Oleh: DJULIANTO SUSANTIO
Tanpa formal-formalan, setiap 29 Maret para filatelis Indonesia selalu memeringati Hari Filateli. Meskipun perayaannya tidak megah, namun adanya Hari Filateli jelas menunjukkan kelanggengan hobi yang satu itu. Penetapan Hari Filateli didasarkan atas berdirinya klub filateli Postzegelverzamelaars Club Batavia pada 29 Maret 1922.
Hingga kini memang belum ada data pasti jumlah filatelis di seluruh Indonesia. Namun diperkirakan jumlahnya mencapai ratusan ribu orang. Mereka tergabung dalam berbagai perkumpulan filateli. Di samping itu banyak pula kolektor yang melakukan kegiatan secara mandiri, artinya tidak menjadi anggota perkumpulan atau perhimpunan filateli.
Di Indonesia prangko pertama mulai diterbitkan pemerintah Hindia Belanda pada 1864. Pada tahun-tahun selanjutnya, makin banyak prangko yang dikeluarkan. Banyaknya prangko ditambah populernya kegiatan korespondensi, tak pelak menyebabkan kegiatan filateli semakin digandrungi orang, terutama para remaja.
Ironisnya, perkembangan filateli yang semakin pesat belum diikuti oleh numismatik. Numismatik adalah kegiatan mengumpulkan mata uang lama, termasuk objek-objek lain yang berhubungan dengan alat pembayaran dan tempat penyimpanannya.
Di Indonesia dunia numismatik sebenarnya juga telah dikenal sejak zaman Hindia Belanda. Waktu itu banyak anggota Bataviaasch Genootschap memberikan perhatian yang besar kepada koleksi-koleksi uang kuno yang kemudian disimpan di Museum Nasional sekarang. Namun untuk kegiatan hobi, secara resmi numismatik Indonesia baru muncul pada 26 Oktober 1972 dengan berdirinya Perhimpunan Penggemar Koleksi Mata Uang (PPKMU).
Dibandingkan filateli, memang perkembangan numismatik terbilang lambat. Ada berbagai sebab mengapa numismatik belum semaju filateli.
Pertama, mata uang tidak diterbitkan setiap tahun sebagaimana halnya produk filateli. Dengan demikian para kolektor mata uang atau numismatis sulit menambah perbendaharaan koleksi mereka.
Kedua, koleksi mata uang harus dibeli. Bandingkan dengan prangko yang bisa diperoleh secara gratis dengan berbagai cara, seperti meminta dari kerabat yang bekerja di kantor, kita sendiri yang aktif berkorespondensi dengan sahabat pena, atau berlangganan secara teratur lewat PT Posindo.
Secara logika, seharusnya numismatik lebih maju daripada filateli. Mata uang, dalam bentuknya yang paling sederhana, telah dikenal sejak zaman prasejarah. Jadi jauh lebih lama daripada munculnya prangko pada 1840. Bentuk fisik mata uang yang amat beragam, seharusnya pula menguntungkan dunia numismatik.
Namun, secara rata-rata koleksi-koleksi mata uang jauh lebih mahal harganya ketimbang koleksi filateli. Jangan heran kalau hanya sedikit orang yang mampu mengoleksi benda-benda numismatik. Apalagi yang tergolong unik dan langka.
Keunggulan lain mata uang dibandingkan prangko adalah “hampir setiap orang memiliki uang”. Sebaliknya, belum tentu “hampir setiap orang memiliki prangko”. Sayangnya, karena berbagai kendala tadi, maka numismatik kalah pamor dibandingkan filateli.
Organisasi
Kendala lain yang menyebabkan kegiatan numismatik belum semaju filateli adalah faktor kepengurusan organisasi. PPKMU sebagai organisasi numismatik tertua di Indonesia, ternyata beberapa tahun belakangan ini vakum tanpa kegiatan. Padahal, pada era 1980-an dan 1990-an kegiatan lelang mata uang kerap diadakan setiap dua bulan. Begitu pula berbagai pameran dan ceramah, tidak pernah ada lagi.
Memang, sejak 2000-an kegiatan PPKMU mendompleng pada kegiatan PFI. Dalam kesempatan-kesempatan tertentu itu, PFI sesekali melelang beberapa lot koleksi numismatik. Namun kegiatan ini pun sepertinya “angin-anginan”.
Akibatnya, sejak 2000-an itu pula sejumlah kolektor mendirikan organisasi numismatik baru, yakni Asosiasi Numismatika Indonesia (ANI). Sebenarnya, jauh sebelum terbentuknya ANI, di Surabaya juga telah berdiri Perkumpulan Edukasi dan Kolektor Uang Kuno Indonesia (Perekuin). Sayangnya, masing-masing organisasi berjalan sendiri-sendiri.
PPKMU sendiri yang berpusat di Jakarta, ternyata sulit berkembang. Di samping kesibukan para anggota dan pengurusnya, PPKMU tidak pernah mempunyai “bapak angkat”, meskipun permohonan untuk itu pernah diajukan kepada Bank Indonesia, Perum Peruri, bahkan Departemen Keuangan.
Hanya sekali PPKMU pernah mendapat perhatian dari Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi. Tetapi setelah Joop Ave lengser, PPKMU “kehilangan induk” lagi. Yang justru pernah menjadi “orang kuat” PPKMU adalah Jaksa Agung Singgih ketika itu, yang juga seorang kolektor uang lama. Logikanya, tentu organisasi di daerah bakal lebih sulit memperoleh dukungan.
