Oleh: Djulianto Susantio
Numismatis, di Jakarta
Salah satu negara di Afrika yang kini tengah dilanda inflasi hebat adalah Zimbabwe. Dalam waktu beberapa bulan saja inflasi di negara itu telah meningkat dari 600 ribu persen menjadi 2,2 juta persen.
Tak ayal, dampak negatif dari inflasi adalah harga-harga barang kebutuhan sehari-hari kian melambung tinggi. Bisa dibayangkan, harga dua kilogram gula pasir adalah 20 miliar dollar Zimbabwe. Mungkin orang banyak tidak percaya akan harga yang setinggi langit itu. Ironisnya, nilai 20 miliar dollar Zimbabwe itu hanya setara dengan 1 dollar AS atau sekitar Rp 9.200. Bukan main. Pertikaian politik antara Presiden Zimbabwe, Robert Mugabe, dengan pihak oposisi dituding menjadi biang keladi terjadinya inflasi gila-gilaan itu.
Akibat hiperinflasi yang melanda negara di benua Afrika itu, pemerintah terpaksa mengeluarkan mata uang baru yang bernilai “aduhai”. Setelah nominal 100 juta, 250 juta, dan 500 juta, sejak awal Juli lalu keluar lagi nominal 100 miliar (Kompas, 25/7/2008).
Sejak lama, politik dan inflasi memang sulit dipisahkan. Banyak negara sudah merasakan betapa kejamnya politik dan betapa menyengsarakannya inflasi bagi masyarakat. Namun di mata numismatis, koleksi yang berhubungan dengan inflasi justru lebih mempunyai nilai tambah dibandingkan koleksi-koleksi normal.
Dulu, salah satu negara yang pernah mengalami inflasi hebat adalah Jerman, yakni pada 1923. Setiap dua hari, konon harga barang naik dua kali lipat. Sebagai misal, untuk membuat jembatan sepanjang 25 meter yang melintasi Sungai Aach di Kota Singen, dibutuhkan biaya sebesar 1.520.940.901.926.024 Mark.
Mata uang Jerman pun terus-menerus jatuh. Pada waktu pecah perang dunia pertama 1914, nilai $1 sama dengan 4,20 mark. Sampai Januari 1923, nilai mark mencapai level 17.800. Puncaknya, pada November 1923 nilai $1 setara dengan 4.200.000.000.000 mark. Akibatnya, Reichsbank pernah mengeluarkan mata uang yang nominal tertingginya mencapai 100 triliun mark.
Di era 1990-an inflasi banyak melanda negara-negara Eropa Timur. Terlebih setelah terpecahnya Uni Soviet dan blok-blok komunis, sehingga melahirkan negara-negara baru yang dinilai pro-Barat.
Para numismatis pernah terkejut ketika di penghujung 1992, pemerintah Polandia menerbitkan uang kertas baru dengan nilai pecahan tidak tanggung-tanggung, yakni 2.000.000 zloty. Sepintas kelihatannya pecahan tersebut bernilai besar sekali. Namun kalau dikurskan dengan rupiah, ketika itu nilainya hanya sebesar Rp 270.000.
Yang lebih “gila” adalah inflasi di Yugoslavia. Dari Oktober 1993 hingga Januari 1994, inflasi mencapai 5 quadrillion persen. Karena itu bank setempat terpaksa menerbitkan uang kertas bernominal 5 miliar, 10 miliar, hingga 500 miliar dinara. Begitu pun negara-negara pecahannya, seperti Republike Srpske Krajine.
Kala itu memang pertikaian politis antaretnis tengah berlangsung di sana yang kemudian melahirkan sejumlah negara pecahan baru, seperti Serbia, Montenegro, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Macedonia, dan Slovenia. Sayang, tidak diketahui secara pasti berapa perbandingan kurs dinar dengan mata uang lain waktu itu.
Namun yang bisa dipastikan, seperti halnya zloty Polandia, nilai dinar tidaklah besar. Malah, uang itu bersama uang Brasil, pernah dikatakan sebagai “harta karun peninggalan Bung Karno” oleh seseorang yang mengaku keturunan “Sang Putra Fajar”.
Inflasi di negara-negara Amerika Latin pada 1970-an dan 1980-an juga tak kalah semaraknya. Hampir setiap tahun negara-negara seperti Brasil, Bolivia, dan Argentina selalu mencetak uang pecahan baru. Akibatnya uang-uang lama mereka, tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah.
Namun uang-uang tersebut tidak serta-merta menjadi sampah, tapi dimanfaatkan menjadi komoditi ekspor ke berbagai negara untuk konsumsi numismatis. Di Indonesia, uang-uang dari Amerika Latin itu, terutama cruzeiro Brasil, sering dimanipulasi untuk tujuan penipuan.
Uang bantal
Inflasi yang hebat juga pernah melanda negara kita semasa revolusi fisik 1947-1948. Ketika itu pemerintahan darurat RI memberi mandat kepada berbagai daerah untuk sementara waktu boleh menerbitkan mata uang sendiri. Ini karena dalam situasi peperangan, ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) belum sanggup diedarkan ke seluruh Indonesia.
Salah satu daerah yang terparah inflasinya adalah Labuhan Batu di Sumatra. Ketika itu penduduk harus membawa setumpuk ORLAB (ORI Labuhan Batu) hanya untuk membeli sebungkus kopi atau teh. Karena tebalnya, maka dikenal sebagai “uang bantal”.
ORLAB, menurut Katalog Uang Kertas Indonesia 1782-1996, diterbitkan di Membang Moeda pertama kali pada 1 September 1947 dalam nominal kecil Rp 50 dan Rp 100. Hanya dalam hitungan bulan, harga barang-barang seperti sembako cepat bergerak naik sehingga kemudian diterbitkan berturut-turut nominal yang semakin tinggi Rp 250, Rp 1.000, Rp 2.500, Rp 5.000, Rp 10.000, Rp 25.000, Rp 50.000, dan Rp 250.000. Puncaknya pada 15 April 1948 diterbitkan nominal Rp 10 juta dan pada 3 Mei 1948 nominal Rp 25 juta. Itulah nominal terbesar yang terdokumentasi pernah diterbitkan di Indonesia sampai kini.
Disayangkan, sampai kini ORLAB yang tersisa hanya sedikit sekali sehingga menjadi koleksi yang amat langka. Mungkin karena ORLAB terbuat dari bahan kertas seadanya, seperti kertas kopi dan kertas singkong. Karena itu daya tahannya tidak sebaik kertas zaman sekarang. Meskipun teknologi pembuatannya sangat sederhana, harga koleksi ORLAB tergolong tinggi. Menurut catatan para numismatis, koleksi-koleksi ORLAB terbaik berada di Belanda dan Denmark.
Sebenarnya, kekhawatiran terjadinya inflasi pernah dirasakan masyarakat kita tahun 1993 lalu. Ketika itu pemerintah menerbitkan pecahan yang relatif besar, yakni bernominal Rp 20.000 dan Rp 50.000. Sebelumnya pecahan terbesar adalah nominal Rp 10.000. Syukurlah, kekhawatiran masyarakat tidak menjadi kenyataan. Begitu juga ketika terbit pecahan terbesar Rp 100.000. Rupa-rupanya hal tersebut dilakukan hanya untuk kepraktisan masyarakat. Artinya, setumpuk uang yang dibawa bisa diringkas menjadi lebih tipis. Kita harapkan, sejarah kelam masa revolusi fisik tidak akan terjadi lagi di negara kita.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar