Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, daerah ini berada di bawah kekuasaan Kerajaan Salakanagara, Tarumanagara, Sunda, dan Pajajaran sebagai suatu Kadipaten (Propinsi). Ketika agama Islam berkembang dengan pesat dan meluasnya supremasi Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, daerah Banten lambat laun menjadi daerah protektorat Cirebon.
Sultan Banten pertama Maulana Hasanuddin (P. Sebakingkin), putra Sunan Gunung Jati, merupakan cikal bakal Sultan-sultan Banten (1552-1823). Seperti halnya daerah-daerah lain, mata uang Cina merupakan satu-satunya alat pembayaran yang digunakan dalam perdagangan dan kehidupan sehari-hari.
Orang-orang Eropa yang pertama kali mengunjungi pulau Jawa pada akhir abad XVI, menemukan adanya pemakaian uang Cina (cash) ini baik yang berasal dari Cina sendiri maupun tiruan timah setempat. Mereka juga menyebutkan kehadiran pemalsu uang bangsa Cina yang membuatnya di Banten.
Menurut Linschoten, yang singgah di pelabuhan Banten pada 1590, jenis uang yang digunakan hanyalah apa yang disebut “caixa” (kasha), di antaranya 200 caixas = 1 sata dan 1000 caixas = 1 crusaat Portugis atau 3 Carolus Gulden Belanda. Menurut Houtman, 116 caixas = 1 real. Sangat disayangkan mata uang tersebut tidak pernah ditemukan lagi.
Adapun mata uang Banten (picis) yang berdasarkan atas prototipe uang Cina (cash) terdiri atas dua tipe:
Pertama, bertuliskan huruf Jawa “Pangeran Ratu”, diperkirakan merupakan jenis uang tertua yang diketahui orang sejauh ini. Jika dilihat dari jenis aksara yang digunakan, jelas menunjukkan pengaruh kebudayaan Jawa yang masih kuat. Kemungkinan uang ini berasal dari masa sebelum abad XIV atau pada masa awal berdirinya Kesultanan Banten. Tidaklah dapat dipastikan penguasa (raja) mana yang mengeluarkannya karena gelar tersebut di atas digunakan oleh seorang putra raja atau seorang pangeran dari keluarga kerajaan.
Raffles memperkirakan uang tersebut dibuat tahun 1569 yang merupakan tahun menjelang wafatnya Sultan Hasanuddin. Jenis uang ini berukuran besar, sedang, dan kecil dengan lubang segi enam dan terbuat dari bahan tembaga. Mata uang dengan ukuran yang lebih kecil mempunyai bentuk dan corak yang sama seperti di atas tetapi pada sisi belakang terdapat suatu tulisan atau semacam tanda cetak.
Jenis kedua bertuliskan angka Jawa (40) sebanyak enam kali dan berlubang segi lima. Pada masing-masing sudut ada yang tumpul dan runcing ke dalam, terbuat dari bahan yang sama. Belum diketahui apakah angka 40 ada hubungannya dengan peringatan sesuatu peristiwa (candrasangkala) atau tahun pemerintahan dari seorang penguasa.
Kedua, bertuliskan huruf Arab Melayu yang terdiri atas beberapa macam. Yang bertuliskan “Pangeran Ratu Ing Banten” (P. Ratu dari Banten) dikeluarkan oleh S. Abdul Mufakhir Muhammad, terbuat dari bahan tembaga dan ada pula timah, dengan bentuk, ukuran, dan lubang seperti yang disebutkan terdahulu.
S. Abu’l Ma’ali Ahmad Rahmatullah (1650—1) pernah mengeluarkan picis timah dan tembaga yang bertuliskan “as-Sultan Abu’l Ma’ali”. Diikuti oleh S. Abu’l Fatah Muh. Syifa’ Zainul Arifin yang bertuliskan “Picis Banten Sanat 1147, 1149, atau 1146” atau 1733 M dan 1753 M. Selanjutnya S. Abu’l Nasar Muh. ‘Arif Zainul Asyikin merupakan Sultan Banten terakhir yang mengeluarkan uang picis bertuliskan “Alamat Picis Banten Sanat 1181” (1767). Kedua sultan terakhir ini juga mengeluarkan picis dari bahan timah.
Kekuasaan asing di Banten bermula dengan dibukanya kantor dagang Kompeni Inggris pada 1602-1678, disusul kemudian oleh Kompeni Belanda tahun 1659. Setelah pemerintahan Banten berhasil menanamkan kekuasaannya, maka terbentuklah Kabupaten Serang (1816), Kabupaten Lebak (1813), Kabupaten Pandeglang (1848), dan Kabupaten Rangkasbitung (?). Pada 1832 Kesultanan Banten dihapus secara definitif oleh Pemerintah Hindia Belanda dan berada di bawah pemerintahan Keresidenan Banten.
(Sumber: Alim A. Sumana, Berita PPKMU 1985)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar