Oleh: Djulianto Susantio
(Numismatis, di Jakarta)
Banyak orang sering kali salah persepsi terhadap uang-uang yang sudah tidak beredar lagi di masyarakat. Mereka memandangnya sebagai uang kuno atau barang antik, sehingga bila dijual akan berharga mahal.
Hal ini terlihat dari banyaknya iklan baris di berbagai media cetak Indonesia. “Dijual uang kuno Indonesia, 5 lembar uang pendudukan Jepang, 4 lembar uang pendudukan Belanda, dan 10 lembar (1959 dan 1964). Kondisi bagus. Harga permintaan Rp 200 juta. Bisa nego. Hubungi HP nomor....,” begitu kata sebuah iklan baris.
“Dijual BU, 7 lembar uang Rp 100 dalam berbagai seri. Kondisi bagus. Harga dijamin murah, hanya Rp 100 juta. Siapa cepat, dia dapat. Hubungi HP nomor....,” kata iklan lainnya.
Yang sangat fantastis berbunyi demikian, “Dilelang dengan penawaran pertama Rp 500 juta sejumlah koin Hindia Belanda/VOC. Ada 30 buah. Hubungi.... secepatnya”. Demikianlah beberapa petikan dari ratusan iklan yang terpasang.
Tak dimungkiri, pendapat demikian bukannya tanpa alasan. Tumbuh dan berkembangnya komunitas kolektor, menyebabkan timbulnya segala bentuk permintaan dan penawaran akan benda-benda koleksi.
“Booming” iklan-iklan penjualan uang lama seperti itu muncul tak lama setelah terjadinya krisis moneter di Indonesia pada 1998. Pada awalnya, karena mengalami kesulitan ekonomi, orang hanya iseng-iseng memasang iklan. Ternyata, semakin lama iklan-iklan demikian justru diikuti oleh anggota masyarakat lainnya. Padahal, dari kacamata numismatis, harga-harga yang mereka tawarkan “berada di luar jangkauan akal sehat”.
Sesungguhnya, setiap koleksi mata uang belum tentu berharga mahal. Mahal murahnya suatu koleksi sangat tergantung dari sejumlah hal, seperti keunikan, kelengkapan, kelangkaan, dan tingkat kondisi (grade).
Katalogus
Minimnya pengetahuan masyarakat awam akan numismatik, tak pelak menyebabkan salah persepsi demikian terus terjadi sampai kini. Diimbuhi embel-embel “kuno” atau “antik” dan didorong kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, tentulah mereka mengharapkan “harta karun” yang mereka miliki bisa dijual dengan harga tinggi.
Padahal, setiap benda koleksi sudah memiliki standar harga yang tertera dalam katalog(us). Katalog berfungsi untuk meredam harga pasaran. Dengan demikian harga sebuah koleksi tidak “dipermainkan” oleh penjual, pembeli atau perantara. Biasanya katalog diterbitkan tiap tahun, karena harga pasaran memang terus berkembang sesuai hukum ekonomi, yakni permintaan dan penawaran.
Sayangnya, di negara kita peminat koleksi numismatik belum begitu banyak. Itu pun kebanyakan meminati uang kertas, sehingga katalog yang diterbitkan baru mencakup uang kertas. Pertama kali diterbitkan oleh numismatis Surabaya buku Katalog Uang Kertas Nusantara (1995). Berikutnya numismatis Jakarta mengeluarkan buku yang lebih lengkap, Katalog Uang Kertas Indonesia (1996).
Kedua katalog tersebut memuat berbagai informasi kenumismatikan secara lengkap seperti nama seri, tahun terbit, nilai nominal, ukuran, nama penanda tangan, nama percetakan, tahun pencetakan, jenis benang pengaman, gambar muka, gambar belakang, dan harga pasaran sebuah koleksi dalam berbagai grade.
Beragam harga akan terlihat dari katalog-katalog tersebut. Ada sebuah koleksi yang hanya berharga ribuan rupiah, ada pula puluhan ribu hingga ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah.
Sampai sejauh ini koleksi numismatik termahal yang berasal dari masa pascakemerdekaan adalah uang kertas nominal Rp 10 dan Rp 25 emisi 1957 (Seri Hewan). Koleksi ini berharga tinggi karena tergolong unik dan langka. Dengan alasan politis, pemerintah pernah menarik kedua emisi tersebut, meskipun baru beredar beberapa hari. Karena sulit dicari, saat ini harga jualnya antara beberapa juta hingga belasan juta sebuah, tergantung nomor seri dan grade-nya.
Meskipun bisa dikategorikan uang kuno atau uang lama, sering kali juga harga jual sebuah koleksi akan jatuh. Hal ini pernah dialami uang kepeng China, yakni uang logam yang berlubang di bagian tengahnya. Karena begitu banyak beredar di Indonesia dan diasosiasikan dengan orang mati, maka uang kepeng kurang begitu diminati. Di Bali uang-uang kepeng sering dijadikan benda seni, dengan cara mengaitkan lubang-lubangnya dengan tali.
