Minggu, 07 Juni 2009

Mata Uang Kuno dan Sumber Sejarah


Oleh: Trigangga


Kehadiran mata uang khususnya di Nusantara (Indonesia) adalah akibat dari aktivitas perdagangan yang semakin kompleks, yang mana diperlukan alat tukar barang yang praktis, mudah dibawa, tahan lama dan dapat digunakan sesuai kebutuhan. Letak geografis kepulauan Indonesia yang strategis menjadikan kepulauan Indonesia sebagai salah satu jalur pelayaran perdagangan internasional yang menghubungkan dunia barat dan timur. Pedagang-pedagang dari berbagai bangsa, terutama dari India dan Cina, dalam pelayarannya terkadang harus singgah di pelabuhan karena menunggu badai reda misalnya, atau memang menjalin hubungan dagang dengan penguasa-penguasa di berbagai daerah di Indonesia.

Bukti bahwa kepulauan Indonesia pernah dikunjungi pedagang-pedagang asing dapat diketahui dari sumber-sumber tertulis seperti prasasti dan kronik asing, juga tinggalan-tinggalan arkeologis berupa mata uang. Di dalam prasasti Telaga Batu, salah satu peninggalan kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7, dijumpai istilah dalam bahasa Sansekerta, vaņiyāga yang artinya ‘saudagar’ atau ‘pedagang’. Inilah prasasti pertama yang menyebutkan kata ‘pedagang’ di Indonesia. Istilah vaņiyāga ini kemudian muncul dalam prasasti-prasasti berbahasa Jawa Kuna menjadi banyaga, dan diadopsi menjadi kata bahasa Indonesia, berniaga, padanan kata dari ‘berdagang’.

Keterangan dari berbagai prasasti memberi petunjuk bahwa ada kelompok orang asing yang mungkin berprofesi pedagang dan dikenai kewajiban membayar pajak, disebut sebagai wargga kilalān. Mereka adalah orang-orang India yang berasal dari berbagai daerah dan suku bangsa seperti Kalingga (kling), Arya, Drawida, Karņataka, Pandya-Chera (pandikira), juga dari Vietnam (campa), Kamboja (kmir) dan Srilangka (singhala). Kehadiran orang-orang Cina belum disebut di dalam prasasti-prasasti abad ke-10--12, namun kronik Cina sendiri telah memberitakan kehadiran seorang musafir Cina bernama Fa-hsien yang pernah singgah di Jawa pada tahun 414.

Kronik-kronik Cina merinci komoditi ekspor dari kepulauan Indonesia, khususnya Jawa, yang membuat pedagang-pedagang asing datang antara lain cengkeh, pala, merica, kayu cendana, gaharu, kapur barus, kapas, garam, gula, gading gajah, cula badak, dan lain-lain. Adapun barang-barang impor untuk konsumsi di Jawa yang utama adalah sutera, kain brokat warna-warni dan keramik. Sebagai contoh, di dalam prasasti ada disebutkan satu barang yang mungkin sekali diimpor yaitu wdihan buat kling atau kain buatan negeri Kalingga (India).

Pedagang-pedagang asing tersebut ketika mengadakan transaksi dagang dengan penduduk lokal menggunakan mata uang yang dibawa dari negerinya masing-masing. Akibatnya banyak mata uang asing dari berbagai negara beredar di kepulauan Indonesia. Hubungan dagang yang intensif dengan India dan Cina lambat laun mendatangkan inspirasi bagi penduduk lokal atau penguasa suatu kerajaan di Jawa untuk membuat mata uang sendiri.

Prasasti-prasasti biasanya menyebut satuan mata uang emas dan perak yang beradar di Jawa mulai dari ukuran yang terbesar sampai terkecil dalam bentuk singkatan. Satuan mata uang emas dari yang terbesar hingga terkecil adalah kāti, suwarņa, māsa, kupang, dan sātak. Sedangkan satuan mata uang perak adalah kāti, dhāraņa, māsa, dan kupang. Semua satuan mata uang tersebut menunjukkan ukuran berat benda. Ini dapat diketahui dari inskripsi-inskripsi singkat pada benda-benda berupa wadah emas yang ditemukan di desa Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah. Pada bagian dasar sebuah mangkuk besar contohnya, tertera tulisan tatur brat su 14 mā 15 sā 3 dalam huruf Jawa Kuna, artinya “emas berat 14 suwarņa 15 māsa 3 sātak”. Jadi jelaslah bahwa mata uang emas dan perak itu dinilai berdasarkan berat benda (nilai intrinsik). Segala transaksi perdagangan, khususnya barang yang bernilai besar, dibayar dengan uang emas atau perak dengan berat yang telah ditentukan.

Mata uang Jawa dari emas dan perak yang ditemukan kembali, termasuk di situs kota Majapahit, kebanyakan berupa uang “Ma”, (singkatan dari māsa) dalam huruf Nagari atau Siddham, kadang kala dalam huruf Jawa Kuna. Di samping itu beredar juga mata uang emas dan perak dengan satuan tahil, yang ditemukan kembali berupa uang emas dengan tulisan ta dalam huruf Nagari. Kedua jenis mata uang tersebut memiliki berat yang sama, yaitu antara 2,4 – 2,5 gram.

Uang “Ma” perak dengan tulisan Nagari dan uang “Ma” emas dengan tulisan Jawa Kuna (kol. Museum Nasional)

Selain itu masih ada beberapa mata uang emas dan perak berbentuk segiempat, ½ atau ¼ lingkaran, trapesium, segitiga, bahkan tak beraturan sama sekali. Uang ini terkesan dibuat apa adanya, berupa potongan-potongan logam kasar; yang dipentingkan di sini adalah sekedar cap yang menunjukkan benda itu dapat digunakan sebagai alat tukar. Tanda tera atau cap pada uang-uang tersebut berupa gambar sebuah jambangan dan tiga tangkai tumbuhan atau kuncup bunga (teratai?) dalam bidang lingkaran atau segiempat [gambar 2]. Jika dikaitkan dengan kronik Cina dari zaman Dinasti Song (960 – 1279) yang memberitakan bahwa di Jawa orang menggunakan potongan-potongan emas dan perak sebagai mata uang, mungkin itulah yang dimaksud.

Potongan-potongan logam emas yang digunakan sebagai alat tukar (kol. Museum Nasional)

Mata uang dengan satuan-satuan tersebut di atas, terutama māsa dan tahil, tampaknya terus dipakai hingga awal munculnya kerajaan Majapahit. Di dalam prasasti Tuhanyaru tahun 1245 Saka (1323 M) uang “Ma” perak masih disebutkan sebagai benda sesaji bersama pakaian. Kronik Cina dari zaman Dinasti Ming (1368 – 1643) mencatat bahwa uang tahil emas masih digunakan di Jawa. Diberitakan bahwa pada waktu terjadi perang saudara di kerajaan Majapahit tahun 1405, sekitar 170 orang Cina ikut terbunuh dalam kerusuhan itu. Meskipun raja Majapahit kemudian meminta maaf atas kejadian itu, kaisar Cina tetap menjatuhkan hukuman denda sebesar 60.000 thail (=tahil) emas.

Satu hal yang patut diketahui bahwa dalam periode Majapahit mata uang emas dan perak tidak begitu sering lagi disebutkan di dalam prasasti dan naskah. Sebagai gantinya adalah mata uang tembaga, timah dan kuningan yang memang banyak digunakan pada masa itu. Yang terakhir ini dapat diidentifikasikan sebagai uang lokal Majapahit dan kepeng Cina.

Pada abad ke-14 semakin banyak orang Cina yang datang ke daerah-daerah yang menjadi wilayah kerajaan Majapahit dengan tujuan berdagang. Di antara mereka ada yang tinggal menetap dalam jangka waktu cukup lama. Banyaknya orang Cina yang bermukim di wilayah kerajaan Majapahit memunculkan profesi baru yang dikenal dengan istilah juru cina. Istilah ini kerap muncul di dalam prasasti-prasasti Majapahit yang memuat daftar para mangilala drawya haji, yaitu pegawai kerajaan yang tinggal di dalam lingkungan tembok kota. Tugas juru cina mungkin berurusan dengan orang-orang Cina yang datang dan menetap di ibukota kerajaan Majapahit atau di berbagai tempat lain di wilayah kerajaan Majapahit di Jawa. Di antara mereka tentunya ada yang bertugas sebagai penerjemah jika ada utusan-utusan Cina datang membawa pesan dari kaisar. Bukan tidak mungkin kalau juru cina ini dijabat oleh orang Cina yang sudah lama menetap di sini dan diminta bantuannya sebagai penerjemah bagi raja Majapahit.

Relief pedagang pada sebuah panel relief candi Tigawangi, Kediri, Jawa Timur (abad ke-14)

Di dalam buku Ying-yai Shêng-lan atau “Laporan Umum tentang Pantai-pantai Lautan” yang diterbitkan pada 1416 oleh Ma-Huan, dikatakan bahwa orang-orang Cina yang tinggal di kerajaan Majapahit berasal dari Canton, Chang-chou dan Ch’üan-chu. Mereka kebanyakan bermukim di Tuban dan Gresik menjadi orang kaya di sana. Tidak sedikit penduduk pribumi yang menjadi orang kaya dan terpandang. Dalam transaksi perdagangan penduduk setempat menggunakan uang tembaga (kepeng) Cina dari berbagai dinasti. Pernyataan terakhir ini mengindikasikan bahwa penduduk pribumi tidak mengerti tulisan Cina yang tertera pada kepeng itu sehingga mau menerima uang Cina dari dinasti mana pun (Dinasti Tang, Song, Yuan) yang mungkin tidak berlaku lagi di negeri asalnya.

Penggunaan kepeng Cina atau uang lokal Majapahit ditunjukkan dalam istilah pisis (Jawa Kuna) yang artinya ‘uang’. Istilah ini pertama kali muncul di dalam prasasti Bendosari (± 1350 M) dari masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, isinya merupakan surat keputusan pengadilan tentang sengketa tanah (jayasong). Pihak Aki Santana Mapanji Sarana bersengketa dengan pihak Sang Apanji Anawung Harsa mengenai status tanah di berbagai tempat seluas 67 lirih. Sang Apanji Anawung Harsa berargumentasi bahwa pihaknyalah yang punya hak atas semua tanah itu karena dahulu, tahun 919 Saka (997 M), kakek buyutnya telah menggadaikan kepada kakek buyut Aki Santana Mapanji Sarana seharga 2½ takar perak, yaitu pada waktu penduduk pulau Jawa tidak menggunakan uang kepeng (duk punang bhumi jawa tan pagagaman pisis). Pernyataan ini menunjukkan bahwa di pulau Jawa, semasa hidup kakek buyut Sang Apanji Anawung Harsa, uang perak masih umum digunakan sebagai alat pembayaran. Ini seperti yang dinyatakan dalam kronik Cina dari zaman Dinasti Song bahwa di Jawa orang menggunakan potongan-potongan perak sebagai mata uang. Kemudian, di masa hidup Sang Apanji Anawung Harsa uang kepeng sudah umum digunakan.

Di Jawa Timur banyak sekali ditemukan uang kepeng Cina, bahkan dapat dikatakan bahwa kepeng Cina ditemukan di setiap kabupaten di Jawa Timur. Di kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan terdapat koleksi uang kepeng Cina sekitar 40.000 keping. Kepeng Cina tersebut berasal dari berbagai dinasti terutama Dinasti Song dan Ming. Banyaknya kepeng Cina yang beredar pada masa Majapahit diperkuat oleh temuan berbagai jenis celengan terakota di daerah Trowulan, menandakan bahwa tradisi menabung telah dikenal pada masa Majapahit. Di samping uang kepeng Cina, di Museum Trowulan terdapat koleksi uang lokal Majapahit yang disebut gobog dan uang perak. Uang gobog inilah yang mungkin merupakan bentuk tiruan dari kepeng Cina, karena dalam beberapa hal dari bentuk dan hiasan mirip dengan kepeng Cina, walau figur yang digambarkan berciri lokal, mirip wayang kulit.

Uang Gobog

Jika satuan mata uang terdahulu seperti suwarņa, māsa, kupang dan lain-lain mengacu kepada ukuran berat atau kualitas, maka pada masa Majapahit ini satuan mata uang mengacu kepada jumlah atau kuantitas. Di dalam prasasti-prasasti dan naskah-naskah hukum dijumpai berbagai istilah yang menyatakan jumlah uang, antara lain sātak (200 keping), sātak sawě (250 keping), samas (400 keping), domas (400 keping), rong tali (2000 keping), patang tali (4000 keping), salaksa (10.000 keping), sakěţi (100.000 keping), sakěţi rong laksa (120.000 keping), sakěţi něm laksa (160.000 keping), dan rong kěţi (200.000 keping).

Akhirnya, ada beberapa prasasti dari masa Majapahit yang berkaitan dengan penggunaan kepeng ini. Salah satu di antaranya adalah prasasti Paguhan, ditulis pada tiga lempeng tembaga, tulisannya amat besar dan isinya cukup singkat. Terjemahan bebas dari prasasti itu adalah sebagai berikut: pada tanggal 13 paro terang bulan Asuji tahun 1338 Saka (= 4 September 1416) Paduka Yang Mulia dari Talonan menyetujui pembelian (?) untuk kepentingan Baţara di Paguhan yang meninggal di Pramalaya, diterima oleh para angucap gawe (nama jabatan) di Gědong Dingdiwa. Mereka adalah Patih Sěmut, Sang Arya Pagěh, Sang Arya Guna, Patih dari Paguhan, Patih Sirěg, dan Patih Tembeng, menerima sejumlah uang sebesar 200.000 (dua ratus ribu) kepeng.

Apa yang terbayang dari isi prasasti itu adalah suatu serah terima pembelian (waruk) yang sayang tidak disebutkan objeknya, mungkin sebidang tanah. Jika yang dimaksud adalah sebidang tanah, mungkin tanah itu hendak dijadikan sima, kemudian hasilnya dipersembahkan untuk dewa atau arwah leluhur yang dipuja di bangunan suci. Yang menarik perhatian dari prasasti ini adalah jumlah uang yang diterima keenam pejabat tersebut sebanyak 200.000 keping, ditulis dengan angka dan huruf (terbilang) sampai dua kali. Cara penulisan yang demikian mirip dengan cara pengisian selembar kuitansi pada masa sekarang. Kemudian, pada akhir “kuitansi” tersebut tertera hari, tanggal, bulan dan nama (tertanda): Sa[ng] Kawasa.

Jumlah uang 200.000 kepeng adalah jumlah terbesar yang pernah disebutkan dalam prasasti maupun naskah. Dapat dibayangkan uang sebanyak itu ditaruh ke dalam beberapa buah guci, sedikitnya dibutuhkan 10 buah guci ukuran sedang (ukuran ±40 cm). Sering terdengar berita tentang temuan mata uang dalam guci, baik ditemukan dalam keadaan utuh maupun sudah pecah berantakan.

Trigangga
Pernah menjabat Kurator Numismatik Museum Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

♦ Kontak Saya ♦

Nama Anda :
Email Anda :
Subjek :
Pesan :
Masukkan kode ini :

.

Photobucket

.

Pyzam Glitter Text Maker