Jumat, 13 November 2009

Dirham Dinar dalam Lintas Sejarah Indonesia


Nurman Kholis - Peneliti Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI

Lalu lintas uang di Indonesia sudah ada sejak abad ke-4 Masehi sebelum kedatangan kebudayaaan Hindu.

Uang Gobog

Pada zaman itu uang stempel dari pengusaha diterima sebagai jaminan bahan pembuatan uang yang secara intrinsik sering berada di bawah nilai nominalnya. Sejak datang kebudayaan Hindu, koin emas dan terutama koin perak mulai diberlakukan. Selain mata uang emas juga beredar mata uang gobog yang terbuat dari kuningan dan perunggu.

Peredaran uang emas juga berlaku di pulau Sumatra, dijelaskan dalam buku Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua yang ditulis oleh Uli Kozok. Sedangkan Claude Guillot dalam buku Barus Seribu Tahun Yang Lalu menyatakan bahwa karena sebagai penghasil emas, maka uang emas dan juga uang perak diberlakukan sebagai alat tukar di Barus. Pada perkembangan selanjutnya, hubungan Barus dengan Timur Tengah yang erat sejak abad ke-14 membuat kota ini menjadi salah satu pusat Islam yang pertama dan paling penting di Sumatra.

Sultan Malik Al Saleh

Pada zaman itu, berdiri kesultanan Islam pertama di Nusantara yang dipimpin oleh Malik al-Saleh dan selanjutnya digantikan oleh puteranya, Sultan Muhammad Malik Al-Zahir (1297-1326). Ia pun mempelopori pencetakan uang emas berornamen Islam yang pertama di Nusantara. Pada salah satu koin tersebut tertulis nama "Muhammad Malik al-Zahir". Selain sebagai alat tukar, pemberlakuan dinar dan dirham ini merupakan pelaksanaan ajaran Islam sebagaimana dijelaskan dalam berbagai kitab kuning.

Kedua mata uang ini, kemudian hilang dari peredaran dengan diberlakukannya uang kertas sejak abad ke-20. Nilai mata uang tiap negara selanjutnya distandarkan kepada dolar AS seiring didirikannya Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1944. Keberadaan kedua lembaga ini membuat Indonesia semakin terjerumus ke dalam krisis ekonomi. Sebab, meski secara politis merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 namun secara ekonomis semakin terjajah karena dalam perjanjian Renville antara Indonesia dan Belanda tahun 1945 telah disepakati persetujuan pada Konferensi Meja Bundar di Denhag Belanda. Salah satu hasil persetujuan dalam konferensi ini adalah berdirinya Republik Indonesia telah mewarisi hutang sebanyak 1,130 juta Dolar Amerika dari Pemerintah Hindia Timur Belanda. Sejak 1950, pemerintah Indonesia telah memiliki dua jenis utang, yaitu utang luar negeri warisan Hindia Belanda senilai 4 miliar Dolar AS dan utang luar negeri baru sebesar Rp 3,8 miliar yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Utang luar negeri Indonesia kini sebesar Rp 1.667 triliun, sehingga setiap orang Indonesia menanggung utang Rp. 7,5 juta.


Pasca Krismon 2007

Pascakrisis moneter 1997, ketidakadilan dalam pemberlakuan uang kertas dirasakan berbagai kalangan. Setahun kemudian, terbit dua buah buku terjemahan yang berisi gugatan terhadap uang kertas, memanadai awal kembalinya mata uang emas di Nusantara. Buku-buku tersebut ditulis oleh murid-murid Syekh Abdal Qadir al-Murabi as-Sufi, yaitu Dajjal-The Antichrist karya Ahmad Thomson yang diterjemahkan oleh Ahmad Iwan Adjie dkk menjadi Sistem Dajjal dan buku Jerat Utang IMF? yang ditulis oleh Abbdur-Razzaq Lubis (murid Syekh Abdal Qadir di Malaysia) dkk, dengan pengantar dari Zaim Saidi.

Pada 1999, Ahmad Iwan Ajie bersama kedua temannya Dwito Hermanadi dan Hendri Firman berkunjung ke Maroko untuk bertemu Syekh Abdal-Qadir as-Sufi yang saat itu tinggal di sana. Atas pengajaran Syekh Abdal Qadir, sekembalinya ke Indonesa ketiganya pun kemudian mencetak dinar dan dirham. Sejak itu, ketiganya dan Zaim Saidi, Direktur Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) saat itu, mengadakan sosialisasi tentang dinar dan dirham dalam berbagai forum.