Sebaliknya, uang yang berusia relatif muda belum tentu berharga murah. Malah ada yang jauh lebih mahal daripada uang VOC. Contohnya uang kertas Rp 100 bergambar perahu phinisi emisi 1992. Karena memiliki nomor seri unik, yakni 000001 atau 100000, koleksi ini pernah terjual seharga Rp 10.000 sebuah dalam acara arisan anggota numismatis beberapa tahun lalu. Ini berarti 100 kali lipat dari harga nominalnya, padahal uang-uang tersebut masih berlaku di masyarakat sebagai alat pembayaran. Sekadar gambaran, waktu itu harga sekeping uang lama VOC tertentu tidak lebih dari Rp 5.000.
Selain keunikan (misalnya nomor seri awal), kelengkapan (misalnya terdiri atas satu seri), dan kelangkaan (misalnya hanya sempat beredar beberapa hari lalu ditarik), ukuran penting untuk menetapkan harga adalah mengetahui tingkat kondisi suatu koleksi.
Kalau dunia filateli mengenal istilah mint (prangko yang masih baru) dan used (prangko yang sudah dipakai), maka dunia numismatik mengenai istilah grade, yakni keadaan fisik suatu koleksi. Semakin baik keadaan fisiknya, maka harga jualnya semakin tinggi. Sebaliknya, semakin jelek keadaan fisiknya, maka harga jualnya semakin rendah.
Pemakaian istilah grade sudah merupakan standar umum di kalangan numismatis Indonesia dan internasional untuk mengetahui kualitas suatu koleksi. Keadaan fisik yang paling banyak diperhatikan adalah kebersihan (kotor, mulus) dan kondisi (sobek, cacad, terlipat, berkarat).
Istilah grade yang dikenal luas antara lain Uncirculated (Unc), Very Fine (VF), Fine (F), Good (G), dan Poor (P). Dengan catatan, grade untuk uang kertas berbeda dengan grade untuk uang logam. Unc adalah kondisi terbaik, yakni uang yang baru keluar dari bank. Sedangkan P adalah kondisi terburuk, dalam hal ini uang sudah lusuh, banyak berkarat, dsb. Namun, biarpun dalam kondisi P, suatu koleksi tetap memiliki harga jual bila benar-benar unik dan langka.
Numismatis Indonesia umumnya menggunakan istilah prima (bagus sekali), bagus, dan lumayan untuk koleksi yang masih relatif mudah ditemui di pasaran. Sedangkan untuk koleksi yang sudah relatif sulit dijumpai biasanya urutan kondisinya adalah bagus, lumayan, dan jelek.
Sebenarnya, dalam transaksi secara langsung atau tatap muka, pengenalan grade tidak begitu mutlak. Ini karena si penjual dan si pembeli bisa mengetahui langsung keadaan fisik mata uang tersebut. Pengenalan grade baru diperlukan jika transaksi dilakukan secara jarak jauh atau tertulis, seperti halnya yang terpasang dalam iklan-iklan media cetak.
Penyebutan grade amat membantu si pembeli untuk melakukan penawaran atau langsung bertransaksi. Tentunya sesuai harga pasaran saat itu.
Mengetahui grade dan memperbandingkannya dengan buku katalogus, merupakan langkah bijak seseorang yang ingin bertransaksi mata uang. Jangan lagi memasang iklan dengan membuka harga selangit. Tindakan demikian justru akan merusakkan dunia numismatik Indonesia.***
Blog yang mantap gan.numpang promo koleksi ya gan.Mungkin ada yg minat koleksi uang dengan seri pengganti x
BalasHapusSya ada beberapa.adapun koleksi sya
100.000=XDV707318,XBD948741,XFC028775,XFS040849
50.000=XZQ357888,XZR235657
20.000=XJV835462
5.000=XCD643398,XJB676828,XNW602485,XRA406235
2.000=XIH574055,XJQ541877,XKE017888.kalau agan berminat silahkan sms di no.sya 085 815 553 582.imam wahyudi-blitar jatim.trims
Blog yang mantap gan.numpang promo koleksi ya gan.Mungkin ada yg minat koleksi uang dengan seri pengganti x
BalasHapusSya ada beberapa.adapun koleksi sya
100.000=XDV707318,XBD948741,XFC028775,XFS040849
50.000=XZQ357888,XZR235657
20.000=XJV835462
5.000=XCD643398,XJB676828,XNW602485,XRA406235
2.000=XIH574055,XJQ541877,XKE017888.kalau agan berminat silahkan sms di no.sya 085 815 553 582.imam wahyudi-blitar jatim.trims
saya baru nemu coin kuno dari kebun sebanyak 1 timba. bulat berlubang tengah. ada tilisan kayaknya cina di 4 sisinya. yang berminat hub. 085856363474
BalasHapusSaya ada 1 lembar 100 rupiah minat hub 089634563334
BalasHapus