Selasa, 24 Februari 2009

Mata Uang Jambi


Pada mulanya Jambi berada di bawah kekuasaan kerajaan Kantoli, Malayu I (Malayu Awal), Sriwijaya, Malayu II (Dharmasraya), dan bajak laut Cina. Kerajaan Jambi sendiri didirikan oleh Tun Telanai dari India Muka, sebagai cikal bakal raja-raja Jambi pada awal abad XV. Meskipun agama Islam sudah berkembang di sana pada abad XV-XVI, raja-raja Jambi masih memakai gelar Panembahan seperti halnya Mataram sebagai kerajaan yang Dipertuan. Barulah gelar Sultan pertama dipakai oleh P. Seda yang terkenal dengan nama S. Abdul Kahar Agung Sri Ingologo (1615-1643).

Tidak diketahui dengan pasti mata uang mana yang mula-mula dipakai sebagai alat tukar. Yang jelas mata uang Cina (cash, caxam kassha, dsb) merupakan satu-satunya alat tukar yang digunakan secara luas dalam hubungan perdagangan dan juga kehidupan sehari-hari di samping alat tukar tradisional (in natura) di seluruh Timur Jauh selama berabad-abad. Kemungkinan besar uang emas (deureuham) dan uang timah (keueh) Aceh juga sudah digunakan di daerah Jambi karena Aceh pernah berusaha meluaskan politik ekspansinya ke arah selatan dengan menaklukkan Kerajaan Jambi kira-kira tahun 1624.

Sekitar abad XVII dapatlah diketahui bahwa Kesultanan Jambi telah membuat mata uang sendiri. Menurut Valentijn (1691) nilai tukar yang berlaku pada waktu itu adalah 1 Real Spanyol = 60 cash dan 1 tael = 16 mas. Mata uang Kesultanan Jambi terdiri atas tiga tipe, yaitu:

Pertama, bertuliskan huruf Jawa “Cap Sultan Jambi”. Menilik dari jenis aksara yang dipakai jelas menunjukkan pengaruh Jawa di pantai timur Sumatra hingga akhir abad XVII.

Mata uang picis ini terbuat dari bahan timah dan berbentuk bundar dengan lubang yang bundar pula, seperti halnya mata uang Kesultanan Siak Sri Indrapura. Kemungkinan mata uang picis ini dibuat pada masa pemerintahan S. Sri Ingologo (Abdul Muhji) pada 1665-1690 (?).

Kedua, bertuliskan huruf Arab Melayu “Alamat Sultan”, bentuknya masih seperti di atas. Ada pula yang dibatasi dengan bidang segi enam.

Mata uang lainnya yang bertuliskan “S. Anom Sri Ingologo” mempunyai bentuk dan corak yang sama tetapi dengan lubang segi enam. Seri selanjutnya berbentuk segi delapan, tulisannya sukar dibaca. Mata uang ini dibuat pada masa pemerintahan S. Ahmad Zainuddin Anom Sri Ingologo (1770-1790). Nilai tukar pada waktu itu 1 Real Spanyol = 400 picis. Setelah itu picis Jambi tidak dibuat lagi tetapi digantikan oleh mata uang VOC.

Ketiga, berupa tiruan dari uang VOC (duit) yang dibuat W. Friesland dengan bagian belakang berupa lambang VOC tetapi bertarikh “18PP” di bawahnya.

Pada 1858 S. Thaha Syaifuddin P. Jayadiningrat memberontak melawan Belanda sehingga dia digantikan oleh saudaranya S. Ahmad Nazaruddin sebagai raja boneka (1858-1881). Untuk memperkuat kekuasaannya, Belanda mengangkat beberapa orang wakilnya sebagai civil gezaghebber, politiek agent serta asistent resident (1823-1916). Tahun 1906 Kesultanan Jambi dihapuskan oleh Belanda dengan status Keresidenan (1906-1942), yang sebelumnya merupakan bagian dari Keresidenan Palembang (1901-1906). Pada masa pendudukan Jepang, Jambi merupakan suatu keresidenan (Djambi Sju) di bawah pengawasan pemerintahan Angkatan Darat (Rikugun) Armada XXV.

Setelah kemerdekaan Jambi merupakan keresidenan sebagai bagian dari Provinsi Sumatra Tengah (1945-1957). Tahun 1957 Jambi menjadi provinsi dari NKRI.

(Sumber: Berita PPKMU)


Kolektor Uang Revolusi dari Denmark


Barangkali salah satu koleksi uang revolusi Indonesia yang cukup lengkap saat ini berada di Denmark. Kolektornya adalah Mr. Hansen. Di Denmark sendiri koleksi uang Indonesia masih kurang dipahami oleh sebagian besar kolektor. Tentu tidak demikian dengan Mr. Hansen itu.