Organisasi tunggal kenumismatikan yang mapan sudah saatnya perlu dibentuk. Hal ini dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat mata-mata uang lama Indonesia. Sebaiknya, semua organisasi melebur ke dalam PPKMU yang memang berusia paling tua. Kemudian hari lahirnya, 26 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Numismatik. Dengan adanya Hari Numismatik, bukan tidak mungkin dunia numismatik Indonesia semakin berkembang.***
Hingga kini memang belum ada data pasti jumlah filatelis di seluruh Indonesia. Namun diperkirakan jumlahnya mencapai ratusan ribu orang. Mereka tergabung dalam berbagai perkumpulan filateli. Di samping itu banyak pula kolektor yang melakukan kegiatan secara mandiri, artinya tidak menjadi anggota perkumpulan atau perhimpunan filateli.
Di Indonesia prangko pertama mulai diterbitkan pemerintah Hindia Belanda pada 1864. Pada tahun-tahun selanjutnya, makin banyak prangko yang dikeluarkan. Banyaknya prangko ditambah populernya kegiatan korespondensi, tak pelak menyebabkan kegiatan filateli semakin digandrungi orang, terutama para remaja.
Ironisnya, perkembangan filateli yang semakin pesat belum diikuti oleh numismatik. Numismatik adalah kegiatan mengumpulkan mata uang lama, termasuk objek-objek lain yang berhubungan dengan alat pembayaran dan tempat penyimpanannya.
Di Indonesia dunia numismatik sebenarnya juga telah dikenal sejak zaman Hindia Belanda. Waktu itu banyak anggota Bataviaasch Genootschap memberikan perhatian yang besar kepada koleksi-koleksi uang kuno yang kemudian disimpan di Museum Nasional sekarang. Namun untuk kegiatan hobi, secara resmi numismatik Indonesia baru muncul pada 26 Oktober 1972 dengan berdirinya Perhimpunan Penggemar Koleksi Mata Uang (PPKMU).
Dibandingkan filateli, memang perkembangan numismatik terbilang lambat. Ada berbagai sebab mengapa numismatik belum semaju filateli.
Pertama, mata uang tidak diterbitkan setiap tahun sebagaimana halnya produk filateli. Dengan demikian para kolektor mata uang atau numismatis sulit menambah perbendaharaan koleksi mereka.
Kedua, koleksi mata uang harus dibeli. Bandingkan dengan prangko yang bisa diperoleh secara gratis dengan berbagai cara, seperti meminta dari kerabat yang bekerja di kantor, kita sendiri yang aktif berkorespondensi dengan sahabat pena, atau berlangganan secara teratur lewat PT Posindo.
Secara logika, seharusnya numismatik lebih maju daripada filateli. Mata uang, dalam bentuknya yang paling sederhana, telah dikenal sejak zaman prasejarah. Jadi jauh lebih lama daripada munculnya prangko pada 1840. Bentuk fisik mata uang yang amat beragam, seharusnya pula menguntungkan dunia numismatik.
Namun, secara rata-rata koleksi-koleksi mata uang jauh lebih mahal harganya ketimbang koleksi filateli. Jangan heran kalau hanya sedikit orang yang mampu mengoleksi benda-benda numismatik. Apalagi yang tergolong unik dan langka.
Keunggulan lain mata uang dibandingkan prangko adalah “hampir setiap orang memiliki uang”. Sebaliknya, belum tentu “hampir setiap orang memiliki prangko”. Sayangnya, karena berbagai kendala tadi, maka numismatik kalah pamor dibandingkan filateli.
Organisasi
Kendala lain yang menyebabkan kegiatan numismatik belum semaju filateli adalah faktor kepengurusan organisasi. PPKMU sebagai organisasi numismatik tertua di Indonesia, ternyata beberapa tahun belakangan ini vakum tanpa kegiatan. Padahal, pada era 1980-an dan 1990-an kegiatan lelang mata uang kerap diadakan setiap dua bulan. Begitu pula berbagai pameran dan ceramah, tidak pernah ada lagi.
Memang, sejak 2000-an kegiatan PPKMU mendompleng pada kegiatan PFI. Dalam kesempatan-kesempatan tertentu itu, PFI sesekali melelang beberapa lot koleksi numismatik. Namun kegiatan ini pun sepertinya “angin-anginan”.
Akibatnya, sejak 2000-an itu pula sejumlah kolektor mendirikan organisasi numismatik baru, yakni Asosiasi Numismatika Indonesia (ANI). Sebenarnya, jauh sebelum terbentuknya ANI, di Surabaya juga telah berdiri Perkumpulan Edukasi dan Kolektor Uang Kuno Indonesia (Perekuin). Sayangnya, masing-masing organisasi berjalan sendiri-sendiri.
PPKMU sendiri yang berpusat di Jakarta, ternyata sulit berkembang. Di samping kesibukan para anggota dan pengurusnya, PPKMU tidak pernah mempunyai “bapak angkat”, meskipun permohonan untuk itu pernah diajukan kepada Bank Indonesia, Perum Peruri, bahkan Departemen Keuangan.
Hanya sekali PPKMU pernah mendapat perhatian dari Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi. Tetapi setelah Joop Ave lengser, PPKMU “kehilangan induk” lagi. Yang justru pernah menjadi “orang kuat” PPKMU adalah Jaksa Agung Singgih ketika itu, yang juga seorang kolektor uang lama. Logikanya, tentu organisasi di daerah bakal lebih sulit memperoleh dukungan.
Organisasi tunggal kenumismatikan yang mapan sudah saatnya perlu dibentuk. Hal ini dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat mata-mata uang lama Indonesia. Sebaiknya, semua organisasi melebur ke dalam PPKMU yang memang berusia paling tua. Kemudian hari lahirnya, 26 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Numismatik. Dengan adanya Hari Numismatik, bukan tidak mungkin dunia numismatik Indonesia semakin berkembang.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar