Senin, 16 Februari 2009

Uang Kuno Hindia-Belanda Banyak Peminatnya


Panas terik matahari menyinari Jalan Jendral Urip Sumoharjo, Jakarta Timur. Debu-debu berterbangan dan asap kotor kendaraan umum di jalan menambah sesak udara Jakarta. Namun itu tak menghalangi para edagang kaki lima menggelar dagangan di tepi jalan. Salah satunya adalah Sumardi.

Ketika mata tertuju pada lelaki kurus hitam legam itu yang duduk di belakang etalase barang dagangannya dan dilengkapi papan nama seadanya, orang segera tahu bahwa Sumardi menjual uang-uang kuno. Berdagang uang kuno, demikian Sumardi menyebutnya, sudah dilakukannya sejak tujuh tahun lalu. Berawal dari himpitan ekonomi tak kunjung membaik saat berjualan batu akik, dia banting setir merintis usaha penjualan uang kuno. Faktor hobi juga membuat Sumardi kian menekuni kegiatan ini. Dari dulu, dia memang suka mengoleksi uang-uang kuno seperti yang sekaran dimilikinya.

Sumardi menjelaskan kolektor uang kuno sekarang ini bertambah ramai. Namun justru karena makin banyak yang menggemari hobi mengoleksi uang kuno, ketersediaan uang kuno menjadi makin terbatas. Dia mencontohkan, uang 50 Gulden Hindia-Belanda yang berlaku di Indonesia tahun 1816-1942. Kelangkaan barang itu, memaksa Sumardi merogoh kocek lebih banyak untuk membayar mereka yang ingin menjual koleksi uang kunonya.

Kolektor selalu mencari uang kuno yang langka, makin sedikit barangnya dan makin banyak peminatnya, maka harganya semakin melambung tinggi. Sumardi mengaku harus cermat mengamati uang kuno yang sekarang sedang diminati. Dia juga harus mencari celah bagaimana berjuang mengisi kelangkaan uang kuno, sehingga kalau ada konsumen yang datang kepadanya, dia dapat menawarkan uang kuno itu.

Sumardi tidak terlalu bernafsu memburu uang kertas langka, karena dia berpikir rejeki tidak akan lari kemana-mana. Dia membangun relasi sesama kolektor uang kuno sembari mencari trik baru mengakali kelangkaan uang kertas kuno. Sayangnya, dia tak ingin bercerita tentang trik mencari uang kuno yang langka.

Namun dijelaskannya, kolektor uang kuno umumnya merasakan kepuasan tersendiri bila mendapatkan uang langka yang tidak didapatkan orang lain. Tingkat kepuasan pelanggan Sumardi berimbas langsung kepada dirinya. Kolektor akan melaporkan satu sama lain dan secara tak langsung mengangkat pamor Sumardi sebagai penjual uang kuno berkualitas tinggi.

Walaupun diakui Sumardi, dia tidak terlalu mementingkan peningkatan pamornya. Ibaratnya, ujar Sumardi, kepamoran hanya menambah lauk daging dalam sayur yang sedang dimakan. Dia lebih memilih mampu membeli nasi dan lauk dengan gizi cukup serta menyekolahkan anaknya ke tingkat perguruan tinggi dari kebahagiaan orang lain.


Emas Kawin

Usianya yang kini telah 65 tahun tak menghambat semangat pantang menyerah Sumardi. Apalagi dia melihat, selain kolektor uang kuno yang makin banyak, uang-uang kuno miliknya, seringkali dimanfaatkan pula oleh pasangan calon pengantin.

Dia menceritakan, ada tren emas kawin mengikuti tanggal pernikahan calon mempelai. Pecahan uang kertas dan logam saat ini tak memungkinkan calon pengantin memilih pecahan paling tepat sesuai tanggal pernikahannya. Jika menginginkan emas kawin berupa pecahan uang kertas dan logam mengikuti tanggal pernikahan, maka mereka harus membeli uang kuno dari pedagang seperti Sumardi. Misalnya membeli uang bernominal Rp 2008, sesuai tahun saat ini. Uang Rp 2.000 mungkin mudah dijumpai, yaitu dengan dua lembar Rp 1.000, tetapi uang Rp 8, sudah amat sulit. Sumardi menyediakan pecahan Rp 1, 5, dan Rp 10, untuk melengkapinya. Jadi untuk Rp 8, cukup membeli satu keping uang logam Rp 5, dan tiga keping uang logam Rp 1.

Selain Sumardi, ada lagi Hamsir Basir, pedagang uang kuno lainnya. Namun berbeda dengan Sumardi, Hamsir justru mengeluh, karena pelanggan makin sepi dan kolektor makin sedikit jumlahnya. Apalagi ditambah kelangkaan barang dan lelang uang kuno yang jarang, hanya sekitar setengah tahun sekali.

Hamsir mengatakan, dia melakukan pekerjaan sebagai penjual uang kuno hanya menghabiskan umur, sedangkan kekayaan tidak bisa didapat. Apalagi dengan kenaikan harga kebutuhan pokok yang makin tak menentu setiap hari. Bekas penjual obat tersebut mengakui, cukup sulit menjual uang-uang kuno saat ini.

Sementara itu, di bekas Kantor Pos Pasar Baru, Jakarta Pusat, yang kini menjadi Kantor Filateli Jakarta, terdapat pula beberapa pedagang uang kuno. Mereka mengatakan, walaupun kolektor uang kuno tak sebanyak kolektor prangko, namun usaha berdagang uang kuno tetap ada pasarnya tersendiri.

Terutama, seperti disebutkan mereka, bila para pedagang uang kuno memiliki uang-uang dari masa Hindia-Belanda. Saat ini, di Belanda dan di negara-negara lainnya di Eropa, kolektor uang kuno yang menggemari mengoleksi uang kuno Hindia-Belanda yang dalam bahasa Belandanya disebut Nederlands Indie dan dalam bahasa Inggris disebut Netherlands Indies, makin lama makin banyak.

Hal itu berdampak pada peningkatan harga uang-uang kuno dari masa Hindia-Belanda. Uang-uang kertas Hindia-Belanda bergambar wayang misalnya, banyak yang "memburu"nya saat ini. Di samping itu, uang-uang kertas dari masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu uang kertas dari tahun 1945 sampai 1950, juga banyak yang meminatinya.

"Harus pintar-pintar memilih uang kuno yang mau diperjualbelikan," tutur seorang pedagang uang kuno, "Kalau harganya sedang bagus, ya dilepas. Jangan terlalu lama ditahan, dan berharap harganya bakal naik lagi. Nanti kalau justru bukannya naik lagi malah turun, kan rugi. Sebaliknya, kalau harganya sedang turun, disimpan saja dulu." [HES/B-8]

(Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 20 Januari 2008)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar