Pada masa awal revolusi fisik, masalah keuangan merupakan hal yang memerlukan penyelesaian segera. Pemerintah RI dan Yogyakarta memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit, selain masalah jumlah peredaran uang yang beredar (inflasi). Menjelang pendirian BNI 46 yang berfungsi sebagai bank sentral, pemerintah melalui “Poesat Bank Indonesia” dan “Bank Ra’jat” mengeluarkan Pindjaman Nasional Negara Repoeblik Indonesia 1946 sebesar satu milyar uang Jepang dengan bunga 4%. Masing-masing Rp 500 juta untuk Jawa dan Rp 500 juta untuk Sumatera.
Penetapannya berdasarkan UU No. 4 tanggal 26 April 1946 dan perbaikannya UU No. 9 tanggal 5 Agustus 1946. Masa pembayaran kembali akan dilaksanakan paling lambat 40 tahun setelah pendaftaran tanggal 1 Juli 1947. Ketika uang baru (ORI) diterbitkan, semua pinjaman harus dikonversikan pada nilai tukar resmi. Namun kenyataannya pembayaran kembali pokok pinjaman tidak terlaksana disebabkan adanya agresi militer Belanda I-II (1947-1948) serta adanya berbagai kesulitan pemerintah di berbagai bidang.
Pinjaman tersebut menghasilkan sekitar f. 318 juta di Jawa dan f. 208 juta di Sumatera. Pengeluaran pinjaman ini tidak maksimal karena kendala perhubungan dan situasi politik yang tidak mendukung. Melalui kedua badan pemerintah di atas, dapat disalurkan kredit untuk bidang pertanian dan industri. Anehnya Pindjaman Nasional NRI 1946 bertanggal 1 Mei 1946, yang terdiri atas pecahan Rp 100 dan Rp 500, ditandatangani oleh Menteri Keuangan Ir. RMP Soerachman T, padahal dia anggota kabinet, sementara kabinet Sjahrir II baru terbentuk tanggal 29 Juni 1946.
Selain jenis obligasi keluaran pemerintah pusat, beberapa daerah di Jawa dan Sumatera mengeluarkan hal serupa untuk biaya perjuangan dan untuk memperlancar jalannya roda pemerintahan. Yang paling awal adalah terbitan pemerintah propinsi Sumatera, Medan 1 Januari 1946 seharga Rp 100.
(Sumber: Alim A. Sumana, Buletin ANI, September 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar