobuza II. Apakah ini termasuk gambar porno atau bukan, tentu tergantung penilaian masing-masing.

Nyatanya sejak beberapa tahun lalu, uang Swaziland merupakan salah satu primadona uang asing sebagai benda koleksi. Benda ini banyak diburu kolektor dari sejumlah negara, termasuk dari Indonesia.

Kini ketenaran uang kertas tersebut malah semakin meningkat setelah salah satu keturunan Raja Shobuza II, yakni Raja Mswati III menikah secara resmi dengan Noliqhwa Ntentesa pada 2005 lalu. Ntentesa adalah isteri ke-11 Raja Mswati III.

Pada awalnya pernikahan tersebut banyak ditentang oleh para pekerja sosial. Ini karena Swaziland merupakan negara yang memiliki tingkat infeksi HIV tertinggi di dunia. Ntentesa dipilih oleh Raja Mswati III pada 2002 lalu di sebuah acara dansa tahunan. Dua gadis lagi, konon sedang menunggu giliran dinikahkan dengan raja. Raja Swaziland sendiri pernah datang ke Indonesia pada Oktober 2007 lalu dan sempat bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sayang, berita tentang kedatangannya kurang mendapat perhatian pers nasional.

Yang menambah kepopuleran uang tersebut adalah karena Sang Raja mempunyai gaya hidup yang luar biasa tinggi. Demi membahagiakan ke-11 isterinya itu, Sang Raja memerintahkan pembangunan istana bagi setiap isterinya. Sang Raja juga menghabiskan duit jutaan dollar untuk membeli sedan mewah buat para mertuanya, pesawat jet kerajaan, dan merenovasi tiga istana utamanya. Konyolnya lagi, Sang Raja memiliki koleksi puluhan mobil mewah. Padahal, sejak lama negaranya dilanda krisis pangan berkepanjangan sehingga rakyatnya hidup serba kekurangan. Dan lagi, tingkat pengangguran di negaranya juga tertinggi di dunia.

Perilaku Raja Mswati III rupanya setali tiga uang dengan ayahnya. Saat meninggal pada 1982, Raja Shobuza II “mewariskan” 70 isteri. Buseeeet! Entah, apakah prestasi Raja Swaziland ini masuk Guiness Book of World Records atau tidak.

Negara Afrika lainnya yang pernah mengeluarkan mata uang “berbau” pornografi adalah Benin. Pada koin bernilai 1000 Francs emisi 1992 itu juga tergambar jelas bagian dada seorang wanita. Namun kepopuleran uang Benin tidak setinggi uang Swaziland. Meskipun banyak diburu kolektor, harga pasaran benda-benda numismatik tersebut tidak begitu tinggi.

Yang lebih klasik adalah koin perak Yunani kuno yang berusia 2000 tahun lebih. Pada koin itu terpampang gambar seorang pria dalam keadaan telanjang bulat. Memang, seni Yunani kuno banyak memperlihatkan hal demikian. Tidak heran bila pameran patung kuno Yunani di Jakarta beberapa tahun lalu menimbulkan pro kontra. Akibatnya, bagian vital patung terpaksa ditutupi kain putih agar sang patung tidak “malu”.

Ternyata koin “jorok” itu pernah laku dalam suatu pelelangan di London pada 1995 seharga 100.000 dollar lebih. Coba saja kurskan dengan rupiah! Tentu saja koleksi itu berharga mahal bukan karena gambarnya, melainkan karena benar-benar unik dan langka. Nah, meskipun berkesan pornografi, ternyata keunikan, kelangkaan, dan kepopuleran sangat menunjang harga sebuah koleksi. Apalagi, sering menjadi bahan berita, berarti semakin menambah kepopuleran koleksi tersebut dan tentu saja semakin mahal harganya. Ini sudah menjadi hukum dalam dunia bisnis.***

Kamis, 05 Maret 2009

Museum Uang Purbalingga Pecahkan Rekor Muri


Purbalingga, CyberNews. Museum Uang Purbalingga yang terletak di kompleks Taman Reptil di Kecamatan Kutasari, Purbalingga berhasil memecahkan rekor Muri. Museum yang diresmikan bertepatan dengan Hari Jadi Ke 178 Purbalingga, Kamis (18/12) itu mencetak rekor koleksi mata uang asing terbanyak.



Museum ini mempunyai koleksi 183 mata uang asing. Sedangkan rekor sebelumnya dipegang warga Surabaya yang hanya mempunyai koleksi 140 mata uang asing. ''Ini merupakan kolektor uang negara-negara dunia terbanyak saat ini,'' kata Manajer Muri Paulus Pangkah.

Sertifikat Muri itu diserahkan Manajer Paulus Pangkah kepada Bupati Purbalingga Triyono Budi Sasongko. Penyerahan yang dilanjutkan pembukaan museum itu dihadiri Pemimpin BI Purwokerto Unang Hartiwan, pejabat BI pusat, dan kalangan perbankan. Usai pembukaan, para tamu menyaksikan koleksi museum.

Pemimpin BI Purwokerto Uang Hartiwan menyambut baik pembukaan museum ini. Pihaknya bahkan siap mendukung pengembangannya. Tidak hanya sekadar memamerkan koleksi, tetap museum ini diharapkan memberikan tambahan pengetahuan kepada pengunjung.

''Seperti bagaimana mengenali ciri-ciri uang khas rupiah. Juga mengenalkan bank sentral di Indonesia. Dengan demikian museum ini banyak nilai lebihnya. Dan museum ini menjadi perpanjangan tangan dari Bank Indonesia dalam sosialisasi pengetahuan masyarakat tentang uang,'' katanya.

Sementara Bupati Triyono menjelaskan, pendirian bangunan museum itu didanai oleh APBD Kabupaten. Namun untuk seluruh isi museum adalah sumbangan pribadinya. ''Ini koleksi saya pribadi. Saya memang pilateli dan numismatika, atau kolektor perangko dan kolektor uang kuno,'' katanya.

(Sumber: Suaramerdeka.com, Kamis, 18 Desember 2008)

Selasa, 03 Maret 2009

Numismatik untuk Remaja


Partisipasi remaja dalam numismatik memang sangat diharapkan. Pentingnya pembentukan kader untuk masa depan numismatik di Indonesia mengharuskan kita mengikutsertakan para remaja sebagai generasi penerus. Dalam filateli pengikutsertaan remaja telah mencapai beberapa hasil, antara lain menanjaknya jumlah anggota dan juga bertambah gairahnya kegiatan berkat rangsangan mereka ini.

Bagaimana dengan numismatik? Kalau dalam kegiatan filateli seorang remaja dapat memulainya dengan mengumpulkan prangko bekas dengan cara meminta kepada kawan atau kerabat yang banyak berkorespondensi. Atau malah masih mungkin mengumpulkan amplop berprangko dari keranjang sampah, tipis kemungkinan hal serupa dapat dilakukan oleh seorang remaja yang ingin berkoleksi numismatik.

Memang ada banyak jenis uang tidak laku, tetapi jarang ada uang bekas yang dibuang di keranjang sampah. Seorang remaja yang ingin memulai koleksi uang mau tidak mau paling sedikit harus berhubungan dengan tukang loak untuk mendapatkan mata uang logam atau kertas yang ingin dikumpulkannya. Ini berarti pengeluaran sejumlah uang (yang masih laku) sebagai imbalan.

Pengeluaran uang tambahan untuk remaja yang masih duduk di bangku sekolah tentu saja akan menambah berat beban orang tua mereka karena koleksi yang seperti ini tidak dapat dianggap sesuatu yang esensial oleh orang tua manapun, kecuali kalau orang tua remaja itu kaya sekali yang tentu saja hanya sedikit jumlahnya.

Sampai di sini tampaknya gagasan penyertaan remaja ini seperti satu kasus yang “hopeless”. Beberapa perhimpunan numismatik di luar negeri malah angkat tangan dan tidak dapat menerima keanggotaan di bawah umur seperti remaja itu. Tetapi apa kita juga harus berputus asa mengikuti jejak perhimpunan numismatik luar negeri ini? Saya rasa tidak seharusnya demikian.

Pertama, kita harus berterima kasih kepada pendiri PPKMU yang berpandangan jauh ke depan sehingga masalah ini masih dapat kita cari pemecahannya. Dapat kita lihat dari nama PPKMU, di dalamnya terdapat perkataan “Perhimpunan PENGGEMAR Koleksi Mata Uang”.

Apabila seorang remaja pemula belum mampu memulai koleksi, dia seharusnya masih dapat diterima menjadi anggota dan digolongkan pada kategori “penggemar”. Sebagai penggemar saja dia tidak perlu mengoleksikan apa saja, jadi tidak perlu juga mengeluarkan uang banyak. Untuk menyalurkan minat mereka dapat dianjurkan misalnya:

Menyusun kembali daftar uang yang pernah beredar di Indonesia secara kronologis, tempat penerbitan, pencetak, daerah peredaran, masa peredaran hingga ditarik kembali, harga satu per satu uang di Indonesia dan luar negeri, dan pokoknya banyak lagi.

Melakukan penyelidikan dan penulisan mengenai sejarah satu set tertentu mata uang berupa proyek di SMA atau skripsi di pendidikan tinggi.

Melakukan penyelidikan sejarah tentang sebab-sebab dipalsunya satu mata uang, cara-cara pemalsuannya, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan ini.

Tentu saja untuk kegiatan mereka diperlukan bantuan dari para anggota PPKMU yang lebih senior, misalnya berupa peminjaman satu set koleksi, buku, katalog, dan malah bimbingan, petunjuk, serta pengarahan. Ini tentu juga akan mendatangkan keuntungan bagi para senior karena paling sedikit ia akan dirangsang oleh para remaja ini, sehingga pengetahuannya akan bertambah.

Walaupun kita belum melihat adanya kegiatan ini dalam PPKMU pembentukan suatu wadah tersendiri bagi para remaja ini sudah seharusnya kita mulai dari sekarang. Tentu saja kategori penggemar itu dapat juga mencakup golongan lainnya sehingga di dalamnya dapat dimasukkan selain para remaja juga misalnya wartawan yang berminat, guru sejarah, pedagang uang atau orang yang hanya ada minat saja seperti petugas museum dan lain-lain.

Salah satu contoh dari karya yang kelak dapat digarap oleh para remaja adalah skripsi mahasiswa Seri Rupa ITB berjudul “Disain Uang Kertas Indonesia”. Ditonjolkan di dalamnya seni grafika potret Bung Karno dalam berbagai pose.

Sebenarnya opini di atas sederhana saja dan kelihatannya mudah dilaksanakan. Tetapi bagi kita biasanya “memulai sesuatu” adalah hal yang sukar.

(Sumber: H. Natasuwarna, Berita PPKMU 1985)

Varia Numismatik (III)


Koban Batavia
  • Pada sebuah lelang internasional 1988, uang koban Batavia yang berbentuk lempengan emas tipis laku seharga kira-kira Rp 4,5 juta (kurs waktu itu)

Uang Jepang
  • Pada abad XVII pihak penguasa VOC memberikan cap singa di atas beberapa uang emas daerah di Jepang guna diedarkan di Indonesia.

Uang atau Token?
  • Inflasi yang hebat menyebabkan masyarakat Bolivia yang akan menggunakan telepon umum harus menggunakan uang logam 5 pesos (1976-1980), padahal merupakan pecahan tertinggi dalam peredaran. Pemanfaatan uang sah yang sudah tidak bernilai lagi, sebagai token (alat tukar) telepon lebih menghemat biaya daripada harus membuat token khusus. Pihak instansi telkom Bolivia (TASA) menjualnya di bawah tarif resmi yang berlaku kepada orang-orang buta atau orang-orang cacad sehingga mereka dapat menjual kembali kepada pemakai telepon umum. Dengan demikian ikut membantu dalam memecahkan masalah pengangguran.

