Senin, 01 Desember 2008

Jangan Buang Uang Lama Anda


Oleh: Djulianto Susantio

(Numismatis, di Jakarta)

Barang-barang lama sering kali dipandang sebagai rongsokan yang tidak berguna lagi. Tidak heran kalau benda-benda itu hampir selalu dicampakkan atau dibuang ke tempat sampah oleh pemiliknya. Tapi yang satu ini mempunyai nilai lebih dibandingkan barang-barang bekas lain. Uang lama, meskipun tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah, umumnya berharga tinggi di pasaran, bahkan melebihi nilai nominalnya.

Bila kebetulan, bukan tidak mungkin pemilik uang lama akan “kejatuhan bulan” karena koleksinya dihargai tinggi. Terutama oleh mereka yang akan menggunakannya sebagai mas kawin. Bayangkan saja, bagaimana mungkin seseorang akan memberikan mas kawin sebesar Rp 2008, taruhlah untuk tahun 2008 ini. Satu-satunya jalan adalah mencari uang lama nominal Rp 5 dan Rp 1 sebanyak tiga lembar sebagai penambah “modal” Rp 2000 yang masih banyak terdapat di pasaran. Meskipun mahal, harganya tidak sampai juta-jutaan.

Sebuah koleksi akan bertambah mahal kalau tergolong unik dan langka. Lebih-lebih dijual lewat balai lelang ternama Cristie’s, Sotheby, atau melalui situs lelang online ebay. Meskipun belum sekaliber koleksi dari mancanegara yang mencapai milyaran rupiah, harga belasan juta rupiah pun sudah termasuk tinggi.

Di kalangan orang awam, uang lama sering diidentikkan dengan uang kuno. Tak pelak karena istilah “kuno” atau “antik” dipandang lebih bergengsi daripada istilah “lama” atau “tua”. Namun sampai kini istilah kuno, antik, tua, lama, bekas, dsb masih rancu. Belum ada keseragaman pendapat soal yang satu ini di antara para numismatis (kolektor uang) Indonesia. Satu-satunya acuan istilah “kuno” hanyalah Undang-undang Benda Cagar Budaya Nasional 1992. Dikatakan, suatu benda yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau memiliki langgam sekurang-kurangnya 50 tahun, layak dianggap sebagai benda kuno.

Uang merupakan salah satu objek paling populer dari koleksi numismatik. Di antara berbagai koleksi numismatik, uang dianggap berharga karena mempunyai sejumlah elemen khusus, seperti fungsi, gambar, bentuk, nilai, tahun pengeluaran, tanda tangan, nama percetakan, dsb.

Koleksi uang sendiri terbagi atas dua jenis, yakni uang kertas dan uang logam (koin). Setiap jenis koleksi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Uang kertas, misalnya, bergambar dan berwarna-warni sehingga mengundang pesona orang yang melihatnya. Namun ukurannya yang besar menjadikan tempat penyimpanan (album) yang dibutuhkan juga relatif banyak.

Sebaliknya, uang logam rata-rata berukuran kecil sehingga hanya memerlukan tempat penyimpanan yang minim. Uang logam pun mudah dibawa-bawa, cukup dimasukkan ke dalam saku, misalnya. Hanya bila berjumlah banyak, beratnya bisa-bisa melebihi koleksi uang kertas. Ditambah warnanya yang monoton (warna tunggal), biasanya koleksi uang logam kurang diminati para numismatis.

Namun demikian, banyak numismatis juga mengoleksi uang kertas dan uang logam secara bersamaan. Sebagian lagi bahkan mengkhususkan pada uang logam karena sejarahnya jauh lebih panjang daripada uang kertas. Perlu diketahui, istilah numismatik berasal dari bahasa Yunani numisma yang berarti “uang logam”. Di pihak lain, uang logam lebih tahan lama dibandingkan uang kertas.


Beragam

Sesungguhnya, koleksi numismatik amat beragam. Hingga sejauh ini koleksi numismatik bisa diklasifikasikan secara lengkap menjadi sepuluh jenis. Selain berdasarkan bentuk dan fungsi, pemilahan koleksi juga atas pertimbangan bahan dan masa suatu objek.

Mata uang yang pertama-tama dikenal atau paling tua berasal dari masa prasejarah, yaitu masa beribu-ribu tahun yang lampau ketika orang belum mengenal sumber tertulis. Mata uang demikian dikenal sebagai uang primitif.

Pada masa itu uang primitif terbuat dari bahan yang mudah dijumpai di sekitar tempat kehidupan penduduk dan dipilih dari benda-benda yang keras sekaligus dapat bertahan lama, antara lain kulit kerang, batu, kaca, manik-manik, tulang hewan, biji-bijian, kacang-kacangan, dan logam.