Mr. Hansen termasuk seorang numismatis yang amat getol memburu uang-uang lama Indonesia, termasuk uang revolusi atau ORI daerah. Koleksinya meliputi dua album yang cukup besar. Di antara koleksinya itu ternyata uang revolusi Indonesia yang dia miliki nyaris lengkap. Malah ada beberapa yang tergolong amat langka.

Menurut penuturannya, minatnya akan uang Indonesia termotivasi oleh keindahan lukisan dan gambarnya. Tidak heran dia memiliki pengetahuan akan koleksi Indonesia yang cukup memadai. Bahkan dia paham betul akan jenis dan variasi uang revolusi Indonesia.

Hansen mengatakan, album bakunya didapat pada 1964 dalam sebuah pelelangan di Amsterdam. Waktu itu dia beli seharga 500 Gulden. Sampai saat ini dia masih tetap berusaha melengkapi dan mencari jenis-jenis yang belum ada di dalam koleksinya. Beberapa jenis langka yang ada di dalam koleksinya antara lain ORI Surakarta, Serang, Siantar, Bukittinggi, Tjurup, Tandjungkarang, Bengkulu, Asahan, Aceh, Palembang, Kualaleidong, Labuan Batu, Labuan Bilik, Tapanuli, Djambi, dan Panai. Koleksinya meliputi berbagai pecahan, termasuk pecahan terbesar dari Labuan Bilik yaitu Rp 5 juta dan 25 juta.

Konon, nanti koleksinya akan disumbangkan ke Museum Kopenhagen. Bukan tidak mungkin, museum itu akan menjadi museum uang langka Indonesia terlengkap di dunia.

(Sumber: Berita PPKMU)

Penandatangan Uang Kertas di Berbagai Negara


Para pejabat yang berhak menandatangani uang kertas di setiap negara tentu saja berbeda tergantung dari undang-undang negara yang bersangkutan. Pada kebanyakan negara, uang kertas ditandatangani oleh pejabat Bank Sentral di negara masing-masing. Menariknya, penyebutan nama jabatan juga berbeda-beda, seperti Presiden, Gubernur/Governor, Direktur, Cashier, Secretary, Chairman, Administratur, dsb.

Di samping itu ada pula negara yang pendatangan uangnya bukan pejabat Bank Sentral, misalnya menteri keuangan, kepala negara, dan sultan atau gabungan antara pejabat bank dengan penguasa.

  • Dollar AS: Treasurer of the US (Bendahara Negara) dan Secretary of the Treasury (semacam menteri keuangan)
  • Dollar Kanada: Gubernur dan Deputi Gubernur
  • Poundsterling Inggris: Chief Cashier
  • Dollar Australia: Gubernur dan Secretary to the Treasury (Menteri Keuangan)
  • Dollar Singapura: Menteri Keuangan
  • Ringgit Malaysia: Gabenor (Gubernur)
  • Peso Filipina: Presiden Filipina dan gubernur bank
  • Ringgit Brunei: Sultan yang berkuasa

Bagaimana di Indonesia? Pada awal kemerdekaan RI uang-uang ORI ditandatangani oleh Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis sampai dengan uang RI pecahan Rp 1 dan Rp 2,50 tahun 1946. Mulai 1952, uang pertama yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, ditandatangani oleh Gubernur BI dan Direktur BI. Selanjutnya uang kertas RI ditandatangani oleh Gubernur dan Direktur UPU (Urusan Pengedaran Uang). Namun pada penerbitan uang kertas emisi 1992, selain Gubernur BI, uang-uang tersebut ditandatangani oleh ketujuh Direktur BI secara berganti-gantian untuk setiap nilai pecahan yang dikeluarkan (mulai pecahan Rp 100 sampai dengan Rp 50.000).

Sedangkan pada uang-uang daerah yang diterbitkan pada masa perang kemerdekaan 1947-1949, penandatangannya adalah para pejabat lokal dari daerah bersangkutan dan sangat bervariasi, mulai dari Gubernur (Kepala Daerah), Gubernur Militer, Residen, Bupati, Pemegang Kas Kabupaten, Komisi Keuangan, Wedana, dsb. Camat pun boleh menandatangani uang. Soalnya adalah situasi saat itu dalam keadaan darurat. Jangan heran kalau Anda melihat dalam satu mata uang ada yang ditandatangi oleh empat sampai lima orang.

(Sumber: Berita PPKMU, Juni 1993)

Uang Logam Kepulauan Marshall


Nama Marshall tentu masih terasa asing di telinga kita. Namun di dunia numismatik, nama ini sudah sangat populer. Banyak uang logam dengan gambar selebriti terkenal dunia diterbitkan kepulauan ini.

Marshall merupakan negara kepulauan kecil di Samudra Pasifik, termasuk dalam teritorial AS. Pemerintah Marshall sangat gencar memopulerkan negaranya dengan menerbitkan berbagai cendera mata seperti uang logam (koin) dan prangko. Adapun para selebriti yang pernah menghiasi uang logam Kepulauan Marshall adalah:


Elvis Presley (Penyanyi)


Uang logam bergambar Elvis Presley diterbitkan dalam tiga jenis:
Nilai nominal 5 dollar, bahan kupro nikel, diameter 38,7 mm, berat 28,94 gr.
Nilai nominal 10 dollar, bahan kuningan, diameter 34, 6 mm, berat 19,73 gr.
Nilai nominal 50 dollar, bahan perak, diameter 38,7 mm, berat 31,1035 gr.
Semuanya bertanda tahun 1995, bertuliskan 1935 (tahun kelahiran) – ELVIS PRESLEY – 1977 (saat meninggal)


Marilyn Monroe (Aktris)

Marilyn Monroe (MM) mempunyai nama asli Norma Jean Mortenson, lahir pada 1926 dan meninggal pada 1962. Uang logam yang diterbitkan terdiri atas empat nominal, yaitu 5 dollar (kupro nikel), 10 dollar (kuningan), 20 dollar, dan 50 dollar (keduanya berbahan perak).


James Dean (Aktor)

Kehidupan James Dean sangat tragis karena dia meninggal pada saat berada di puncak karirnya, yakni dalam usia 24 tahun karena kecelakaan mobil. Satu set koin James Dean terdiri atas tiga nominal, yakni 5 dollar (kupro nikel), 10 dollar (kuningan), dan 50 dollar (perak).

Koin yang diterbitkan Kepulauan Marshall sangat laku sebagai cendera mata. Bandingkan dengan negara kita yang merupakan negara kepulauan, namun penerbitan koinnya sangat jarang.

(Sumber: Berita PPKMU, Oktober 1995, Desember 1995, dan Oktober 1996)

Minggu, 22 Februari 2009

Kolektor Uang Kuno: Markus Sajogo Ikut Lelang di Belanda


Oleh: Oky Dian Sulistyo


Salah satu numismatis terkenal di Surabaya adalah Markus Sajogo. Mengumpulkan uang kuno sudah dilakukan Markus Sajogo tiga puluh tahun silam. Dia memburu uang kuno mulai dari proses lelang sampai informasi teman. Pernah dia sampai berbagai negara, mulai Kanada, Amerika Serikat bahkan sampai Belanda hanya untuk memburu uang kuno. Dalam negeri?”idak jauh-jauh cukup di Jakarta saja,” katanya santai.

Markus Sajogo memburu uang-uang kuno tersebut sampai ke Belanda. Di sebuah kota bernama Bussum dia biasanya mengikuti pelelangan uang-uang kuno setiap tahunnya. Untuk mengikuti perkembangan pelelangan mata uang kuno biasanya dia dikirimkan sebuah katalog terbaru dari Belanda.

Hingga saat ini, koleksi uang kuno Markus jika dihitung sampai ribuan item. Uang-uang itu disimpan dalam puluhan album dan didepositkan di salah satu bank di Surabaya. Menurut Markus, nilai uang kuno miliknya bila dirupiahkan mencapai milyaran rupiah.

Ketika Surabaya Post menelepon untuk meminta ditunjukkan uang kuno koleksinya, Markus esoknya menunjukkan satu album berisi koeksi uang kunonya. Semuanya asli. Salah satunya uang 300 Gulden yang dikeluarkan tahun 1864.

Menurut Markus, dia harus lebih dulu mengambil koleksinya itu di salah satu bank di Surabaya agar bisa menunjukkan koleksinya kepada Surabaya Post. “Uang 300 Gulden ini belum pernah difoto media lain. Baru Anda yang saya tunjukkan koleksi saya ini,” ujar pendiri Lions Club ini saat ditemui di kediamannya, Jalan Untung Suropati 45 akhir pekan lalu.

Pria yang saat ini harus berada di kursi roda karena serangan stroke itu kemudian memberi kesempatan kepada Surabaya Post untuk memotret koleksi berharganya itu.

Sekilas tidak ada yang istimewa pada uang itu. Dari segi ukuran, uang kertas itu lebih besar dari uang kertas Indonesia. Ukuran tepatnya 200x125 mm. Terdapat foto Jan Pieterszoon Coen, gubernur VOC Hindia Belanda yang berkumis tebal, di bagian tengah atas. Terdapat tulisan bahasa Belanda yang bercetak paling besar di uang itu. “Drie Hunderd Gulden” yang artinya 300 Gulden.

Di bagian atas tulisan nilai uang itu, tertera bank yang mengeluarkannya, yakni “De Javasche Bank” (nama Bank Indonesia zaman kolonial Belanda). Tahun pengeluaran uang tertera di bawah tulisan nilai mata uang, yakni 1864.

“Dulu pernah ada orang asing menawar uang 300 gulden ini Rp 200 juta, tapi tidak saya berikan karena uang ini sudah menjadi bagian dari hidup saya,” ujar Markus dengan bangga.

Menurut Markus, untuk menjadi seorang numismatist profesional, koleksi idealnya dimulai dengan urutan tahun, khusus untuk uang Nusantara. Baru memburu uang kuno luar negeri. ”Namun, banyak di antara para kolektor yang tidak lengkap koleksi uang Nusantaranya. Koleksinya ‘bolong-bolong’. Tahun pengeluaran uang kunonya banyak yang tidak urut,” ujarnya.

Menurut pria yang mengklaim sebagai kolektor uang kertas kuno Nusantara terlengkap di Jawa Timur itu, uang kuno dikatakan uang Nusantara karena sudah ada sejak kata Indonesia belum ada. Dengan kata lain, uang itu dibuat sebelum Indonesia merdeka.

Markus juga mengaku dirinya bukan hanya kolektor, tetapi juga menjadikan uang kuno sebagai investasi. “Uang kuno itu kan harganya mahal. Kalau disimpan, tiap tahun harganya akan naik terus. Itu kan sama saja saya menabung,” tuturnya sambil tersenyum.

Apa pernah menjual uang kuno koleksinya? ”Walaupun saya belum pernah menjualnya, saya selalu optimistis nilai penjualan mata uang kuno selalu meningkat setiap tahunnya,” kata kakek bercucu tiga tersebut.



Toko Uang Kuno

Bicara tentang jual beli uang kuno, di Surabaya saat ini terdapat toko benda antik yang juga menjual uang kuno. Misalnya Java Coins, sebuah toko di lantai ground di Pakuwon Trade Center (PTC) Surabaya Barat milik Ibnu Soekarno.

Pengamatan Surabaya Post, tiap hari selalu ada orang yang mampir ke toko itu, sekedar melihat atau membeli. Siang itu, seorang pria mengamat-amati uang koin dengan kaca pembesar yang disediakan pihak toko. “Aku mau beli koin kuno untuk melengkapi koleksi di rumah,” tuturnya.

Ibnu Soekarno sendiri selain memajang uang kuno di tokonya juga masih memiliki banyak simpanan uang kuno di rumahnya, Jl Raya Dukung Kupang Surabaya. Saat Surabaya Post berkunjung ke rumahnya, terlihat etalase berukuran lebar 50 cm, panjang 2 meter, dan tinggi 1 meter penuh koleksi uang kertas dan koin kuno.

Ibnu mengatakan, uang kertas diminati daripada koin. Menurut pendapatnya, itu karena uang kertas kuno mempunyai banyak variasi gambar dan warna. Menurut dia, tantangan memiliki uang kertas kuno adalah pada cara merawatnya. “Tidak boleh terlipat, kena flek, dan ada bercak noda. Jadi, menyimpannya memang harus hati-hati,” ujarnya.

Dia menambahkan, gambar yang tertera di uang kertas kuno bisa menjelaskan kondisi Indonesia saat uang itu dikeluarkan. Contohnya gambar orang menyadap karet yang terdapat pada Rp 50 tahun 1947. “Maknanya pada tahun 1947 kondisi perekoniman Indonesia sedang membaik. Sektor perekonomian terbaik saat itu berada di Karet dan Tembakau,” kata dia.

Makna lain di balik uang kertas adalah nomor seri tertentu sering digunakan sebagai tradisi orang-orang Jawa kuno untuk mahar pernikahan. Contohnya tanggal pernikahan yang jatuh pada 160808, maka mahar adalah uang Rp 160.000, Rp 800, dan pecahan Rp 1, Rp 2, dan Rp 5.

Ada beberapa koleksi uang kertas kuno milik Ibnu yang sepintas terlihat ganjil. Sebab, uang-uang kertas itu hanya separuh dan terlihat bekas disobek. Separuhnya entah ke mana. Ternyata menurut Ibnu, uang kertas yang hanya separuh itu menyimpan sejarah.

“Pemerintah saat itu sengaja memotong uang sebagai bukti obligasi atau surat utang. Konon saat uang itu dipotong, nilainya menjadi 10% atau bahkan 50%. Karena itu, banyak orang kaya yang menjadi stress,” ujar Ibnu yang kemudian menunjukkan contoh uang keras seri gajah Rp 1.000 keluaran 1957 yang dipotong hingga nilanya menjadi Rp 100.

Menurut Adi Pratomo, kolektor uang kuno yang juga teman Ibnu, dengan uang kita bisa melihat sejarah tanpa rekayasa. Sebab, dari uang kita bisa tahu sejarah yang baik atau yang buruk. Namun, tidak banyak ahli sejarah yang tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenainya. ”Meneliti uang kuno dianggap tidak mempunyai nilai jual, ” kata Adi yang juga dikenal sebagai pemecah kode-kode uang Ori.

Di kalangan kolektor uang kuno, ada uang kuno yang sangat mahal dan diburu para kolektor. Yaitu uang 600 ORI keluaran tahun 1948 yang hanya berjumlah 24 lembar di seluruh dunia. Uang 600 ORI itu adalah uang yang tidak jadi diedarkan oleh Bank Indonesia.

Menurut Markus Sajogo maupun Ibnu Soekarno, Bank Indonesia saat itu hanya menyelesaikan gambar depannya saja. Uang itu saat ini berada di tangan orang yang dulu diberi oleh orang yang mencetak uang tersebut. Uang yang hanya berjumlah 24 lembar di dunia itu saat ini berharga di kisaran Rp 40.000.000 sampai Rp 50.000.000. (*)

(Sumber: Surabaya Post, Selasa, 4 November 2008)

Puji Harsono, Merangkai Sejarah dari Koin China


Mas kenapa kok orang China banyak sekali di Indonesia? tanya Rahmaningrum (34), istri Puji Harsono (46). Pertanyaan sederhana itu membuat penggemar koin tua ini terusik. Apalagi ketika berkeliling, Puji menemukan ada banyak koin China di hampir seluruh daerah di Indonesia.

KOIN-KOIN itu ia simpan dan koleksi. Kini koleksinya sudah hampir satu ton atau sekitar 300.000 keping. Dari koleksi itu, ia makin tertarik mendalami sejarah China di Indonesia. "Mumpung saya punya koinnya, tahu sejarahnya, dan masih bersemangat meneliti," ujar Puji.

Ia memiliki obsesi tak hanya mengungkap kapan orang China datang ke Indonesia dan kapan China menyebarkan Islam di Indonesia. Puji memiliki koin China dari dinasti Sebelum Masehi sampai tahun 1900-an. Koin-koin itu sebagian besar 90 persen ia dapatkan dari Jawa Timur. Sisanya, 9,9 persen dari Jawa Tengah dan 0,1 persen dari Jawa Barat.

"Saya tak tahu kenapa di Jawa Barat hanya ditemukan sedikit koin China. Padahal, di sana ada Banten yang menjadi pusat perdagangan," ujar Puji. Ia menduga koin-koin China di Jawa Barat masih terpendam jauh dalam tanah karena tertimbun lahar saat gunung merapi di daerah itu meletus hebat. "Buktinya, candi di Cicalengka saja baru ditemukan sekarang," kata Puji.

Sementara itu, di Jawa Timur-yang memilih pelabuhan sebagai pintu gerbang perdagangan dengan bangsa lain-koin China mudah ditemukan di goa-goa atau dari galian tanah para petani.

Puji yang berdomisili di Bandung itu mengatakan, sebenarnya untuk penelitian itu, ia ingin sekali meneruskan kuliah di S2 Sejarah, sayangnya di Universitas Padjadjaran tak ada program S2 untuk sejarah.

Menemukan uang kuno baru selalu membuatnya bergairah untuk meneliti. Ia rajin memburu buku yang memuat sejarah uang di arsip nasional, perpustakaan-perpustakaan, bahkan ke luar negeri. Salah satu sumber yang banyak membantunya adalah sebuah catatan dari China tentang Indonesia. Buku itu sudah diterjemahkan dalam bahasa Belanda dan Inggris. "Untungnya catatan sejarah tentang segala sesuatu yang terjadi 1.600 Setelah Masehi masih bisa ditemukan," kata Puji.

Karena cintanya pada uang juga, Puji mempelajari berbagai huruf dan bahasa asing. Jangan heran kalau ia begitu fasih membaca angka-angka yang ditulis dalam huruf Arab, China, dan Jawa Kuno.

"Tetapi, khusus untuk angka dan huruf China, saya hanya menghafal karakternya saja. Tetapi, saya tak bisa berbahasa China. Bahasa Arab, saya bisa sedikit karena pernah belajar waktu sekolah. Tetapi, saya suka Arab Melayu. Tulisannya lebih bagus," katanya.

Sampai saat ini, menurut Puji, jarang ada orang meneliti uang. Itu sebabnya tak banyak orang mengetahui sejarah uang yang beredar di Indonesia. Maka, lelaki beretnis China yang beristri orang Melayu ini bercita-cita membagikan pengetahuannya tentang alat tukar kepada masyarakat luas. Salah satu jalan yang ditempuhnya adalah melakukan pameran bertajuk Bandung Filanum 2004 di Gedung Pasarbaru, Bandung, pada 23-27 September 2004.

Acara ini diselenggarakan oleh Asosiasi Numismatik Indonesia (ANI), Indonesian Topical Association, Perkumpulan Filatelis Indonesia. Di ANI, Puji menjabat sebagai wakil ketua.

Filanum singkatan dari filateli dan numismatika. Filateli adalah pengumpulan prangko dan benda pos lainnya. Sedangkan numismatika adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang koin, token, uang kertas, dan alat tukar lainnya, juga medali.

Bandung Filanum 2004 tidak memamerkan uang dan alat tukar lainnya dengan informasi mini, tetapi juga menuliskan sejarah uang tersebut. Rasanya, orang awan yang jarang mengetahui sejarah uang akan membelalakkan mata ketika melihat koleksi dan membaca sejarahnya.

Anda mungkin sering mengganti kata rupiah menjadi perak. Misalnya, saat mengatakan, "Saya cuma punya uang 500 perak." Pernahkah Anda bertanya kenapa harus diganti perak? Kenapa tidak emas?

Pada tahun 1892, Belanda mengeluarkan uang koin dari perak seharga 1 gulden. Satu gulden berarti satu perak atau satu rupiah. Mungkin dilatarbelakangi hal itu, kata Puji Harsono, istilah perak masih dipakai hingga sekarang. Kata pengganti lainnya, seperti ringgit (2,5 gulden), juga masih dikenal. Namun, ukan (0,5 gulden), setalen (1/4 gulden), dan ketit (1/10 gulden) mungkin tidak lagi terdengar.

Tidak hanya itu, istilah duit, uang, dan dokat sebetulnya sudah digunakan sebagai nama uang ratusan tahun lalu. Di zaman pendudukan Belanda pernah beredar uang Doit (1821) dan Doit VOC Utrecht (1790). Kata uang bisa jadi berasal dari penyebutan nama koin Wang Keteng tahun 1809.

Tahun 1700-an juga dikenal ducaton. Satu dukat bernilai 240 doit atau 300 sen. Mungkin juga kata dokat berasal dari ducaton atau ukuran uangnya dukat. Tak cuma itu, Anda juga mungkin belum pernah melihat uang terbuat dari bambu pipih seperti gagang es krim.

Uang itu adalah token atau mata uang yang beredar hanya di wilayah tertentu. Token dari bambu itu hanya beredar di perkebunan Tjirohani, Sukabumi. Di bagian muka dan belakangnya ditulisi acht 8. Nilainya 8 sen. Token ini dibuat sekitar tahun 1870 sampai 1885.

Salah satu alasan token ini dibuat adalah untuk mencegah para buruh perkebunan kabur dari perkebunan setelah mendapat upah. Karena selain di wilayah perkebunan, uang bambu itu tak bisa digunakan di wilayah lain.

Ada juga uang dari kain tenun dari Kerajaan Buton, Sulawesi. Uang sepanjang telapak tangan dengan lebar empat jari seorang menteri besar itu beredar sekitar tahun 1597 hingga 1940. Ukuran uang ini selalu berubah tergantung pada panjang pendeknya menteri besar yang menjabat saat itu. Setiap menteri besar berganti, token kain pun berubah.

Puji mengoleksi koin-koin kuno dari dalam dan luar negeri yang pernah beredar di Indonesia. Perdagangan di masa lalu juga mengenal pertukaran uang. Orang China atau orang dari luar tanah Jawa menukarkan uangnya di money changer. (Y09)

(Sumber: Kompas, Jumat, 24 September 2004)

Memahami Sejarah Bangsa Melalui Uang


JAKARTA—Uang bukan sekadar alat tukar, tetapi juga cermin dari puncak-puncak peradaban dari suatu entitas politik dan budaya tertentu yang hidup pada kurun waktu tertentu pula. Dengan demikian, uang sangatlah multifungsi. Ketika cara memperoleh dan menggunakan uang sudah melanggar semua norma, orang pun mengatakan uang bukan segalanya. Can’t buy me love, kata band legendaris asal Inggris The Beatles.

Namun, seperti tersirat dalam keseluruhan lirik lagu tadi, uang mempermudah semua urusan, termasuk urusan bercinta. Ketika peradaban ekonomi sudah memasuki tahap virtual (virtual economy), uang pun menjadi komoditas bisnis.

Seperti sudah disinggung, berbagai jenis uang juga menjadi cerminan perkembangan peradaban dari bangsa. Dengan membaca perkembangan mata uang, kita dapat menceritakan bagaimana kondisi sebuah bangsa dan seluruh perjalanan peradabannya.

Perjalanan sejarah Indonesia pun dapat dilihat pada uang. Yang pertama mengenal uang adalah kerajaan Djenggala, sekitar 856-1158 Masehi (dari abad ke-9 hingga abad ke-12). Pada abad VII, diketahui pada awalnya uang dibuat dari bahan perak, berbentuk setengah bulat.

Pada sisi mukanya terdapat ukiran jambangan dan kepulan asap. Pada bagian sisi belakang, terdapat ukiran bunga padma di tengah dalam sebuah bingkai. Selain bentuk setengah bulat, ada pula uang yang berbentuk segi empat dan berbentuk kancing yang bagian sisi mukanya terdapat ukiran huruf Jawa Kuno.

Pada zaman Djenggala di Kediri yang dikenal sebagai kerajaan tertua di Pulau Jawa, uang disebut Krishnala. Uang itu terbuat dari perak dan perunggu. Pada zaman Majapahit uang dikenal dengan sebutan Gobog, yang menyerupai Gobog Cina. Bentuknya bulat pipih dan pada bagian tengahnya berlubang segi empat. Pada umumnya, Gobog memiliki ukiran binatang, wayang, dan relief yang menggambarkan cerita rakyat pada masa itu.

Selain itu masih banyak lagi di Kerajaan Banten, terdapat uang yang menyerupai uang Gobog di Majapahit. Di Kerajaan Sumenep uang disebut Real Batu. Diperkirakan jenis uang ini berasal dari mata uang kerajaan Spanyol tapi dimodifikasi dengan memberi semacam stempel berupa huruf Arab ”Soemenep”, ”Angka” atau ”Bunga mawar”.

Di Kerajaan Gowa Sulawesi Selatan, uang Dinar yang terbuat dari emas dikenal pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin (sekitar abad XVII). Dinar mirip dengan Derham Aceh. Di Banjarmasin disebut dengan Doewit dan beredar sekitar tahun 1812, terbuta dari dari tembaga.

Uang yang diterbitkan oleh Kerajaan Buton, berbeda dengan uang yang dikeluarkan kerajaan-kerajaan lain di Indonesia, karena tidak menggunakan logam, melainkan kain yang ditenun sendiri oleh puteri raja. Uang Buton populer dengan sebutan Kampua atau Bida.

Nilai tukar Kampua atau Bida ditentukan oleh Menteri Besar Kerajaan (semacam Perdana menteri) yakni setiap satu butir telur, bisa ditukar dengan uang kain yang lebarnya 4 jari dan panjangnya seukuran tapak tangan Menteri Besar yang bersangkutan. Maka banyak Kampua/Bida yang ukurannya berbeda-beda. Corak Kampua atau Bida setiap tahun diubah, agar tak mudah dipalsukan. Padahal sanksi bagi pemalsu uang ini sangat berat yaitu hukuman mati.Masih banyak lagi uang yang beredar di bumi Nusantara yang memiliki corak dan sejarah bangsa Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, kita juga temukan cerita tentang bagaimana Indonesia dipimpin Presiden Soekarno, bagaimana setiap daerah menerbitkan uang sendiri. Selain itu gambaran krisis ekonomi pada tahun 1960-an sehingga dilakukan pemotongan nilai uang atau sanering.


Numismatik

Semua bentuk dan jenis dan cerita uang kuno yang sudah tidak laku tersebut dapat dijumpai di Museum Artha Suaka yang ada di Bank Indonesia. Museum ini sebenarnya sudah ada sejak 25 tahun yang lalu, namun baru dibuka untuk umum pada Senin (25/8) kemarin. Bahkan Menurut Ketua Panitia Eksibisi Koleksi Museum Artha Suaka Lucky Fathul, pameran uang ini akan diselenggarakan di berbagai kota besar di Indonesia seperti Medan Surabaya dan Makassar. Museum Artha Suaka memiliki koleksi 90 ribu bilyet uang kertas dan 360 ribu keping uang logam.

Adalah Markus Sajogo seorang kolektor uang antik dari Surabaya, mengatakan, dari setiap mata uang, dapat diketahui perjuangan bangsa. Sejak zaman kerajaan nusantara sampai Negara Indonesia, selalu ada tema yang disesuaikan kondisi saat itu. Hewan misalnya, saat pemerintah Indonesia mencanangkan untuk melestarikan hewan, maka disosialisasikan melalui uang. Selain itu masih ada lagi gambar kerajinan tangan pembangunan lalu sampai dengan perikanan dan maritim dan sebagainya.

“Kalau seorang numismatik sejati, tentunya akan memahami seberapa sulit perjuangan rupiah,” ungkap Markus.

Sekelompok orang yang mempelajari, dan mengkoleksi uang yang sudah tidak laku, sebagai alat tukar, dan benda berharga lain seperiti medali dan penghargaan lainya disebut sebagai Numismatis. Sedangkan ilmunya bernama Numismatik.

Para pengegemar numismatik di Surabaya yaitu Perekuin,yaitu Perkumpulan Edukasi dan Kolektor Uang Indonesia sedangkan di Jakarta ada PPKMU. Dalam kesempatan pameran money fari yang ada di BI ini para penggemar numismatic akan membentuk suatu wadah, ANI (Asosiasi Numismatik Indonesia).

“Orang-orang penggemar numismatik ini, gemar untuk mengumpulkan uang yang tidak laku lagi namun memiliki nilai yang sangat tinggi dan mempunyai kecintaan yang besar, kata Markus. Menurut dia, hal ini perlu ditularkan kepada generasi berikutnya.

Markus yang mengaku bukan ahli sejarah maupun ahli moneter, tapi memahami betul bagaimana karakteristik setiap uang kuno, kapan diterbitkan, pembuatanya kapan, bagaimana sejarah seputar penerbitan uang tersebut.

Yang paling menarik bagi kolektor uang dari Jawa Timur ini adalah uang Probolinggo. Menurut dia, uang Probolinggo memiliki keistimewaan yang luar biasa. “Uang Probolinggo itu sangat langka, padahal hanya selambar kertas putih, black and white, dan one side. Nilainya … miliar. Padahal nilai nominalnya 200 golden pada waktu itu,” katanya.

Sejarahnya menurut Markus, pada waktu itu, seluruh Kabupaten Probolinggo dijual oleh Belanda kepada seorang Kapten kapal dari Cina. Kapten dari Cina itu berhak untuk mengurus seluruh perbudakan, untuk menarik pajak, menjalankan kekuasaan polisi, termasuk mencetak uang diperbolehkan pada waktu itu pada tahun 1811. Uang Probolinggo yang tertulis dalam Bahasa Belanda, Arab dan Cina tersebut, semacam obligasi pada masa sekarang.


Setelah Merdeka

Setelah Indonesia Merdeka, sebelum pengedaran uang dilakukan oleh BI, yang mengeluarkan uang adalah pemerintah yaitu Menteri Keuangan. Uang Indonesia yang pertama kali ditandatangani oleh Menteri Keuangan Mohammad Hatta, pada tahun 1948. Bank Indonesia (BI) baru mengeluarkan uang pada tahun 1952, dan mulai diedarkan pada tahun 1953.

Yang pertama tersebut lebih dikenal dengan ORI (Oeang Repoeblik Indonesia). Menurut kolektor uang langka sejak 20 tahu lalu itu, ada beberapa seri ORI yang cukup langka, tetapi yang lainnya dilihat secara fisik kurang bagus. Tetapi ada sebagian yang bahkan belum sempat beredar nilainya saat ini sangat tinggi sekali, seperti ORI Rp 600 one side yang tidak sempat beredar, selain itu masih ada ORI yang tergolong langka yaitu ORI Rp 75.

Juga ada dipamerkan ORIDA (Oeang Repoeblik Indonesia Daerah), yang diterbitkan di Bukittinggi, Surakarta, Aceh Timur dll. Uang-uang itu ada yang mirip karcis parkir pada saat itu. Seorang mantan direktur BI, yang kebetulan menyaksikan uang ini, berkata sambil tersenyum. “Ada di Aceh Timur waktu uang itu dikeluarkan. Waktu dikeluarkan kursnya 1:1 dengan dolar AS, pada akhir bulan sudah jadi 1: 100. Lalu kita buat uang baru lagi. Jadi tidak ada moneter-moneteran,” ujarnya. Uang ORIDA dikeluarkan oleh pihak militer Indonesia pada 1947 demi menutupi kelangkaan alat pembayaran pada waktu itu.

ORIDA mungkin sangat mudah dipalsukan, namun para penggemar numismatis biasanya memiliki indra keenam untuk mengenali keaslian uang. Biarpun cetakan uang palsu bahkan lebih baik dari yang asli, biasanya seorang nimismatis akan menganali dengan mudah mana yang asli dan mana yang palsu.

Pemasuan sendiri sejak jaman dahulu memang sudah ada namun tidak segencar saat ini. “Saya bukan ahli moneter maupun sejarah, tapi ini hobby yang dapat menghilangkan stress, menghilangkan tekanan-tekanan batin.”setiap kali saya membuka album koleksi saya, saya selalu terkenang dengan masa lalu,” kata Markus .

Dia mengaku kenal dan hafal betul uang asli Indonesia, karena mencintai, bahkan pernah ikut lelang ke Belanda. Di sana, penggemar uang Indonesia tidak hanya orang Indonesia itu sendiri, tetapi banyak kolektor, dari Belanda, Canada, Amerika, Spanyol dan Portugis.Di Belanda ada balai lelang khusus untuk mata uang, yang disebut Loren Schulman di kota Bessum, Belanda. Meski hanya mengoleksi uang beredar di bumi nusantara ini, saat ini Markus memiliki lebih dari seribu koleksi uang yang pernah beredar di nusantara. (SH/syamsul ashar)

(Sumber: Sinar Harapan, Selasa, 26 Agustus 2003)

♦ Kontak Saya ♦

Nama Anda :
Email Anda :
Subjek :
Pesan :
Masukkan kode ini :

.

Photobucket

.

Pyzam Glitter Text Maker