Atas prakarsa mereka, Adi Sasono, yang saat itu Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melakukan kunjungan dan bertemu dengan Syekh Abdal Qadir As-Sufi di Cape Town Afrika Selatan pada 2002. Mantan Menteri Koperasi dan PKM Kabinet Reformasi ini selanjutnya mengagas diselenggarakannya Silaturrahmi Kerja Nasional (Silaknas) ICMI pada 24 s.d 26 Januari 2003. Dalam Silaknas tersebut berisi program untuk memasyarakatkan penggunaan dinar dan dirhami.

Kegiatan ini dikoordinir oleh Sugiharto dan acara pembukaannya dihadiri oleh Jusuf Kalla (kini Wakil Presiden Indonesia). Karena itu, saat menjabat Menteri Negara BUMN Kabinet Indonesia Bersatu, Sugiharto mengusulkan dinar dan dirham digunakan sebagai mata uang ASEAN. Hal ini ia sampaikan pada pembukaan Konferensi Uang Logam ASEAN di Jakarta, 19 September 2005ii. Sedangkan pada 2007, Wapres Jusuf Kalla mengusulkan agar dinar menjadi standar dalam penentuan harga minyak internasional. Hal ini ia sampaikan setelah bertemu Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad. Ia kemudian mengatakan kepada para wartawan, "gagasan Iran mengganti dolar AS dengan euro karena lebih stabil. Kenapa nggak dengan dinar saja yang lebih memiliki value."

Secara praktis upaya pencetakan dan penyebarluasan dinar dan dirham di Indonesia terus dilakukan oleh Zaim Saidi dengan mendirikan wakala (agen pertukaran) dinar dan dirham. Untuk memperdalam ilmu tentang kedua mata uang ini, dari pertengahan 2005 hingga pertengahan 2006, ia berguru kepada Syekh Abdal Qadir As-Sufi dan Umar Ibrahim Vadillo yang tinggal di Afrika Selatan. Sekembalinya ke Indonesia, ia semakin giat mensosialisasikan gerakan penggunaan kembali kedua mata uang ini. Zaim Saidi yang pernah jadi wartawan Republika juga menggagas pemberitaan kurs dinar terhadap rupiah. Sejak 14 Juli 2006, harian ini pun setiap hari memberitakan kurs kedua mata uang emas dan kertas tersebut. Selain itu, ia juga terus memperjuangkan pendirian wakala, agen pertukaran dinar dan dirham yang telah ia rintis sejak 1999. Kini, sekitar 60-an wakala tersebar di berbagai kota di Indonesia.


Transaksi Nyata

Salah satu transaksi jual beli dengan dinar sebagai alat tukar sebagaimana terjadi pada tanggal 7 April 2009. Saat itu, Ahmad Watik Pratiknya menyerahkan koin dinar emas sebagai bagian pembayaran pembuatan situs The Habibie Center kepada Riki Rokhman.iii Sebulan kemudian transaksi yang lebih banyak berlangsung pada Festival Hari Pasaran yang digelar di Pondok Pesantren Daarut Tauhid (DT) pimpinan KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), di Bandung pada tanggal 10 Mei 2009. Dalam acara ini terjadi transaksi 65 Dinar Emas dan lebih dari 400 Dirham Perak dengan aneka komoditas antara 35 orang pedagang dengan para pembeli.

Festival Hari Pasaran Dinar Dirham Nusantara juga diselenggarakan di Lapangan Parkir Masjid Salman ITB, Jl. Ganesha No.7 Bandung pada 19-21 Juni 2009. Lebih dari 40 pedagang berpartisipasi dan terjadi transaksi 350 Dirham dan 75 Dinar. Menurut salah satu panitia dari DKM Masjid Salman ITB, Thorik Gunara, kegiatan pasar terbuka ini akan menjadi agenda rutin dan direncanakan akan diselenggarakan sebulan sekali.

iICMI Usulkan Penggunaan Dinar dan Dirham Bertahap. Republika, 28 Januari 2003
iiMenneg BUMN Usulkan Dinar dan Dirham. Kompas, 20 September 2005
ii"The Habibie Center Bertransaksi Dinar" http://www.jawaradinar.com, diakses tanggal 5 Agustus 2009.

(Sumber: wakalanusantara.com)

1 komentar:

  1. Penulisan sejarah dinar dan dirham di Indonesia ini ngawur, orang yang bernama Zaim tidak pernah ada diawal pencetakan dan pengenalan dinar dan dirham, jadi penulis hanya berusaha menempelkan nama Zaim yang dulu belajar dinar dan dirham dari Abbas Firman dan Ahmad Iwan pada tahun 2006, yang terjadi adalah pembangkangan dan ambisi dari Zaim. Sumber sejarah awal dinar dan dirham bisa dilihat di www.sidiabdullah.wordpress.com

    BalasHapus

♦ Kontak Saya ♦

Nama Anda :
Email Anda :
Subjek :
Pesan :
Masukkan kode ini :

.

Photobucket

.

Pyzam Glitter Text Maker