Jumat, 06 Februari 2009

Koleksi Mata Uang sebagai Alat Investasi


Sebagaimana halnya dengan koleksi-koleksi lain seperti prangko, lukisan, keramik, buku kuno, dan barang antik lainnya, koleksi mata uang mempunyai nilai kepuasan tersendiri bagi pemiliknya. Selain itu koleksi mata uang juga dapat dijadikan sebagai alat penyimpan kekayaan atau investasi. Tidak dimungkiri, nilai jual suatu koleksi semakin lama semakin tinggi, khususnya untuk koleksi yang langka. Ini dapat dipahami karena barang-barang tersebut tidak mungkin diproduksi ulang. Bahkan yang masih tersisa pun akan semakin berkurang jumlahnya karena rusak dimakan usia, sobek, terbakar, dan sebagainya. Di pihak lain, para peminat koleksi-koleksi mata uang dari waktu ke waktu semakin bertambah.

Tentunya sebagai kolektor kita perlu melestarikan koleksi-koleksi itu dengan baik. Prinsipnya kita harus mampu melaksanakan pemeliharaan dan penyimpanan yang baik agar koleksi-koleksi tersebut dapat diwariskan dalam kondisi yang baik kepada anak cucu kita.

Memang suatu dilema akan terjadi kalau ahli waris dari si pemilik koleksi tidak mengerti akan arti dan nilai barang-barang tersebut. Bahkan mungkin saja tidak menyukainya. Nah di sinilah perlunya dibuat catatan oleh si pemilik atau penggemar koleksi tersebut mengenai kondisi, tahun, kalau mungkin riwayatnya dan tentu perkiraan harganya. Manfaatnya adalah apabila ahli warisnya bermaksud menjual koleksi tersebut, tidak dijual dengan harga terlalu murah ataupun terlalu mahal. Yang penting sesuai dengan standar harga pasaran.

Dari pengamatan penulis mengikuti perkembangan harga mata uang kuno yang langka, khususnya uang-uang yang pernah beredar di Indonesia, dalam waktu sepuluh terakhir ini baik pada arisan (lelangan) PPKMU ataupun pasaran dengan standar harga di Jakarta, terdapat kecenderungan harga yang semakin meningkat drastis. Misalnya uang kertas Seri J.P. Coen 200 G pada 1984 berharga Rp 75.000. Namun pada 1994 melonjak menjadi Rp 300.000. Kemudian uang kertas Seri Wayang 200 G dari Rp 250.000 (1984) menjadi Rp 800.000 (1994).

Begitu pula dengan uang-uang darurat (uang daerah) pada masa revolusi, seperti Asahan, Labuan Batu, Labuan Bilik, Karo, Pagar Alam, Bojonegoro, Kediri, Magelang, dan sebagainya, kini nilainya sudah tidak ada patokan lagi. Uang-uang tersebut sudah sangat langka.

Sekarang kita bandingkan dengan nilai dollar AS dan harga emas selama kurun waktu sepuluh tahun. Pada 1984 kurs satu dollar AS dan harga satu gram emas 24 karat adalah Rp 1.030 dan Rp 11.550. Pada 1994 meningkat menjadi Rp 2.150 dan Rp 27.000.

Di sini kelihatan bahwa dalam periode yang sama kenaikan nilai dollar kira-kira dua kali lipat dan emas sekitar 2,3 kali lipat, sementara mata uang kuno berkisar tiga sampai sepuluh kali lipat. Kenyataan tersebut tentu merupakan cambuk bagi kolektor mata uang untuk terus meningkatkan kaulitas dan kuantitas koleksi. Demikian juga terus meningkatkan pengetahuan di bidang numismatik.

(Sumber: Kornel Karwenda, Berita PPKMU, Oktober 1994)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

♦ Kontak Saya ♦

Nama Anda :
Email Anda :
Subjek :
Pesan :
Masukkan kode ini :

.

Photobucket

.

Pyzam Glitter Text Maker