1000 Kali Lipat
  • Majalah Life pernah menawarkan hadiah $1000 kepada siapa saja yang dapat mengembalikan uang kertas AS $1 (1985) seri nomor G 27909101 H di peredaran. Uang tersebut mempunyai kisah yang unik bagi majalah Life dan telah berumur sekitar 18 bulan sejak pengeluarannya.

Uang Sindiran
  • Taxed Dollar (Dollar Kena Pajak) dari Republik Pisang Taxtralia adalah uang kertas sindiran yang diterbitkan pada 1985 dan diberlakukan kembali pada 1986-1987 oleh sekelompok masyarakat yang memprotes pajak yang dianggap tinggi di Australia. Tulisan bagian belakang menyatakan bahwa pembayar pajak bekerja 161,5 hari pada 1984 untuk program pajak pemerintah.

Lencana Lindeteves
  • Pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945) pabrik cat terbesar Lindeteves yang berlokasi di daerah Jakarta Kota, membuat lencana (tanda pengenal) yang sangat sederhana bagi para karyawannya. Di dalam lencana tertera angka (mungkin menunjukkan nomor urut pegawai) dan huruf Jepang. Lencana ini terbuat dari tembaga yang disepuh nikel. Bagian belakang kosong sama sekali. Beratnya kira-kira 13 gram dan berdiameter kira-kira 32 mm. Sesaat setelah proklamasi kemerdekaan RI pabrik cat Lindeteves ini mempunyai andil dalam proses percetakan uang RI pertama (ORI Djakarta).

Uang Kertas Marcos
  • Uang kertas Filipina 500 Piso yang menggambarkan Presiden Marcos tidak jadi beredar karena revolusi Februari 1986 yang menyebabkan Marcos tersingkir. Sebagian besar uang kertas ini telah dimusnahkan, namun Bank Sentral Filipina masih menyimpan sebagian kecil sampai menjelang perubahan situasi politik. Tiga klub numismatik telah mengirimkan surat kepada Gubernur Bank Sentral mengenai pengeluaran uang tersebut untuk kepentingan para numismatis. Mereka yakin bahwa Bank Sentral menyimpan surat tersebut untuk dibicarakan dengan Presiden Aquino pada saat yang tepat.

Uang Fantasi
  • Mei 1988 Balai Lelang Sotheby menjual uang kertas fantasi 1 juta poundsterling (bertahun 1903) yang dibuat untuk film “Million Pound Note” yang dibintangi oleh Gregori Peck seharga 1500 poundsterling, jauh di atas harga taksiran 1000 poundsterling. Uang ini sedikit mirip dengan uang kertas Inggris (Bank of England) dengan tanggal dan tanda tangan fiktif. Pada kenyataannya uang kertas dengan pecahan sedemikian besar tidak pernah dikeluarkan untuk peredaran biasa.

(Sumber: Berbagai Berita PPKMU)

Senin, 02 Maret 2009

Uang Logam Banten


Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, daerah ini berada di bawah kekuasaan Kerajaan Salakanagara, Tarumanagara, Sunda, dan Pajajaran sebagai suatu Kadipaten (Propinsi). Ketika agama Islam berkembang dengan pesat dan meluasnya supremasi Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, daerah Banten lambat laun menjadi daerah protektorat Cirebon.

Sultan Banten pertama Maulana Hasanuddin (P. Sebakingkin), putra Sunan Gunung Jati, merupakan cikal bakal Sultan-sultan Banten (1552-1823). Seperti halnya daerah-daerah lain, mata uang Cina merupakan satu-satunya alat pembayaran yang digunakan dalam perdagangan dan kehidupan sehari-hari.

Orang-orang Eropa yang pertama kali mengunjungi pulau Jawa pada akhir abad XVI, menemukan adanya pemakaian uang Cina (cash) ini baik yang berasal dari Cina sendiri maupun tiruan timah setempat. Mereka juga menyebutkan kehadiran pemalsu uang bangsa Cina yang membuatnya di Banten.

Menurut Linschoten, yang singgah di pelabuhan Banten pada 1590, jenis uang yang digunakan hanyalah apa yang disebut “caixa” (kasha), di antaranya 200 caixas = 1 sata dan 1000 caixas = 1 crusaat Portugis atau 3 Carolus Gulden Belanda. Menurut Houtman, 116 caixas = 1 real. Sangat disayangkan mata uang tersebut tidak pernah ditemukan lagi.

Adapun mata uang Banten (picis) yang berdasarkan atas prototipe uang Cina (cash) terdiri atas dua tipe:

Pertama, bertuliskan huruf Jawa “Pangeran Ratu”, diperkirakan merupakan jenis uang tertua yang diketahui orang sejauh ini. Jika dilihat dari jenis aksara yang digunakan, jelas menunjukkan pengaruh kebudayaan Jawa yang masih kuat. Kemungkinan uang ini berasal dari masa sebelum abad XIV atau pada masa awal berdirinya Kesultanan Banten. Tidaklah dapat dipastikan penguasa (raja) mana yang mengeluarkannya karena gelar tersebut di atas digunakan oleh seorang putra raja atau seorang pangeran dari keluarga kerajaan.

Raffles memperkirakan uang tersebut dibuat tahun 1569 yang merupakan tahun menjelang wafatnya Sultan Hasanuddin. Jenis uang ini berukuran besar, sedang, dan kecil dengan lubang segi enam dan terbuat dari bahan tembaga. Mata uang dengan ukuran yang lebih kecil mempunyai bentuk dan corak yang sama seperti di atas tetapi pada sisi belakang terdapat suatu tulisan atau semacam tanda cetak.

Jenis kedua bertuliskan angka Jawa (40) sebanyak enam kali dan berlubang segi lima. Pada masing-masing sudut ada yang tumpul dan runcing ke dalam, terbuat dari bahan yang sama. Belum diketahui apakah angka 40 ada hubungannya dengan peringatan sesuatu peristiwa (candrasangkala) atau tahun pemerintahan dari seorang penguasa.


Kedua, bertuliskan huruf Arab Melayu yang terdiri atas beberapa macam. Yang bertuliskan “Pangeran Ratu Ing Banten” (P. Ratu dari Banten) dikeluarkan oleh S. Abdul Mufakhir Muhammad, terbuat dari bahan tembaga dan ada pula timah, dengan bentuk, ukuran, dan lubang seperti yang disebutkan terdahulu.

S. Abu’l Ma’ali Ahmad Rahmatullah (1650—1) pernah mengeluarkan picis timah dan tembaga yang bertuliskan “as-Sultan Abu’l Ma’ali”. Diikuti oleh S. Abu’l Fatah Muh. Syifa’ Zainul Arifin yang bertuliskan “Picis Banten Sanat 1147, 1149, atau 1146” atau 1733 M dan 1753 M. Selanjutnya S. Abu’l Nasar Muh. ‘Arif Zainul Asyikin merupakan Sultan Banten terakhir yang mengeluarkan uang picis bertuliskan “Alamat Picis Banten Sanat 1181” (1767). Kedua sultan terakhir ini juga mengeluarkan picis dari bahan timah.

Kekuasaan asing di Banten bermula dengan dibukanya kantor dagang Kompeni Inggris pada 1602-1678, disusul kemudian oleh Kompeni Belanda tahun 1659. Setelah pemerintahan Banten berhasil menanamkan kekuasaannya, maka terbentuklah Kabupaten Serang (1816), Kabupaten Lebak (1813), Kabupaten Pandeglang (1848), dan Kabupaten Rangkasbitung (?). Pada 1832 Kesultanan Banten dihapus secara definitif oleh Pemerintah Hindia Belanda dan berada di bawah pemerintahan Keresidenan Banten.

(Sumber: Alim A. Sumana, Berita PPKMU 1985)

Mengumpulkan Uang Logam Yunani Kuno



Mempelajari numismatik Yunani seolah kita mempelajari sejarah dunia masa lalu dan bagi seseorang yang ingin terjun serta berpetualang menjadi kolektornya, haruslah memiliki kesabaran yang tinggi dan ketekunan yang mendalam. Bisa dipastikan hasilnya tidak akan sia-sia, yakni suatu koleksi yang indah tiada tara dan sulit ada bandingannya. Bayangkan saja tidak kurang dari 600 kaisar, raja atau penguasa lainnya dari sekitar 1.500 kota menjadi objek persaingan para juru ukir masa itu untuk dilukiskan di kepingan uang logam, untuk lebih menarik dan lebih indah antara satu dengan lainnya.

Bermula Kresus, raja Lydia di Asia Kecil dari tahun 560 hingga 546 SM memerintahkan pembuatan uang logam dengan menggunakan bahan electrum (campuran alamiah emas dengan perak) dan emas dari sungai Laktol untuk mencetak lambang seperti banteng dan singa di atas kepingan-kepingan logam yang ditimbang sangat teliti, sehingga terciptalah uang logam baru.

Untuk memudahkan perdagangan, uang-uang logam tersebut dikeluarkan di kota Athena, Egine, Korinthus, Syrakus, dan Metaponte. Uang-uang tersebut umumnya dibuat dari bahan perak dan tak lama kemudian diikuti oleh bangsa-bangsa lain masa itu. Numismatik Yunani bisa dibagi dalam enam zaman:

  1. Zaman Arkais (550 – 480 SM): Selama masa tersebut ukiran masih cukup kasar. Kebanyakan uang logam dicetak di atas satu muka atau kadang-kadang memiliki persegi empat yang kosong di atas muka yang lain. Sebagai contoh dapat disebutkan uang logam sikle dari raja Darius I. Sedangkan kota Metaponte mencetak lambang bulir gandum yang memiliki kekhasan, yaitu di satu muka bulirnya bulat cembung dan di muka yang lain bulirnya bulat cekung.
  2. Zaman Peralihan (480 – 415 SM): Zaman ini mencakup perang Persia (disebut juga perang marathon) dan kepungan kota Syrakus oleh prajurit Athena merupakan zaman peralihan antara seni yang masih cukup kasar dengan seni ukir yang belum ada bandingannya di dunia numismatik. Muncullah di atas kedua muka kepingan corak uang logam yang bertemakan binatang, dewa-dewa, bunga, dan kadangkala tercantum juga nama kota pencetak.
  3. Zaman Kematangan (415 – 336 SM): Selama zaman tersebut, para ahli ukir menunjukkan kebolehan mereka dan setiap kepingan uang logam merupakan suatu karya seni yang amat berbobot, diedarkan beribu-ribu jenis uang logam dari dasadrachma dalam perak dari Syrakus, ciptaan juru ukir Kymon dan Evainet hingga uang stater dari Korinthus yang amat indah itu. Di atas kepingan tertentu tercantum tanda tangan pengukirnya.
  4. Zaman Hellenistik (336 – 196 SM): Pada 336 SM naik tahta Iskandar III yang Agung (Alexander the Great), raja Macedonia salah seorang raja pejuang yang terbesar dalam sejarah umat manusia. Dalam kurun waktu hanya beberapa tahun dia berhasil meluaskan kerajaannya ke seluruh penjuru dan terutama ke arah Timur sampai mencapai sungai Indus. Sistem keuangan Yunani diberlakukan di seluruh tanah kekuasaannya, sehingga memudahkan arus perdagangan antara daerah-daerah kerajaan yang baru. Baru 13 tahun dia memerintah dengan mutlak, Iskandar Agung meninggal dunia (323 SM), para jenderalnya membagi-bagikan daerah kerajaannya. Ptolomeus mendapat Mesir, Seleukus mendapat Syria, dll. Setiap penguasa mempertahankan uangnya sendiri-sendiri. Mula-mula salah satu muka uangnya bergambar Iskandar Agung yang didewakan, namun selanjutnya setiap raja menyuruh agar mengukirkan wajah/kepalanya sendiri. Zaman ini menyajikan pula kebhinekaan besar akan sistem keuangan dan dicetak caturdrachma dalam perak yang sungguh elok.
  5. Zaman Penguasaan Romawi (196 – 27 SM): Tentara Roma mengepung kota Athena dengan sukses pada 196 SM. Kota-kota yang takluk memperoleh izin dari penguasa Roma untuk meneruskan pencetakan uang logam. Namun pada umumnya pada masa ini kepingan-kepeingan uang logam kurang bagus dibandingkan dengan kepingan logam yang diukir pada masa dua abad sebelumnya.
  6. Zaman Imperium Romanum (27 SM – 268 M): Ketika Oktavianus merebut tahta kekuasaan pada 31 SM dan mendirikan Imperium Romanum pada 27 SM, dia memutuskan bahwa mulai saat itu hanya kaisar sendirilah, yaitu dirinya sendiri, yang boleh mencetak mata uang. Maka lenyaplah sama sekali uang Yunani, kecuali emisi yang diizinkan kaisar Oktavianus-Agustus dan para penggantinya. Namun uangnya dicetak dari bahan perunggu dan agak kasar. Mata uang ini disebut kolonial Romawi.

(Sumber: Iwan DF, Berita PPKMU, Agustus 1990)

Varia Numismatik (II)

  • Uang logam kuno adalah objek peninggalan sejarah terlengkap, teringan, dan mungkin termurah.
  • Uang emas (derham mas) Aceh mencakup kurun abad XII/XIII – XIX, rangkaian terpanjang dalam sejarah numismatik Indonesia dan bukti peninggalan kebesaran kerajaan-kerajaan di Bumi Rencong.
  • J.P. Moquette adalah numismatis terbesar di Indonesia. Koleksi-koleksinya yang kini menjadi milik Museum Nasional merupakan koleksi numismatik terbesar di Asia Tenggara. Karya-karya penelitiannya yang sangat kompleks menjadi dasar acuan numismatik kolnial hingga kini.
  • Uang bantal adalah julukan untuk uang kertas darurat (revolusi) Labuan Batu (Orlab 1947-48). Karena inflasi yang hebat, penduduk harus membawa setumpuk uang hanya untuk membeli secangkir kopi. Sayangnya sedikit sekali tersisa, sehingga menjadi sangat langka.
  • Jawa adalah uang logam perak terkecil dan teringan di dunia. Uang 1 Jawa (1/512 mohar) mempunyai berat 1/100 (0,01) gram. Kadang-kadang Jawa dibagi lagi menjadi ¼ Jawa yang beratnya 0,002 gram dan berukuran sekitar 2 mm.
  • Di Jawa Tengah uang kertas pendudukan Jepang pernah dipakai sebagai prangko pada masa revolusi.
  • Semua jenis uang bisa bercerita tentang berbagai masalah.
  • Uang tembaga gobog wayang menampilkan episode-episode yang menarik.
  • Uang kertas darurat tulisan tangan sudah lazim dipakai pada zaman pendudukan Belanda.
  • Banyak jenis uang lokal Indonesia terkubur ditelan zaman.
  • Kuantitas dan frekuensi penyebaran uang asing di Indonesia tidak merata pada masa lampau.
  • Uang emas derham Aceh dikabarkan mengungkapkan kemurahan hati raja-raja dan ratu-ratu (sultan-sultan dan sutanah-sultanah) Aceh kepada rakyatnya.
  • Uang kebun merupakan hasil dari zaman kuli kontrak abad XIX.
  • Saham-saham darurat di Sumatera mirip uang kertas.
  • Medali-medali pejuang kemerdekaan pernah dibuat dari pecahan peluru.
  • Ketidaksabaran bisa membuahkan hasil produksi uang sendiri pada masa revolusi.

(Sumber: Berita PPKMU, Agustus 1992 dan Desember 1995)

♦ Kontak Saya ♦

Nama Anda :
Email Anda :
Subjek :
Pesan :
Masukkan kode ini :

.

Photobucket

.

Pyzam Glitter Text Maker