Selain uang primitif, alat tukar yang relatif tua adalah uang logam reguler dari masa kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia sejak abad ke-5 Masehi, seperti Mataram, Sriwijaya, Majapahit, Samudra Pasai, dan Banten. Di berbagai situs arkeologi, uang-uang kuno berbahan dasar timah, tembaga, perunggu, perak, dan emas banyak ditemukan. Koleksi koin dari masa penjajahan dan kemerdekaan, juga termasuk ke dalam kategori uang logam reguler.

Jenis ketiga adalah eksonumia (exonumia), yaitu uang tidak resmi yang bisa dipakai bertransaksi di tempat-tempat tertentu. Contohnya, token atau uang perkebunan yang hanya berlaku di lingkungan perkebunan milik seorang pengusaha. Pada zaman penjajahan Belanda, token dikenal pada sejumlah onderneming di Jawa dan Sumatra.

Salah satu bentuk eksonumia yang dianggap unik adalah uang khusus yang hanya berlaku di penjara, koin untuk berjudi di kasino, koin untuk bermain game di tempat hiburan, medali, dan koin komemoratif (commemorative coin). Koin komemoratif adalah koin yang dikeluarkan suatu lembaga atau badan untuk memperingati seorang tokoh atau peristiwa tertentu. Umumnya koin komemoratif berbahan perak dan emas sehingga harga jualnya relatif tinggi. Eksonumia sudah dikenal sejak abad ke-18.

Jenis keempat adalah heraldik, yaitu tanda-tanda pangkat atau tanda kebesaran berupa lencana atau badge dan lambang. Heraldik tertua diperkirakan berasal dari abad ke-17.
Jenis kelima adalah sigilografi, yakni cap atau meterai dari masa kerajaan-kerajaan kuno mulai abad ke-5 Masehi. Cap atau meterai kerajaan umumnya terbuat dari tanah liat.

Jenis keenam adalah uang asing yang pernah beredar di Indonesia. Sejak abad ke-16 saat Belanda menginjakkan kaki di sini, kegiatan perdagangan di Indonesia didominasi para pedagang China, Portugis, Belanda, Inggris, Spanyol, dan lain-lain. Masing-masing membawa uang logam sebagai alat tukar dalam perdagangan itu. Temuan-temuan uang asing, meskipun banyak yang sudah berkarat, banyak terdapat di berbagai situs arkeologi, terutama di pesisir pantai.

Jenis ketujuh adalah notafili atau uang kertas, termasuk surat berharga dengan berbagai istilahnya, seperti surat hutang, surat gadai, surat kredit, tanda penerimaan, mandat, kupon penukaran, dan bon. Berbagai notafili banyak dikeluarkan oleh sejumlah daerah dan kabupaten di Indonesia pada masa revolusi fisik 1947-1949.
Jenis kedelapan, skripofili, yaitu berbagai jenis pembayaran tidak resmi yang berkaitan dengan fungsi dan fisik prototipe uang kertas, termasuk kartu kredit, kartu ATM, kartu telepon, saham, obligasi, dan lotere. Diperkirakan obligasi tertua berasal dari tahun 1748, diedarkan oleh VOC.

Jenis kesembilan, cekofili (checkophile), yaitu cek, surat akseptasi, dan sejenisnya. Kemungkinan besar cek mulai dikenal pada masa penjajahan Belanda dengan nama bilyet Javasche Bank (1827).

Jenis kesepuluh, benda-benda yang berhubungan dengan mata uang tetapi tidak berfungsi sebagai pengganti mata uang. Contohnya celengan, selongsong (ikatan bundel uang kertas), mesin cetak uang, mesin hitung, dan brankas (Berita Perhimpunan Penggemar Koleksi Mata Uang, 1989).

Saat ini berbagai kartu debet, kartu prabayar, kartu pascabayar, kartu diskon, kartu anggota, dsb mulai diminati para numismatis. Ini karena semuanya berhubungan dengan keuangan.

Begitu pula poster yang berisi informasi penerbitan mata uang baru atau informasi penarikan mata uang lama. Banyak numismatis mengoleksi benda ini. Biasanya mereka meminta dari bank atau mengkliping dari surat kabar dan majalah.

Jenis mana yang akan kita koleksi, tentu tergantung tingkat kemudahan dan kesulitannya. Juga harus memperhitungkan kemampuan keuangan kita. Berkoleksi sesuatu, diyakini tak ada ruginya. Apalagi berbagai koleksi itu, di samping mengandung nilai psikologi, nilai edukasi, dan nilai seni, juga mengandung nilai ekonomi (investasi). Yang penting, mulai sekarang jangan buang uang lama Anda. Perlakukan dia sebijak mungkin.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

♦ Kontak Saya ♦

Nama Anda :
Email Anda :
Subjek :
Pesan :
Masukkan kode ini :

.

Photobucket

.

Pyzam Glitter Text Maker