Oleh: DJULIANTO SUSANTIO
Teknologi pencetakan dan penerbitan uang di sejumlah negara sudah semakin berkembang. Kertas yang berkualitas baik ditambah komponen-komponen pelindungnya mulai diperhatikan. Tentu hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi segala bentuk pemalsuan uang yang kerap terjadi di seluruh dunia.
Di samping perlindungan, berbagai kemudahan juga mulai diterapkan otoritas keuangan di sejumlah negara. Mereka bukan saja mengeluarkan jenis dan bentuk uang untuk manusia normal, tetapi juga untuk orang-orang yang memiliki kekurangan, seperti tuna aksara dan tuna netra.
Memang, sering kali kaum tuna aksara sulit membedakan nilai pecahan sebuah uang. Biasanya mereka menggunakan instink. Dengan begitu banyak kaum tuna aksara mampu membedakan nilai uang. Kuncinya hanya berdasarkan warna atau ukuran uang.
Di banyak negara bentuk dan nilai uang kertas tidak menjadi masalah besar karena mampu dikenali lewat warna dan ukuran. Yang agak sulit adalah membedakan nilai uang logam (koin) karena warna logam relatif sama. Apalagi ukuran koin antara nilai yang satu dengan nilai lainnya tidak begitu berbeda.
Sejak beberapa tahun lalu sejumlah negara yang tingkat tuna aksaranya begitu tinggi, mengeluarkan terobosan baru. Pemerintah setempat mengedarkan sejumlah koin yang memiliki tonjolan berbeda-beda di setiap sisinya. Koin jenis ini sangat membantu kaum tuna aksara dan juga tentunya kaum tuna netra.
Bagaimana di Indonesia yang tingkat tuna aksara dan tuna netranya masih tinggi? Disayangkan, belum ada perhatian pemerintah terhadap hal yang kelihatannya kurang begitu penting ini. Boleh dikatakan hampir tidak ada perbedaan di antara nominal-nominal yang dikeluarkan, baik untuk uang kertas maupun koin.
Untuk itu sudah waktunya dikeluarkan koin yang berbeda bentuknya. Otoritas berwenang harus melakukan inovatif. Misalnya koin Rp 50 dibuat tanpa tonjolan, koin Rp 100 satu tonjolan, koin Rp 200 dua tonjolan, dsb. Bisa juga dibuat dalam bentuk perbedaan yang lain, misalnya koin Rp 50 bundar, koin Rp 100 segitiga, koin Rp 200 segiempat, dsb. Agar tidak membuang banyak biaya, maka koin inovatif ini diberlakukan pula untuk masyarakat umum yang tidak tuna aksara atau tuna netra.
Uang Braille
Yang relatif mahal pembuatannya adalah uang kertas khusus untuk kaum tuna netra. Kalau dalam buku-buku atau cetakan digunakan huruf Braille, tentu saja uang kertas ini pun harus dilengkapi huruf Braille. Yang paling utama adalah pada angka dan bilangannya. Bagian-bagian lain seperti tahun emisi, nama penandatangan, nama percetakan, nama tokoh yang tertera, dan nomor seri cukup dicetak secara biasa saja. Angka dan bilangan sudah cukup membantu para tuna netra untuk meraba-raba atau mengenali uang tersebut.
Meskipun ada unsur-unsur yang dikhususkan untuk kaum tuna netra, namun peredaran uang kertas jenis ini bisa ditujukan untuk seluruh kalangan masyarakat karena perbedaannya hanya sedikit. Dengan uang yang dilengkapi huruf Braille, para tuna netra tidak akan kesulitan lagi dalam menggunakan uang kertas seperti sekarang ini. Ini mengingat kaum tuna netra pun sering bertransaksi dengan masyarakat normal, antara lain menerima upah pijat atau jasa lain dan membeli kebutuhan rumah tangga atau makanan.
Uang berbentuk khusus dan uang Braille merupakan kebutuhan mendesak yang perlu dipikirkan masak-masak. Setidaknya uang jenis ini yang menggunakan teknologi canggih akan mampu mengurangi segala jenis pemalsuan.
Jika ini terlaksana tentu amat menguntungkan dunia numismatik internasional dan Indonesia sendiri. Masalahnya, uang jenis ini masih merupakan barang langka di dunia. Bukan tidak mungkin malah bisa menjadi sarana promosi pariwisata Indonesia.***
(Suara Pembaruan Minggu, 21 Desember 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar