Kamis, 29 Oktober 2009

Kata Sambutan Seminar Numismatik


DEPUTI GUBERNUR SENIOR BANK INDONESIA
SEMINAR “SERBA-SERBI NUMISMATIK :
PEMBELAJARAN NUMISMATIK, KOLEKSI, DAN PENGELOLAANNYA”
Museum Bank Indonesia, 27 Oktober 2009



Yth. Para Pembicara, khususnya dari Asosiasi Numismatik Indonesia,
Bp. Puji Harsono, Wakil Ketua Asosiasi Numismatik Indonesia
Bp. Alim Sumana, Anggota Asosiasi Numismatik Indonesia
Bp. Wisnu Baskoro, Anggota Asosiasi Numismatik Indonesia, dan
Moderator Bp. Asep Kambali, Ketua Umum Komunitas Historia Indonesia, serta
Hadirin dan para peserta seminar yang berbahagia,

Assalamualaikum Wr. Wbr,
Salam sejahtera bagi kita semua,
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas karunia dan perkenan-Nya maka kita dapat berkumpul pagi ini dalam seminar yang bagi kami merupakan topik yang sangat menarik yaitu: ”Serba-Serbi Numismatik: Pembelajaran Numismatik, Koleksi, dan Pengelolaannya“, suatu topik yang kadang-kadang luput dari perhatian kita semua karena kita lebih tertarik kepada nilai nominal uang atau numismatik itu sendiri sebagai alat tukar, dan kita seringkali kurang memperhatikan informasi nilai sejarah yang terkandung dalam satu lembar uang, yang sebenarnya dapat menceritakan latar belakang ekonomi, sosial, politik dan budaya pada era uang tersebut berlaku. Penyelenggaraan seminar ini juga sekaligus memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-81 melalui penggalian warisan sejarah bangsa dengan pembelajaran numismatik.

Oleh karena itu Saudara-saudara dan para hadirin peserta seminar yang berbahagia, perkenankan saya menyampaikan sedikit pendapat dari Bank Indonesia mengenai pentingnya kita semua sebagai pewaris bangsa untuk mempelajari seluk beluk sejarah numismatika.


PENTINGNYA PEMBELAJARAN NUMISMATIK

Sebagai generasi penerus dari founding fathers bangsa Indonesia, sudah selayaknya perlu memahami sejarah perjuangan bangsa yang dapat memberikan motivasi dan inspirasi dalam melangkah menghadapi tantangan ke depan. Kita semua tahu mengenai perjalanan panjang dari pendahulu kita yang diwariskan bukan hanya melalui cerita yang sering kita dengar dari para tokoh sejarah, atau dalam wujud tulisan saja, tapi juga mungkin sebagian dari kita memiliki orang tua atau lingkungan yang bisa memberikan gambaran mengenai begitu banyak warisan-warisan sejarah bangsa Indonesia. Dalam kenyataan hidup sehari-hari kita setiap saat tentunya akan selalu berhubungan dengan alat tukar uang, dan tanpa kita sadari bahwa sekeping atau selembar uang dapat menceritakan berbagai aspek sejarah perjalanan bangsa. Tentunya untuk mendalami nilai informasi sejarah dibalik sekeping atau selembar uang apalagi yang sudah berumur lama, dibutuhkan ketrampilan tersendiri dan tentunya ketelitian, kecermatan dan minat tinggi akan pentingnya nilai informasi sejarah yang terkandung didalamnya. Sayangnya banyak diantara generasi muda yang belum berminat untuk mendalami dan melakukan penelitian untuk menguak tirai sejarah dibalik suatu koleksi mata uang atau numismatik. Selain itu, kurangnya sumber referensi buku atau bentuk informasi lainnya sangat kurang mengakibatkan sedikitnya minat publik untuk melakukan penelitian numismatik.

Untuk itu selayaknya kita sebagai generasi penerus bangsa perlu memelihara ikatan perjalanan sejarah bangsa yang diwariskan melalui numismatik, sehingga generasi penerus kita tidak akan kehilangan nilai-nilai sejarah yang dapat diangkat serta makna yang terkandung didalamnya sebagai bekal dalam melanjutkan perjalanan bangsa yang kita cintai ini. Untuk itu agar koleksi numismatik tersebut dapat dinikmati oleh generasi selanjutnya maka perlu dilakukan upaya pelestariannya.


PERAN BANK INDONESIA

Dimana peran Bank Indonesia dalam hal ini? Bank Indonesia memang bertugas mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, tetapi Bank Indonesia sebagai institusi negara tidak terlepas dalam menjalankan peran serta terlibat dalam perjalanan panjang sejarah bangsa ini. Perjalanan sejarah Bank Indonesia, khususnya sejak revolusi kemerdekaan hingga saat ini, seiring dan sejalan dengan perjalanan sejarah kemerdekaan bangsa. Dan untuk mewariskan sejarah Bank Indonesia dan sekaligus mendukung upaya pemerintah dalam melestarikan artefak bersejarah, serta pembelajaran kepada generasi mendatang, Bank Indonesia mendirikan Museum Bank Indonesia atau MBI tempat kita berada saat ini. Memang tujuan utama pendirian Museum Bank Indonesia adalah untuk memberikan pembelajaran kepada masyarakat mengenai sejarah Bank Indonesia dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi dan pelestarian artefak bersejarah yang dimiliki Bank Indonesia.

Salah satu koleksi yang disajikan di Museum Bank Indonesia yang menjadi ikon keberadaan Museum Bank Indonesia adalah koleksi numismatik, dan selalu mengundang tanya pengunjung mengenai sejarah yang melatarbelakangi suatu koleksi uang. Adapun manfaat yang diperoleh melalui penyajian koleksi numismatik adalah memberikan pembelajaran kepada masyarakat mengenai informasi sejarah suatu koleksi uang, terkait dengan kebijakan ekonomi, politik, situasi sosial dan kebudayaan suatu masyarakat pada masa uang tersebut beredar.

Hadirin dan para peserta seminar yang berbahagia,
Untuk memberikan pembelajaran mengenai bagaimana kita mendalami dan mempelajari informasi yang ada dibalik mata uang kuno, dan upaya pelestariannya, Museum Bank Indonesia mengundang Saudara-saudara semua baik untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai penggalian sejarah dan pelestarian numismatik. Saya berharap seminar ini dapat meningkatkan kerjasama dan komunikasi antar sesama pengelola museum dan pihak terkait lainnya. Saya juga mengharapkan agar informasi yang diperoleh selama seminar ini dapat dilanjutkan dan disebarluaskan kepada seluruh masyarakat, khususnya yang terlibat langsung dengan numismatik, sehingga mereka menyadari betapa pentingnya nilai sejarah mata uang, tidak hanya sekedar mengoleksi tanpa mengetahui makna sejarah yang terkandung didalamnya. Saya juga mengharapkan informasi ini dapat disebarkan pula kepada masyarakat awam yang sama sekali belum mempunyai pengetahuan mengenai hal ini, sehingga menimbulkan minat masyarakat terhadap numismatik.

Akhirnya saya berharap agar seluruh peserta bisa memperoleh manfaat dari penyelenggaraan seminar ini. Dan dengan ini saya nyatakan dengan memohon ridho dari Tuhan Yang Maha Esa, seminar ini dibuka, selamat berseminar dan terima kasih.


Wassalamualaikum Wr. Wbr.

Jakarta, 27 Oktober 2009

Seminar Numismatik: Benda Numismatik Sebagai Instrumen Investasi yang Potensial


Oleh: Wisnu Baskoro

Anggota Asosiasi Numismatik Indonesia

Masa lalu adalah sejarah manusia yang hendaknya tidak dilupakan, karena dengan belajar sejarah manusia dapat mengerti riwayat kehidupanya, termasuk baik buruknya. Menarik melihat Indonesia yang dahulu dikenal dengan Nusantara dalam buku Icons of Art-National Museum Jakarta, yang menggambarkan kejayaan dan kemegahan negri ini.

Sebagaimana kita ketahui sejarah sebagai sumber informasi mempunyai arti penting sebagai tolok ukur kemajuan suatu bangsa dan dari fakta sejarah dapat dipetik suri tauladan yang bermanfaat bagi generasi yang lebih muda sebagaimana para ahli sejarah mengungkapkan : ”Melalui sejarah kita dapat menjadi sadar akan hakekat keadaan kita sebenarnya, atau kejadian dimasa lampau memberi makna pada kehidupan kita sekarang dimana kita dapat mengetahui dan dapat mengambil hikmah daripada contoh-contoh keberhasilan maupun contoh kegagalan atau kekurangan.

“Sejarah sebagai suatu peristiwa yang sudah terjadi tidak akan banyak memberi manfaat bagi kehidupan masa kini bila keberadaanya sekadar untuk kepentingan romantisme semata”

Pengungapan sejarah masa lalu memungkinkan untuk ditelusuri dari benda-benda peninggalan yang dapat kita temukan sampai saat ini. Kejayaan Sriwijaya (abad 8-9 M), kemegahan Candi Borobudur, Majapahit dengan Amukti Palapanya, sehingga menjadi kesatuan Nusantara – Indonesia, dll. Bahkan dapat juga ditelusuri dari peninggalan mata uang yang digunakan saat itu. Bidang studi yang mempelajari tentang mata uang, seperti koin, uang kertas, token, dan alat-alat tukar lainya itulah yang disebut NUMISMATIK.

Koleksi-mengoleksi adalah dunia yang unik, yang dapat mempertemukan kecintaan terhadap suatu karya seni dan suatu harapan keuntungan komersial. Benda-benda Numismatik merupakan benda unik yang disetiap jenisnya berlatar belakang sejarah. Tentunya jumlah setiap item dari benda numismatik tidak mungkin bertambah jumlahnya, bahkan dapat dipastikan selalu berkurang, seperti akibat dampak terjadinya Tsunami, Gempa, Rusak/hilang, dlsb.

Seperti kita ketahui dalam Ekonomi pada hukum Supply – Demand (Penawaran – Permintaan), disebutkan bahwa “Semakin supply berkurang, terjadilah peningkatan harga seiring dengannya – Begitu pula sebaliknya”. Bagaimana dengan benda Numismatik yang jumlah keberadaanya SELALU berkurang, otomatis tingkat HARGA selalu meningkat. Hal tersebut ditunjukkan dengan grafik Supply – Demand yang datar dimana mencerminkan selalu terjadinya kenaikan harga.

Seperti tersebut diatas bahwa Numismatik dapat mempertemukan kecintaan terhadap karya seni dan suatu harapan KEUNTUNGAN KOMERSIAL, sehingga Numismatik sangatlah menarik sebagai salah satu INSTRUMEN INVESTASI dan Inilah inti pokok bahasan kita. Begitu luasnya pengetahuan Numismatik dan dengan keterbatasan waktu, kami lebih memfokuskan pada pokok bahasan “NUMISMATIK sebagai INSTRUMEN INVESTASI”.

Dengan kesadaran bahwa Numismatik sebagai instrumen Investasi, yang tentunya dapat mendatangkan keuntungan komersial, akanlah sangat menarik bila ditelusuri lebih jauh. Kita jangan berfikir investasi yang notabene dibenak kita adalah kebutuhan tersedianya dana yang banyak, tidaklah demikian di numismatik. Inilah salah satu keunikan berinvestasi di dunia Numismatik. Bahkan investasi itu dapat dilakukan sebesar UANG JAJAN anak sekolah, yang bisa dilakukan, yang Istilah saya : “Iseng(1)”. – (Saya sebut Kelompok Pertama)

Tunggu dulu, Kelompok iseng ini di numismatik bukanlah iseng sembarang iseng. Dengan perjalanan waktu dan rajin (Disiplin) untuk beriseng ria di numismatik, dalam perjalanannya akan berkembang sebagai “Kolektor(2)” – (Saya sebut Kelompok Kedua). Itulah yang biasanya terjadi proses menjadi kolektor yang umumnya berawal dari iseng, walaupun tidak semua kolektor berawal demikian.

Sebagai Kolektor, umumnya sudah mulai muncul kecintaan terhadap items yang dikoleksinya yang kemudian muncul keingintahuan segalanya tentang benda yang dikoleksi. Disitulah banyak latar belakang sejarah menyertai benda koleksi. Pada akhirnya (biasanya) sifat exclusifisme seorang kolektor akan muncul kemudian.

Tidaklah sadar pada sifat tersebut akan menggiring langkahnya sebagai seorang Investor (dalam tanda kutip). Sifat sejati seorang kolektor yang tidak akan pernah puas, mendorong untuk semakin "dalam" berkoleksi ria, hingga sering terjadi memiliki item yang sama lebih dari satu dan telah menyadari bahwa koleksi mengoleksi mendapatkan kepuasan dan keuntungan komersial. Di tahap inilah saya istilahkan tahap “KolekDol – Kolektor sambil dodolan/Jualan”, Tahap inilah saya sebut sebagai tahap Ketiga (3). Umumnya, walaupun tidak semua, setelah merasakan economic gain (keuntungan), banyak yang beralih menjadi pedagang – Dealer, dan tahap inilah yang saya kelompokan tahap Keempat (4), sedangkan Investor saya namakan tahap Kelima (5).

Dapatlah disimpulkan bahwa sama sekali tidak ada ruginya untuk terjun sebagai numismatis. Disamping mendapatkan kepuasan batin, kita dapatkan pula keuntungan finansial dan juga sebagai alat investasi yang sangat menarik. Jangan tergesa-gesa dengan kalimat “Sangat menarik sebagai instrumen investasi”,.....Boleh kita katakan demikian dengan syarat mutlak satu, yaitu : “KNOWLEDGE IS POWER” (Pengetahuan sebagai kekuatan), hal ini juga sebagai syarat di numismatik untuk tahap 3-4 dan 5 (sebagai Investor), walaupun Knowledge is Power juga berlaku pada semua bidang usaha.

Selamat ber-….. ria (1) – Berkoleksi -ria (2) – BerkolekDol -ria (3) – Ber Dagang -ria - (4) dan Ber-Investasi ria.......... Sadari..."Posisi anda di mana?"

Seminar Numismatik: Sejarah Perkembangan Mata Uang Indonesia


Oleh: Puji Harsono

Numismatis, tinggal di Bandung

Berbicara tentang perkembangan mata uang yang dulu pernah berlaku di wilayah Nusantara, maka ditinjau dari kepemilikan mata uang tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok :

  1. Mata uang atau koin-koin asli buatan lokal, yang dicetak oleh kerajaan-kerajaan atau daerah-daerah tertentu di wilayah Indonesia.
  2. Mata uang yang dimasukkan oleh orang-orang asing, baik pedagang maupun pemerintahan asing yang bertindak sebagai penjajah atau penguasa wilayah Nusantara, untuk dipakai sebagai alat tukar yang sah di wilayah Indonesia. Termasuk juga mata uang yang dicetak di Jawa oleh orang-orang asing tersebut di atas, untuk diedarkan di wilayah Nusantara.

Berdasarkan zamannya, perkembangan mata uang Indonesia dapat dibagi dalam beberapa periode :

1. ZAMAN KERAJAAN HINDU-BUDDHA (850-1300)
  • Kerajaan Mataram Syailendra
  • Kerajaan Daha/Jenggala & Majapahit

2. ZAMAN KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM
  • Kerajaan-kerajaan di Jawa (Banten, Cirebon, Sumenep)
  • Kerajaan-kerajaan di Sumatera (Samudra Pasai, Aceh, Palembang, Jambi)
  • Kerajaan-kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, Maluka)
  • Kerajaan-kerajaan di Sulawesi (Gowa, Buton)

3. ZAMAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
  • Perdagangan dengan Cina (850-1900)
  • Perdagangan dengan VOC (1602-1799)
  • Emergency Coins atau koin-koin darurat

4. ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA, PERANCIS, INGGRIS (1800-1945)
  • Pendudukan Hindia Belanda (1800–1942)
  • Pendudukan Perancis (1806-1811)
  • Pendudukan Inggris (1811-1816)
  • British East India Company di Sumatera
  • Token-token Perkebunan dan Pertambangan
  • Mata uang lainnya

5. ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)

6. ZAMAN PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA (1945 - ---)


1. ZAMAN KERAJAAN HINDU BUDDHA (850–1300 Masehi)

A. Kerajaan Mataram Syailendra

Mata uang Indonesia dicetak pertama kali sekitar tahun 850/860 Masehi, yaitu pada masa kerajaan Mataram Syailendra yang berpusat di Jawa Tengah. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan emas dan perak, mempunyai berat yang sama, dan mempunyai beberapa nominal :
  • Masa (Ma), berat 2.40 gram; sama dengan 2 Atak atau 4 Kupang
  • Atak, berat 1.20 gram; sama dengan ½ Masa, atau 2 Kupang
  • Kupang (Ku), berat 0.60 gram; sama dengan ¼ Masa atau ½ Atak
Sebenarnya masih ada satuan yang lebih kecil lagi, yaitu ½ Kupang (0.30 gram) dan 1 Saga (0,119 gram).

Koin emas zaman Syailendra berbentuk kecil seperti kotak, dimana koin dengan satuan terbesar (Masa) berukuran 6 x 6/7 mm saja. Pada bagian depannya terdapat huruf Devanagari “Ta”. Di belakangnya terdapat incuse (lekukan ke dalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatik, pola ini dinamakan “Sesame Seed”.

Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka dicetak huruf Devanagari “Ma” (singkatan dari Masa), dan di bagian belakangnya terdapat incuse dengan pola “Bunga Cendana”.

Kerajaan Syailendra akhirnya meluaskan wilayahnya hingga ke daerah-daerah Jawa Timur, dimana pelabuhan-pelabuhannya seperti Tuban, Gresik, dan Surabaya, banyak didatangi para pedagang dari manca negara. Jawa Timur dengan pelabuhan-pelabuhannya merupakan daerah maritim, akhirnya semakin maju dibandingkan dengan kerajaan induknya di Jawa Tengah yang merupakan daerah agraris.

Pada zaman Dinasti Tang di Cina (618-907 Masehi), orang-orang Cina mulai berdatangan ke tanah Jawa untuk melakukan perdagangan. Mereka membawa dan memperkenalkan mata uangnya yang disebut Cash atau Caixa, Cassie, Pitje, atau orang Jawa menyebutnya Kepeng atau Gobok, dengan ciri khas terdapat lubang persegi di tengah. Koin-koin Cina ini lambat laun dapat diterima oleh penduduk sebagai alat pembayaran.

Pada kira-kira tahun 928 Masehi, Gunung Merapi meletus dahsyat, yang mengakibatkan rusaknya hampir seluruh sendi-sendi perekonomian kerajaan. Karena alasan itu, di samping semakin majunya daerah Jawa Timur, maka pada 929 diputuskan untuk memindahkan ibukota kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Nantinya Raja Mpu Sendok membagi wilayah Jawa Timur menjadi dua untuk dibagikan kepada dua orang anaknya, menjadi wilayah Daha dan Jenggala.


B. Kerajaan Daha/Jenggala dan Majapahit

Pada zaman Daha dan Jenggala, uang-uang emas dan perak tetap dicetak dengan berat standar, walaupun mengalami proses perubahan bentuk dan desainnya. Koin emas yang semula berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar, sedangkan koin peraknya mempunyai desain berbentuk cembung, dengan diameter antara 13-14 mm.

Pada waktu itu uang kepeng Cina datang begitu besar, sehingga saking banyaknya jumlah yang beredar, akhirnya dipakai secara “resmi” sebagai alat pembayaran, menggantikan secara total fungsi dari mata uang lokal emas dan perak.

Adapun alasan-alasan dari penggantian fungsi ini adalah :
  • ukuran koin emas dan perak lokal terlalu kecil, sehingga mudah jatuh atau hilang. Sedangkan uang kepeng Cina mempunyai lubang di tengah, direnteng dengan tali sebanyak 200 keping, sehingga praktis dibawa ke mana-mana dan tidak mudah hilang.
  • koin emas dan perak lokal adalah mata uang dalam pecahan besar, sedangkan koin-koin kepeng berfungsi sebagai uang kecil atau uang receh, yang sangat dibutuhkan dalam perdagangan. Nilai tukar untuk 1 Masa perak berharga 400 buah Chien. Pada akhir abad ke-9, dengan 4 Masa perak saja bisa membeli seekor kambing.

Sebenarnya koin-koin emas dan perak yang sudah mengalami perubahan bentuk adalah produk dari Daha dan Jenggala. Namun karena Kerajaan Majapahit (1293-1528) pada waktu itu merupakan kerajaan besar di Asia Tenggara, maka biasanya orang menamainya sebagai uang Majapahit. Padahal sejak akhir abad ke-13, mata uang “resmi” yang dipakai sebagai alat pembayaran adalah koin-koin kepeng Chien.

Namun pada zaman Majapahit ini dikenal koin-koin yang disebut “Gobog Wayang”, dimana untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Thomas Raffles, dalam bukunya The History of Java. Bentuknya bulat dengan lubang tengah karena pengaruh dari koin cash dari Cina, ataupun koin-koin serupa yang berasal dari Cina atau Jepang. Koin gobog wayang adalah asli buatan lokal, namun tidak digunakan sebagai alat tukar. Sebenarnya koin-koin ini digunakan untuk persembahan di kuil-kuil seperti yang dilakukan di Cina ataupun di Jepang sehingga disebut sebagai koin-koin kuil. Setelah redup dan runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur (1528), Banten di Jawa bagian barat muncul sebagai kota dagang yang semakin ramai.


2. ZAMAN KERAJAAAN-KERAJAAN ISLAM

A. Kerajaan-kerajaan di Jawa (Banten, Cirebon, Sumenep)

Mata-uang dari KESULTANAN BANTEN pertama kali dibuat sekitar 1550-1596 Masehi. Bentuk koin Banten mengambil pola dari koin cash Cina yaitu dengan lubang di tengah, dengan ciri khasnya 6 segi pada lubang tengahnya (heksagonal). Inskripsi pada bagian muka pada mulanya dalam bahasa Jawa: “Pangeran Ratu”. Namun setelah mengakarnya agama Islam di Banten, inskripsi diganti dalam bahasa Arab, “Pangeran Ratu Ing Banten”. Terdapat beberapa jenis mata-uang lainnya yang dicetak oleh Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga ataupun dari timah, seperti yang ditemukan pada akhir-akhir ini.

Mata-uang dari KESULTANAN CIREBON dibuat sekitar 1710/1760, saat berkuasa Sultan Sepuh. Koin dengan bahan dari timah dengan lubang di tengah itu, pada bagian muka tertulis inskripsi : “Cheribon”.

Berbeda dengan koin-koin Banten dan Cirebon, KESULTANAN SUMENEP di Pulau Madura tidak mencetak mata uangnya sendiri. Mata uangnya diambil dari koin-koin asing (di luar Sumenep), dengan diberi “Countermarked” (cetak tindih). Koin-koin yang digunakan adalah koin-koin Austria, Belanda, Java Rupee, Mexico (Real Bundar), (Real Batu/Cob), dll. Sedangkan cetak tindih yang dipakai, ada beberapa jenis seperti “Bintang Madura”, dengan tulisan Arab “Sumenep”, atau “cap dengan lima kelopak daun”. Koin-koin dengan cetak tindih ini dibuat pada saat bertakhtanya Sultan Paku Nata Ningrat (1811-1854) di Kesultanan Sumenep.


B. Kerajaan-kerajaan di Sumatera (Samudra Pasai, Aceh, Palembang, Jambi)

Mata uang emas dari KERAJAAN PASAI untuk pertama kalinya dicetak oleh Sultan Muhammad yang berkuasa sekitar 1297-1326. Mata uangnya disebut Dirham atau Mas, dan mempunyai standar berat 0,60 gram (berat standar Kupang). Namun ada juga koin-koin Dirham Pasai yang sangat kecil dengan berat hanya 0,30 gram (1/2 Kupang atau 3 Saga). Uang Mas Pasai mempunyai diameter 10–11 mm, sedangkan yang setengah Mas berdiameter 6 mm. Pada hampir semua koinnya ditulis nama Sultan dengan gelar “Malik az-Zahir” atau “Malik at-Tahir”.

Setelah Pasai berhasil ditaklukkan oleh KERAJAAN ACEH pada 1524, sultan-sultan Aceh tetap mengikuti tradisi dari kerajaan Pasai dalam pembuatan mata uangnya. Namun uang Dirham Aceh berdiameter lebih besar, antara 12–14 mm. Pada bagian belakangnya terdapat tulisan Arab “as-Sultan al-adil”, yang artinya Sultan yang adil. Aceh juga membuat mata uang dari timah/timbal, yang disebut “Keueh”, dengan nilai satu Mas sama dengan 400 Keueh.

Kerajaan Aceh pernah memiliki empat Ratu yang memerintah secara berturut selama 60 tahun, dari 1641-1699. Yang pertama adalah Sultanah Safiat ad-Din, anak dari Sultan Iskandar Thani yang meninggal pada 1641. Karena tidak mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah anak perempuannya yang berkuasa sampai dengan 1675. Sultanah Nur al-Alam Naqiat ad-Din Syah Ratu Aceh yang kedua, yang memerintah pada 1675-1678. Penggantinya adalah Sultanah Inayat Syah Zakiat ad-Din Syah yang memerintah pada 1678-1688. Terakhir adalah Sultanah Kamalat Syah. Beliau memegang kekuasaan atas wilayah Aceh pada 1688-1699. Masing-masing ratu tersebut juga mencetak mata uangnya.

Mata uang dari KERAJAAN PALEMBANG dapat dibedakan antara yang mempunyai lubang di tengah, yang disebut dengan pitis “Picis Tebok” (Tebok dalam dialek Palembang berarti “Lubang”). Ada juga yang tidak mempunyai lubang yang disebut dengan “Picis Buntu”.

Picis Palembang dapat dibedakan juga antara yang bertahun dan yang tidak bertahun. Semua mata uangnya terbuat dari timah, kecuali koin yang bertahun AH 1198 (tahun 1774/75 Masehi), ada terbuat dari tembaga merah dan dari timah (berdasarkan temuan terbaru).

KERAJAAN JAMBI di Sumatera juga membuat mata uang picis dari timah. Salah satu koinnya ada yang berbentuk Oktagonal (segi 8), dengan tulisan “Sultan Anom Sri Ingalaga”. Ia mulai memerintah pada 21 Februari 1743.


C. Kerajaan-kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, dan Maluka)

KESULTANAN PONTIANAK mulai didirikan pada 1770, oleh seorang pedagang keturunan Arab bernama Abdul Rahman Alkadrie. Periode pencetakan koin-koin dari kesultanan di Kalimantan Barat ini berkisar tahun 1790-1817.

Koin-koin dari KESULTANAN BANJARMASIN pada umumnya merupakan imitasi dari koin-koin Duit VOC, yang dicetak sewaktu bertakhtanya Sultan Tamjid Illah III (1785-1808). Koin-koinnya mempunyai lambang VOC dan bertahun AH 1221.

Sebenarnya di Kalimantan masih ada satu kerajaan lagi yang jarang diketahui umum, yaitu KERAJAAN MALUKA. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang Raja Putih yang bernama Alexander Hare, seorang petualang bangsa Inggris. Pada mulanya, Hare pada tahun 1812 diberi suatu wilayah kekuasaan oleh Sultan Banjarmasin, dengan kedudukan sebagai Residen. Namun tak lama memerintah, ia segera memperluas wilayah kekuasaannya, dengan membentuk koloni sendiri yang bernama Maluka. Hare mencetak mata uangnya sendiri sebagai mata uang yang sah untuk peredaran di wilayah Maluka, dan juga mendatangkan banyak tenaga kerja dari Jawa yang bekerja sebagai kuli-kuli di pertambangan batu bara. Namun masa pemerintahan Hare di Banjarmasin terhitung tidak terlalu lama, yakni dua tahun saja. Setelah kejatuhan VOC pada tahun 1799, Belanda mulai “mengambil alih” daerah-daerah kekuasaan VOC di Indonesia. Dan pada tahun 1816, pemerintahan Hindia Belanda berhasil menghancurkan koloni Maluka, serta mengusir Hare dari wilayah kekuasaannya.


D. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi (Gowa & Buton)

Mata uang dari KERAJAAN GOWA di Sulawesi Selatan disebut dengan “Dinara”, yang terbuat dari emas. Sultan Alauddin Awwalul Islam yang memerintah Kerajaan Gowa pada tahun 1593-1639, adalah sultan Gowa pertama yang beralih ke agama Islam. Sultan Hasanuddin, yang memerintah pada tahun 1653-1669, dengan gelarnya “I Mallombasi Muhammad Bakir Dg Mattawang Krg. Bontomangape”. Dengan kekalahannya melawan Belanda, Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bungaya tanggal 18 November 1667. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa wilayah Minahasa, Butung dan Sumbawa yang tadinya termasuk dalam wilayah Kesultanan Gowa harus diserahkan kepada VOC. Dan semua pedagang-pedagang Eropa selain dari VOC, dilarang untuk melakukan perdagangan di wilayah bagian timur tersebut.

KERAJAAN BUTON di Sulawesi Tenggara, mempunyai bentuk mata uang unik yang terbuat dari kain. Mata uang ini dinamakan “Kampua”. Menurut legendanya, Kampua diciptakan pertama kali oleh Ratu Buton yang kedua, Bulawambona, yang memerintah sekitar abad XIV.

Proses pembuatan dan peredaran Kampua, mandat sepenuhnya diserahkan kepada Menteri Besar atau yang disebut ‘Bonto Ogena’. Dialah yang akan melakukan pengawasan serta pencatatan atas setiap lembar kain Kampua, baik yang telah selesai ditenun maupun yang sudah dipotong-potong. Pengawasan oleh ‘Bonto Ogena’ juga diperlukan agar tidak timbul pemalsuan-pemalsuan, sehingga hampir setiap tahunnya motif dan corak Kampua akan selalu diubah-ubah.

Adapun standar pemotongan kain Kampua adalah dengan mengukur panjang dan lebar Kampua, dengan cara: ukuran empat jari untuk lebarnya, dan sepanjang telapak tangan mulai dari tulang pergelangan tangan sampai ke ujung jari tangan, untuk panjangnya. Sedangkan tangan yang dipakai sebagai alat ukur adalah tangan sang Menteri Besar atau ‘Bonto Ogena’ itu sendiri.

Pada awal pembuatannya, standar yang dipakai sebagai nilai tukar untuk satu ‘bida’ (lembar) Kampua adalah sama dengan nilai satu butir telur ayam. Setelah Belanda mulai memasuki wilayah Buton kira-kira tahun 1851, fungsi Kampua sebagai alat tukar lambat laun mulai digantikan dengan uang-uang buatan “Kompeni”. Nantinya nilai tukar untuk 40 lembar Kampua sama dengan 10 sen duit tembaga, atau setiap 4 lembar Kampua hanya mempunyai nilai sebesar 1 sen saja! Walaupun demikian, Kampua tetap digunakan pada desa-desa tertentu di Kepulauan Buton sampai 1940.


3. ZAMAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Dalam penggolongan zaman perdagangan internasional ini sebenarnya bukan hanya orang-orang Cina dan VOC (Belanda) yang berdagang di Jawa, tapi kedua bangsa itulah yang paling dominan dalam melakukan perdagangan di Jawa. Dan dari mata uang Cash Cina dan mata-uang “kompeni” inilah yang telah memberikan pengaruh yang sangat besar bagi sejarah dan perkembangan numismatik di Indonesia.

A. Perdagangan dengan Cina (850-1900)

Pada awalnya, pedagang-pedagang Cina mulai banyak masuk ke tanah Jawa kira-kira pada zaman dinasti Tang di Cina (618-907 Masehi). Mereka dengan jung-jungnya (kapal Cina), mendarat di pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur, seperti Tuban, Gresik dan Surabaya. Pada waktu itu Jawa Timur terkenal dengan produksi ladanya. Dalam melakukan perdagangannya, orang-orang Cina memperkenalkan dan menggunakan koin-koin tembaga yang disebut dengan “Chien” atau “Cash”, yang akhirnya diterima oleh penduduk sebagai alat pembayaran. Zaman Dinasti Sung di Cina (960-1279) adalah puncak-puncaknya dimana banyak sekali orang-orang Cina yang datang ke Jawa untuk berdagang, sambil membawa uang-uang kepengnya dalam jumlah besar.

Ma Huan, seorang Islam sebagai juru tulis Laksamana Cheng Ho, mencatat keadaan pada tahun 1405. Dalam bukunya “Ying Yai Sheng Lan” yang terbit tahun 1416, dikatakan bahwa :
“Koin-koin Cina dari berbagai dinasti umum digunakan disini”….. “Dalam melakukan transaksi, pembayarannya memakai koin-koin cash tembaga Cina dari berbagai dinasti”…. “Orang-orang di sini (Jawa Timur) sangat senang dengan porselin-porselin Cina dengan motif hijau bunga, kain sutera, manik-manik dll. Mereka membelinya dengan uang-uang cash”….

Karena uang Chien banyak diekspor ke Jawa, maka pada zaman Dinasti Ming di Cina (1368-1644), terjadi keguncangan moneter akibat langkanya uang kecil. Akhirnya pemerintah Ming melakukan larangan ekspor uang Ch’ien ke luar negeri, termasuk ke Jawa. Sebagai gantinya VOC mengimpor koin-koin kepeng dari negara-negara lain, seperti Jepang, Korea dan Vietnam. Tahun 1723 Jepang akhirnya menghentikan ekspor uang cash.

Sebagai pengganti uang Chien yang dilarang diekspor oleh Kaisar Ming, pada sekitar 1590 mulai beredar koin-koin picis dari timah atau timbal (lead). Uang picis ini dibuat di Cina, diangkut bersamaan dengan kedatangan kapal-kapal Jung dengan berat rata-rata 200-300 ton. Kapal-kapal tersebut sebanyak 15-20 kapal setahunnya, datang pada bulan November atau Desember, dan akan kembali ke Cina pada bulan Juni tahun berikutnya, dengan membawa rempah-rempah yang dibelinya dari Banten. Sebanyak 12-13 ribu picis seharga satu dollar Spanyol, yang dapat membeli merica sebanyak 8 kantong. Di Indonesia, hanya Bali yang tetap menggunakan koin cash Cina dalam bertransaksi, bahkan masih dipakai sampai dengan pada tahun 1950.


B. Perdagangan dengan VOC (1602-1799)

Tahun 1595 untuk pertama kalinya kapal-kapal Belanda menginjak daratan Indonesia. Ekspedisi ini dikepalai oleh dua bersaudara, Cornelis dan Frederick de Houtman, dan mendarat di pelabuhan Banten. Mereka membawa koin-koin perak untuk dipakai membeli rempah-rempah, baik yang dinamakan Real Batu ataupun Real Bundar. Namun mereka kecewa karena uang yang dipakai di Banten adalah picis-picis dari timbal.

Dari ekspedisi awal ini akhirnya dua perusahaan Belanda, yaitu United Amsterdam Company (1594-1602) dan United Zeeland Company (1597-1602), ikut meramaikan pencarian rempah-rempah ke wilayah Nusantara. Mereka juga mencetak mata uangnya sendiri guna dipakai sebagai alat pembayaran, dengan tahun 1601/1602. Perlombaan mencari rempah-rempah ini akhirnya menimbulkan persaingan usaha, yang pada akhirnya malah merugikan bisnis mereka sendiri. Pada bulan Maret 1602, kedua perusahaan tersebut dilebur, dan didirikan sebuah perusahaan dagang baru yang dinamakan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).

Karena seringnya terjadi kekosongan mata uang kecil, maka tahun 1726 VOC meminta kepada induknya di Belanda untuk dibuatkan koin-koin bernilai kecil, yang disebut Dute, Doit atau Duit. Duit VOC ini dinyatakan tidak berlaku di negeri induknya Belanda, dan hanya diedarkan untuk daerah-daerah dimana VOC berada. Namun peredaran duit tembaga ini cukup luas karena diedarkan juga di wilayah-wilayah Coromandel, Cochin, Malaka dan Ceylon.

Pada tahun 1743, VOC melakukan perjanjian dengan kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah pemberian hak kepada VOC untuk mencetak mata uangnya sendiri. Uang yang dicetak ini dikenal dengan nama “Derham Djawi” atau “Java Ducat” atau “Gold Rupee” (untuk koin emas), dan “Silver Java Rupee” (untuk koin peraknya).

Koin yang pertama kali dibuat VOC di percetakan uang di Batavia adalah Dirham Jawi dengan tahun 1744. Pada bagian muka terdapat tulisan dalam bahasa Arab: “Ila djazirat Djawa al-kabir”, sedangkan di bagian belakangnya : “Derham min Kompani Welandawi”. Yang artinya : “Uang milik perusahaan Belanda untuk Pulau Jawa Besar”.

Pada tahun 1799 VOC akhirnya dinyatakan bangkrut. Semua harta dan kekuasaannya diambil alih oleh pemerintahan Belanda, dan dimulailah babak baru masa penjajahan Belanda yang sesungguhnya.


C. Emergency coins atau mata-uang darurat

Mata uang darurat dibuat bila tidak tersedianya uang pecahan kecil dalam jumlah yang mencukupi. Hal ini terjadi jika tidak adanya kiriman koin-koin Duit dari Belanda, atau belum datangnya jung-jung Cina yang biasa menyuplai koin-koin picis.

Salah satu bentuk uang darurat adalah yang dinamakan “Bonk”, yang dibuat dengan cara memotong batangan-batangan tembaga Jepang. Potongan tembaga itu dicap pada kedua sisinya dengan berat yang standar, dan dicetak dalam beberapa pecahan, seperti ½, 1 atau 2 Stuiver.

Pada tahun 1796 dan 1797 dicetak juga doit-doit darurat yang terbuat dari timah, dan beredar bersamaan dengan Bonk. Pada bagian sebelah muka terdapat lambang VOC dan huruf “N” di atasnya (singkatan dari Nederlansche). Di bagian belakangnya tertulis : 1 Duit 1796 atau 1797. Karena doit-doit palsu dari timbal (lead) banyak beredar, maka duit timah itu ditarik dari peredarannya untuk dilebur kembali, yang mengakibatkan duit-duit timah itu menjadi langka sekali. Koin-koin darurat dalam pecahan Stuiver juga dicetak pada tahun 1799 dan 1800. Koin-koin ini terbuat dari campuran dua bahan, yaitu perunggu dari leburan meriam-meriam yang telah rusak, yang dicampur dengan timbal. Pada sisi muka dicetak : JAVA 1799/1800, dan di baliknya dicetak : 1 Stuiver.


4. ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA, PERANCIS, INGGRIS (1800-1942)

A. Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1942)

Setelah VOC dinyatakan bangkrut pada tahun 1799, maka pemerintahan Belanda mengambil oper seluruh harta dan kekuasaan VOC. Mulailah zaman pendudukan Belanda di Indonesia dalam arti yang sebenarnya, dimana Belanda mulai menginvasi daerah-daerah yang dulunya tidak terjangkau oleh VOC. Tahun 1825-1830 di Jawa (bagian Tengah dan Timur) timbul perang besar yang dikenal dengan nama “Perang Jawa” atau “Perang Diponegoro”.

Akibat perang yang berkepanjangan ini, kas Belanda menjadi kosong. Untuk memenuhi pundi-pundinya, maka van den Bosch memperkenalkan apa yang disebut dengan “Cultuur Stelsel” atau “Tanam Paksa”. Dalam periode ini, dicetak berjuta-juta keping mata uang dengan pecahan Satu dan Dua Sen.

Koin perak 2.5 Gulden baru dibuat pada tahun 1840 setelah dilakukan standarisasi pada mata uang pada pemerintahan Raja Willem I. Berbagai macam mata uang baik emas, perak, dan tembaga juga dibuat pada masa-masa pemerintahan Raja Willem II, Willem III, atau Wilhelmina.

Pada masa pemerintahan Raja Willem II (1840-1849), percetakan uang di Batavia dan di Surabaya ditutup untuk selama-lamanya. Batavia ditutup pada bulan Januari 1843, sedangkan Surabaya pada akhir tahun 1843. Dengan ditutupnya percetakan uang di Jawa, maka sejak saat itu semua mata uang dikirim langsung dari negeri Belanda.

Pada zaman Raja Willem III (1849-1890), pernah dicetak koin perak dengan nilai 1/20 Gulden (Kelip). Koin ini bentuknya sangat kecil sekali, sehingga tidak diproduksi kembali setelah cetakan kedua tahun 1855. Koin-koin Sen dari tembaga juga dicetak, dengan pecahan 1 dan 2 ½ Sen. Pada masa-masa inilah koin cash Cina mulai ditinggalkan pemakaiannya. Koin tembaga 2 ½ sen disebut sebagai uang “Gobang” atau “Benggol”, dan mempunyai fungsinya yang lain, yaitu sebagai alat “Kerokan”.

Pada waktu bertakhtanya Ratu Wilhelmina (1890-1948), timbul perang dunia kedua, dimana tahun 1940 Jerman menginvasi serta menduduki Belanda. Keluarga kerajaan termasuk Ratu Wilhelmina lari ke Inggris dengan memakai kapal kargo. Di tempat pelariannya itu, Ratu membentuk “pemerintahan dalam pengasingan”. Pada masa perang itu, koin-koin tahun 1941-45 dicetak di Amerika, dengan tambahan huruf kecil pada bagian belakang bawah. Huruf “D” adalah singkatan dari “Denver” (1943-1945); “P’ adalah “Philadelphia” (1941-1945); dan “S” untuk “San Francisco” (1944-1945). Pada tahun 1945, setelah kekalahan Jerman, Ratu kembali ke negerinya Belanda. Namun pada tanggal 17 Agustus 1945 negara jajahannya di bagian timur telah memproklamasikan kemerdekaannya menjadi Republik Indonesia.


B. Pendudukan Perancis (1806-1811)

Pada tahun 1806, Perancis menduduki Belanda, yang menyebabkan transfer kekuasaan atas seluruh wilayah yang diduduki Belanda. Karena pendudukan Perancis dilakukan di negeri Belanda, maka pengaruh secara langsung terhadap pendudukan Indonesia sangat kecil sekali. Seluruh kontrol pemerintahan di Indonesia tetap dipegang oleh orang-orang Belanda. Tahun 1806 Napoleon mengangkat saudaranya Louis sebagai raja di Belanda. Pada masa itu koin-koin Perancis 2 Stuivers (Sols) dan 1 Stuiver (12 Deniers) ditetapkan berlaku di wilayah Hindia Belanda.

Pada tahun 1808 H.W. Daendels datang untuk menempati posnya sebagai Gubernur Jendral yang baru di Hindia Belanda. Daendels memerintahkan agar koin-koin dicetak dengan nama raja L.N. (Louis Napoleon), baik dengan huruf Blok maupun dengan Hiasan (Ornate). Tahun 1809 Daendels memerintahkan untuk membongkar seluruh tembok-tembok yang mengelilingi Batavia, termasuk puri-purinya, serta menimbun parit-parit yang ada di sekeliling kota. Daendels juga membuka percetakan mata uang yang baru di Surabaya, yang mengakibatkan percetakan uang Batavia menjadi mandeg.

Adapun koin pertama yang dicetak di Surabaya adalah duit tembaga dengan tulisan “JAVA 1806” serta lambang VOC di baliknya. Walaupun tertera tahun 1806, namun koin itu sendiri baru dicetak pada bulan Februari 1807.

Pada tahun 1811 Inggris menginvasi Jawa, dan berhasil mengalahkan Belanda. Mulailah babak baru pendudukan Inggris terhadap Indonesia selama lima tahun ke depan.


C. Pendudukan Inggris (1811-1816)

Pada tanggal 4 Agustus 1811, kapal-kapal Inggris mendarat di teluk Batavia, yang akhirnya dapat merebut Jawa, sehingga Belanda harus menyerahkan koloninya kepada Inggris. Berbeda dengan pendudukan Perancis terhadap Belanda, pendudukan Inggris dilakukan secara langsung, dimana wilayah Nusantara berada dalam kekuasaan Inggris. Untuk pertama kalinya diangkat Sir Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal.

Satu seri koin menarik yang dicetak pada masa pendudukan Inggris adalah koin Java Rupee yang terbuat dari emas dan perak. Pada bagian depannya ditulis dalam bahasa Jawa kuno, “Kempni Hingglis, jasa hing Sura-pringga. Tahun Ajisaka AS 1741”. Sedangkan di baliknya tertulis dalam bahasa Arab Melayu : “Hinglish, sikkah kompani, sannah AH 1229 dhuriba, dar djazirat Djawa”.

Semua koin pada masa pendudukan Inggris dicetak di Surabaya, kecuali koin-koin darurat Doit Java dari timah murni Bangka dengan tahun 1813 dan 1814, yang dicetak di Batavia. Setelah kekalahan Napoleon di Eropa, maka berdasarkan perjanjian Wina tahun 1814 Inggris harus mengembalikan Jawa dan daerah lainnya kepada Belanda. Penyerahan koloni itu sendiri baru dilaksanakan Inggris pada tanggal 16 Agustus 1816.


D. British East India Company di Sumatera

Inggris mempunyai pusat perdagangannya di Bencoolen (Bengkulu), dengan membangun benteng dengan nama “FORT YORK”. Karena benteng dibakar oleh penduduk pada sekitar tahun 1700, maka tahun 1719 Inggris pindah ke benteng barunya yang bernama “FORT MARLBRO” (atau Fort Marlborough).

Pada tahun 1797 Inggris mencetak mata uangnya dengan nilai ½ Dollar, dengan tulisan FORT MARLBRO di sisi baliknya. Lalu pada bulan Maret 1818 ditunjuk Sir Stamford Raffles untuk menduduki posnya yang baru di Bengkulu. Berdasarkan perjanjian tanggal 17 Maret 1824, maka Inggris harus menyerahkan Bengkulu dan semua pendudukannya di pantai barat Sumatera kepada Belanda. Sedangkan Belanda menyerahkan Malaka ke tangan Inggris, dan membolehkan Inggris mendirikan koloni di Singapura.

Para pedagang Inggris di Singapura juga membuat mata uangnya sendiri untuk diedarkan di wilayah Sumatera dan Sulawesi, seperti Keping-keping Minangkabau, Aceh, Tanah Melayu, Uang Ayam, dan sebagainya.


E. Token-token perkebunan dan pertambangan

Pada zaman pemerintahan Belanda, banyak token yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan, tidak hanya di Jawa, Sumatera, Bangka, Kalimantan, bahkan juga di pulau Bacan Ternate. Yang disebut Token adalah mata uang yang biasanya dibuat oleh pihak swasta, dan hanya mempunyai area peredaran yang sangat terbatas. Token hanya berlaku pada area dimana token tersebut diedarkan; di luar area tersebut token sama sekali tidak mempunyai nilai.


F. Mata-uang lainnya

Selain beraneka-ragamnya mata uang yang telah diceritakan di atas, masih banyak mata uang lainnya yang dulu pernah beredar di bumi Indonesia ini. Sejak zaman VOC, Belanda dan Inggris, digunakan juga mata uang asing, seperti uang Spanyol dan dari negara-negara jajahannya seperti Meksiko, Bolivia, Peru, Brasil, dll, juga dari negara-negara India, Persia, Austria, Amerika, Cina dan Jepang (mata uang perak modern), Hong Kong, Sarawak, Straits Settlements, dll. Kesemua mata uang di atas sampai sekarang masih dapat ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia.


5. ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)

Pendudukan Jepang di Indonesia hanya berlangsung selama tiga setengah tahun. Jepang banyak mencetak mata uang kertas, dan hanya satu seri koin yang dicetak, yaitu pecahan 1, 5 dan 10 Sen. Semuanya dicetak dengan tahun Jepang 2603 dan 2604 (1943 dan 1944 Masehi), yang dituangkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Militer Jepang No. 2 tertanggal 8 Maret 2602 (1942). Koin pecahan 1 dan 5 Sen terbuat dari Aluminium, sedangkan koin nominal 10 Sen terbuat dari timah. Pada koin-koin nominal 5 dan 10 Sen, di bagian muka terdapat gambar Wayang, sedangkan nominal 1 Sen terdapat gambar kepala wayang. Di bagian belakangnya terdapat tulisan Jepang, JAVA, Nominal (Sen), dan tahun Jepang 2603/04.


6. ZAMAN PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA (1945- ---)

Pada tahun-tahun awal setelah proklamasi kemerdekaan, banyak dicetak uang kertas seri ORI (Oeang Repoeblik Indonesa), dan uang-uang darurat yang dicetak oleh daerah-daerah (URIDA), tanpa satupun dicetak koin-koin sebagai mata uang.

Koin Indonesia dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1951. Koin ini terbuat dari aluminium dengan pecahan 5 Sen, dengan lubang pada bagian tengahnya. Koin aluminium pecahan 10 Sen (tanpa lubang) dengan gambar Garuda dicetak pada tahun 1951 juga. Berikutnya pada tahun 1952 dicetak koin-koin dengan pecahan 1 Sen (yang mempunyai desain sama dengan pecahan 5 Sen bolong) dan pecahan 25 Sen. Pada tahun yang sama juga dicetak koin dengan pecahan 50 Sen dengan gambar Dipanegara.

Seri koin-koin dengan gambar Sukarno juga dicetak untuk peredaran khusus di Kepulauan Riau. Koin-koin dengan tahun 1962 (dicetak tahun 1963) ini terbuat dari aluminium, dan terdiri dari pecahan 1, 5, 10, 25, dan 50 Sen. Koin-koin ini ditarik dari peredaran dan dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 30 September 1964. Pada pinggiran semua koin seri Kepulauan Riau ini, tertera inskripsi “KEPULAUAN RIAU”.

Pada masa pembebasan IRIAN BARAT, juga dicetak koin-koin seri Sukarno yang dicetak khusus untuk peredaran di Irian Barat, dan semuanya bertahun 1962 (dicetak tahun 1964). Namun akhirnya dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 31 Desember 1971.

Pada masa pemerintahan Suharto (1967-1998), banyak sekali koin-koin menarik yang dicetaknya, seperti koin-koin peringatan 25 tahun kemerdekaan, seri-seri binatang, koin-koin emas, dll.


PATOKAN NILAI TUKAR MATA UANG ZAMAN DULU
  • 1 Silver Dukaton = 3 Gulden = 60 Stuiver = 240 Duit
  • 1 Gulden = 20 Stuiver = 80 Duit.
  • 1 Dirham emas / Dirham Jawi = 16 Silver Rupee (atau = 16 Gulden)
  • 1 Stuiver = 4 Duit

ISTILAH-ISTILAH MATA UANG
  • 2 ½ Gulden = Ringgit
  • 1 Gulden = Rupiah
  • ½ Gulden = Ukon
  • ¼ Gulden = Talen atau setalen
  • 1/10 Gulden = Ketip
  • 1/20 Gulden = Kelip

Seminar Numismatik: Sejarah Uang Kertas Indonesia


Oleh: Alim Artadjaja Sumana

Numismatis dan Pengamat Sejarah


ZAMAN PEMERINTAHAN BELANDA 1610 – 1811

Masa awal perkembangan uang kertas di Indonesia tak lepas dari pengaruh imperialisme asing (Belanda, Inggris, dan Jepang). Sejak kedatangan bangsa-bangsa asing, terutama para pedagang yang memperkenalkan berbagai jenis mata uang logam asing sebagai alat pembayaran dalam perdagangan dengan penduduk setempat sampai pengedaran mata uang logam khusus berlaku di kepulauan Nusantara 1602-1799, tidak dipergunakan uang kertas. Meskipun kertas telah dikenal di Indonesia pada abad XVII, sumber-sumber tertulis asing terutama dari bangsa Belanda dengan perwakilan dagang dan kekuasaannya Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) 1602–1799 tidak pernah menyebutkan penggunaan uang kertas tetapi uang logam sebagai alat pembayaran utama di kepulauan Nusantara.

Terkecuali, satu-satunya sumber tertulis Belanda yang melaporkan penerbitan uang kertas darurat oleh penguasa VOC di Pulau Banda pada 1659, dikarenakan kesulitan uang kecil dari bahan logam. Beberapa waktu setelah pengeluaran uang kertas karton darurat Kota Leiden 1576 dan saham pertama VOC di dunia 1606. Uang kertas Banda 1659 ini mendahului penerbitan uang kertas modern bangsa-bangsa barat: Swedia 1661, Inggris 1694, Norwegia 1695, dan Perancis 1701.

Selama masa kekosongan yang panjang (1659-1782) Bank pertama Bataviaasch Bank Courant (1746) dan Bank Van Leening mengeluarkan surat-surat bank dalam berbagai pecahan (1748-1752). Beberapa tahun sebelum pembubarannya, VOC menyadari perlunya alat pembayaran dari kertas untuk transaksi besar yang dikenal sebagai “Surat Hutang Kompeni” (Compagnie Kredietbrieven) pada 1782. Instrumen moneter ini sering dianggap sebagai uang kertas pertama di Indonesia. Pada waktu yang hampir bersamaan penguasa VOC di Ceylon (Srilanka) juga menerbitkan instrumen sejenis pada 1785 dan seterusnya. Uang “Surat Hutang Kompeni 1782” ini beredar dalam jumlah hampir tidak terbatas sehingga turun nilainya menjadi 85%. Antara tahun 1782-1799, VOC mengeluarkan beberapa emisi surat Hutang (Kredietbrieven) dengan pecahan berbeda-beda. Pemalsuan atas Surat Hutang 1782 ini merupakan yang pertama kali di Indonesia.

Setelah pengambilalihan kekuasaan VOC di Indonesia oleh Republik Batavia (1799-1806) tidak ada penerbitan Surat Hutang oleh pemerintah pusat di Batavia, hanya uang logam India Batavia (1799-1806) yang berlaku umum. Di lain hal surat hutang VOC di Amboina 1805, yang juga berlaku di Banda dan Ternate sebagai Bagian Pemerintahan Maluku, masih memakai lambang VOC. Ketika Indonesia berada di bawah pengawasan kerajaan Hollandia (1806-1811), uang kertas tidak hanya diterbitkan oleh Pemerintah Pusat di Batavia, tetapi juga oleh Pemerintah Lokal di Ambon, Banda, dan Ternate. Pada masa ini, semua jenis uang logam dan kertas menampilkan lambang (monogram) LN (Lodewijk Napoleon). Yang terkenal di antaranya adalah uang kertas Probolinggo (Probolinggo Paper) 1810, yang berkaitan dengan kebijakan Gubernur Jenderal Mr. HW Daendels (1808-1811) menjual tanah negara dan hak kekuasaannya kepada perorangan. Uang kertas Probolinggo 1810 merupakan hipotik Han Tik Ko, Kapitan Cina (1799-1811) di Pasuruan, yang dapat ditukar dengan perak selama 10 tahun. Kenyatannya uang Probolinggo mengalami inflasi sampai 50% di bawah nominal. Usul Daendels tidak efektif bahkan penggantinya Letnan Gubernur Raffles (1811-1816) yang memberlakukan kurs ketat menyebabkan penurunan nilainya s.d. 60%.


ZAMAN PEMERINTAHAN INGGRIS 1811-1816

Pemerintah Letgub Raffles (1811-1816) menghadapi masalah kesulitan keuangan yang diwariskan oleh Gubjen Daendels (1808-1811). Pembukuan dilakukan dalam Dollar Spanyol pada awalnya tetapi segera digantikan oleh Rupee dan Ropi Jawa (Java Rupee) sebagaimana terlihat di atas uang kertas terbitan Inggeris (termasuk oleh Lombard Bank 1814). Tampaknya masa yang singkat ini, hanya sedikit jumlah uang kertas yang dikeluarkan seperti halnya uang logam pecahan besar.


ZAMAN PEMERINTAHAN BELANDA 1816-1942

Pada masa ini terlihat perubahan mendasar atas bahan kertas dan corak penciptaan “Creatie 1815” sebagai uang kertas kredit pemerintah mirip dengan uang kertas Creatie Suriname 1829. Peredaran uang kertas Creatie 1815 tidak luput dari pemalsuan karena kesederhanaannya. Penerbitan uang kertas mirip cek Javasche Bank 1827 dicetak untuk pertama kalinya oleh percetakan Johan Enschede en Zonen (Belanda). Selanjutnya Javasche Bank menerbitkan uang kertas tembaga (Koperpapier) dan uang tembaga (Kopergeld) 1832, 1842, dengan corak mirip uang kertas Suriname 1826 dan uang Belanda Muntbiljet 1845. Sejak penerbitan uang kertas Koperpapier ini, huruf Jawa tercantum seterusnya s.d. menjelang emisi terakhir Javasche Bank 1946, terkecuali terbitan Departemen Keuangan Muntbiljet, juga untuk pertama kalinya ‘tanda air’ (watermark) digunakan sebagai alat pengaman.

Pada 1846 diterbitkan uang kertas baru ‘Resepis Perak’ (Zilver Recepissen) oleh Javasche Bank. Tidak seperti penerbitan sebelumnya, tanda tangan pengesahan untuk beredar bukan oleh pejabat Javasche Bank tetapi oleh Pejabat Kantor Pemeriksaan Keuangan Umum (Algemeene Rekenkamer). Uang Resepis Perak ini beredar dalam jumlah besar sehingga untuk melawan peredaran uang tembaga yang berkelebihan dan buruknya uang kertas Resepis Perak, maka uang logam yang beredar di Hindia Belanda pada masa pemerintahan Raja Willem III (1849-1890) dicetak di percetakan Utrecht, Belanda. Berkali-kali reformasi keuangan telah dilakukan, namun tidak menghasilkan keuangan yang sehat. Tahun 1851 Javasche Bank masih menerbitkan uang kertas berbentuk cek, seperti emisi Kopergeld 1832 dan 1842. Semua uang kertas Javasche Bank terbitan-terbitan awal terbatas luas daerah peredarannya.

Tahun 1864 Javasche Bank menerbitkan uang kertas sesungguhnya seperti halnya uang kertas semasa sekarang ini, dimana sarat dengan corak hiasan sebagaimana uang klasik lainnya. Pencantuman teks undang-undang dalam 4 bahasa (Belanda, Arab Melayu, Jawa, Cina) menunjukkan bahasa dan tulisan yang paling dominan dipakai oleh masyarakat di Hindia Belanda waktu itu. Peredaran uang kertas ini tidak begitu disukai di Sumatera Barat. Unsur pengaman mulai ditambahkan pada nomor seri dan kode kontrol. Namun uang kertas ini tidak luput dari pemalsuan.

Mulai 1873 beredar emisi Javasche Bank yang baru dengan ciri-ciri utama corak hiasan bingkai kayu dan lambang kota Batavia. Menjelang akhir penutupan abad XIX, beredar uang kertas perusahaan lokal (scrip) seperti NIEM 1861 (BDN), Brown & Co. 1890, NHM 1888 (Bank Eksim) dan sejumlah besar perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur dan Jawa Barat, yang dikenal sebagai uang kupon perkebunan ± 1889 dan seterusnya. Akhir abad XIX, Javasche Bank menerbitkan uang kertas emisi 1897 (seri Coen-Mercurius) bercirikan lambang kota Surabaya, Batavia, dan Semarang serta panorama pesisir laut di antara Dewa Merkurius dan Gubernur Jenderal J.P. Coen (1623, 1627-1629). Semua uang kertas klasik di atas peredarannya masih terpusat di Pulau Jawa. Selanjutnya uang kertas kolonial terbitan abad XX terlebih dengan diundangkannya larangan menggunakan uang asing selain mata uang Hindia Belanda, dapat dikatakan beredar merata di luar Pulau Jawa.

Selanjutnya terjadi pembagian hak penerbitan uang kertas dan logam antara Javasche Bank dan Departeman Keuangan (Departement van FinanciĆ«n) yang berlaku hingga pemerintahan RI (Orde Lama). Alhasil Departemen Keuangan menerbitkan uang kertas pecahan kecil (di bawah 5 Gulden) pada tahun 1919, 1920, 1940, dan 1943. Penerbitan uang kertas Javasche Bank bercirikan gambar gedung JB dan logo JB tampaknya sebagai persiapan memperingati 100 tahun JB (1828–1928). Terbitan tahun 1925 (seri Coen) tidak luput dari pemalsuan karena kemajuan teknologi percetakan.

Menjelang Perang Dunia II terjadi perubahan kebijakan politik Belanda, dimana lambang kolonial digantikan dengan unsur-unsur corak pribumi. Penerbitan uang kertas Javasche Bank 1934 (seri Wayang) merupakan puncak hasil karya cetak kolonialisme sehingga dianggap uang kertas terbagus di antara semua uang kertas.


ZAMAN PEMERINTAHAN JEPANG 1942-1945

Masa yang singkat ini hanya mengenal uang kertas sebagai alat pembayaran. Uang logam pendudukan khusus tidak beredar. Sebelum pendudukan, uang kertas terbitan pertama yang dikenal “Uang Pohon Pisang” (1942) telah dipersiapkan di Jepang dan diedarkan oleh bala tentara Angkatan Laut Jepang (Kaigun). Oleh karenanya dikenal istilah “Uang Penyerbuan Jepang” (Japanese Invasion Money=JIM) oleh bangsa Barat. Setelah “Uang Pohon Pisang” dirasakan cukup berperan sebagai uang peralihan, Jepang menerbitkan uang kertas bercorak alam dan budaya Indonesia sebagai bagian propaganda. Uang ini dikenal sebagai uang wayang atau Gatotkaca. Jumlah pencetakannya yang besar menyebabkan inflasi.

Menjelang kejatuhan Jepang, beredar uang kertas Pemerintah Dai Nippon yang bercorak sama dengan uang Jepang di Malaya. Pecahan terbesar (1000 Roepiah) yang bercorak sama pula dengan uang Malaya tidak sempat beredar karena bersamaan dengan kekalahan Jepang tahun 1945. Pada masa perang dunia (1939-1945) pihak Belanda dan Jepang mengeluarkan uang kertas tahanan perang (kamp) di Jawa dan Sumatera (Allasvallei, Tjimahi, Tjideng, dan lain-lain) yang mirip dengan tanda terima/karcis.


PEMERINTAHAN RI 1945-2009

Kembalinya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda (NICA) tahun 1945 sempat mendahului penerbitan uang kertas RI (ORI) dengan mengedarkan uang kertas “Uang NICA (uang merah) 1943” yang berkelanjutan dengan perebutan daerah dan tarik-menarik peredaran antara Belanda vs Indonesia. Sementara itu, Belanda (NICA) juga memberlakukan uang kertas NICA 1943, Javasche Bank Pra-Perang Dunia II dan Federal 1946 yang dilegalisir dengan cap-cap khusus di Guinea Baru Belanda (Papua dan Papua Barat) sebelum mengeluarkan terbitan khusus Nederland Nieuw Guinea 1950 dan 1954.

Pada masa revolusi (1945-1949), uang RI yang dikenal sebagai “Oeang Repoeblik Indonesia/ORI, URI, Uang Putih” terlambat beredar (1946), mengalami masa paling sulit karena keadaan ekonomi dan politik pada waktu itu. Proses pencetakan, pengiriman, dan pengedarannya sangat genting dan tidak menentu. Pemerintah RI sempat mengeluarkan tiga kali uang kertas (ORI/URI) 1945-1948 (satu di antaranya keluaran militer). Uang kertas darurat RI (ORI) ini hanya sempat beredar di Jawa-Madura dan Lampung dikarenakan transportasi yang sulit. ORI lainnya sempat dicetak di Amerika Serikat (Security Banknote Company) tapi situasi tidak memungkinkan untuk pengangkutan.

Selain perang saraf dengan Belanda, peredaran ORI menghadapi masalah inflasi ditambah pemalsuan yang tidak sedikit. Pada akhirnya menjelang pengakuan kedaulatan RI (1949) dipersiapkan reformasi keuangan berupa “Uang Republik Indonesia Baru” (URIBA) 1949 namun tampaknya tidak berjalan lancar.

Penerbitan uang darurat daerah merupakan satu-satunya jalan keluar sebagai pengganti uang pusat (ORI/URI). Faktor keuangan, politik, dan lainnya menyebabkan berbagai daerah di Jawa dan Sumatera (sebagian besar di Sumatera Utara) mengeluarkan uang kertas sendiri. Dari tingkat daerah gerilya s.d. propinsi dan memakai nama yang berbeda-beda (bon, surat, penerimaan, cheque, dan lain-lain) namun berfungsi sama sebagai alat pembayaran.

Antara 1948-1960-an, Kelompok Tandingan/Separatis (FDR Grobogan, NII Tjirebon, RMS, PRRI, PRRI/Permesta, RII Bagian Timur, dan lain-lain) mengeluarkan uang kertas lokal yang dicap/ditandatangani di atas uang terbitan zaman Belanda, Jepang, dan Republik Indonesia maupun cetakan sendiri (lokal dan luar negeri). Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) 1950 yang berumur kurang dari satu tahun hanya mengeluarkan uang kertas pecahan kecil (Rp5 dan Rp10) meskipun pecahan lain telah dicetak sebagai percobaan.

Selanjutnya Departemen Keuangan RI masih berpedoman pada Undang-undang Zaman Belanda, mengeluarkan pecahan kecil pada tahun 1951, 1953, 1954, 1956, 1960, 1961 dan 1964 berbeda dengan terbitan masa revolusi fisik (1945-1948) meliputi semua pecahan besar dan kecil.

Beraneka ragam uang terbitan Bank Indonesia:
TAHUNTEMA
1952Pahlawan dan Kebudayaan
1957 Hewan
1958Pekerjaan Tangan I
1959Flora
1960Soekarno
1961 Borneo (kenyataan tidak beredar di Borneo Utara, Sabah, dan Serawak)
1964Dwikora atau Sukarelawan
1964 Pekerjaan Tangan II
1968Soedirman (memakai benang pengaman pertama kali)
1975Diponegoro, Borobudur
1977Flora-Fauna
1979Gamelan
1980Pahlawan dan Kebudayaan
1982Flora
1984Fauna (dikenal sebagai uang merah di Irian Barat)
1985-1987Pahlawan
1986Pahlawan
1987Fauna
1992Spesifik Daerah
1993Tokoh
1995Fauna dan Tokoh
1998-2009Pahlawan Nasional


Pada waktu yang hampir bersamaan, dikeluarkan uang kertas dan logam terbitan khusus berlaku di Irian Barat dan Kepulauan Riau karena keadaan politik dan ekonomi yang amat berbeda dengan daerah-daerah lainnya.(AAS/NI/901062)


KEPUSTAKAAN


Bree, L de: Gedenboek van de Javasche Bank, 1828-1928, vol.I-II, Weltevreden 1928

Chijs.Mr. JA van der: Catalogus der Numismatischen Verzameling van het Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Batavia 1896

Directie NHM: Gedenkboek der Nederlandsche Handel Maatschappij 1824-1924, Amsterdam 1924

Handjaja, S. dkk: Katalog Uang Kertas Indonesia 1782-1996, Jakarta 1996

Pick, Albert: Standard Catalogue of World Paper Money Vol. I-III. General & Specialized Issues, Iola, 2006.

Scholten, C: The Coins of the Dutch Overseas Territories, Amsterdam. 1952

Dll



BIODATA


Nama : Alim Artadjaja Sumana
Alamat : Jalan Keadilan 2 No.45, Jakarta Barat 11120
Tempat dan tanggal lahir : Jakarta, 25 Januari 1958
Pendidikan : - SMAN XIX 1973-1976
Skripsi Numismatik dan Notafili
- Unika Atma Jaya, FIP/Jurusan Bahasa Inggris 1977-1979
- Akademi Bahasa Inggris Niaga (ABIN) Bina Arta 1981-1983
Skripsi The Trading of Old Money
Pengalaman : Dealer numismatic, spesialisasi uang lokal Indonesia 1980-an – sekarang
Kegiatan : - Pameran Numismatik dan Filateli di Gedung TIM, Cikini 1981
- Pameran Numismatik dan Filonesia di Erasmus Huis, Kuningan 1983
- Penanggap Diskusi Panel Museum Nasional 1989
- Penyumbang data Standard Catalogue of World Paper Money dan Standard Catalogue of World Coins 1600-2009 sejak 1985 s.d. sekarang
- Penyusun Katalog Uang Kertas Indonesia 1782-1996, 1782-2009.
Anggota : - Perhimpunan Penggemar Koleksi Mata Uang (PPKMU) pra 1980
- Globe Coin Traders Association (GCTA) 1980-an
- American Numismatic Society (ANS) 1980-an
- Society of Paper Money Collectors (SPMC) 1980-an
- Life-member International Bank Note Society (IBNS) 1983-sekarang
- Token and Medal Society (TAMS) 1984-1990
- Life Member Numismatics International (NI) 1985-sekarang
- American Numismatic Association (ANA) 1986
- Society of International Numismatics (SIN) 1987
- Asosiasi Numismatika Indonesia 2006-2007

Senin, 19 Oktober 2009

Mata Uang Logam Cina, Salah Satu Sarana Rekonstruksi Sejarah


Oleh: Yuniarso K. Adi
(Museum Negeri Provinsi Jateng “Ronggowarsito”)

Mata uang merupakan salah satu sarana kegiatan perdagangan dan perekonomian yang menentukan. Hal itu terjadi sejak kehidupan masyarakat mulai mengenal perdagangan dan harga.

Alat tukar dikenal masyarakat sejak zaman prasejarah dalam berbagai macam bentuk dan standar nilai. Ada yang berbentuk gigi binatang buruan, manik-manik, batu-batuan, kulit kerang, dan sebagainya. Masyarakat pertama yang sudah mengenal dan mempergunakan mata uang sebagai alat tukar dan standar nilai secara resmi adalah Mesir, Yunani, dan Cina.

Mata uang merupakan bukti artefaktual yang dapat membantu mengungkapkan kegiatan perdagangan, terlebih mata uang logam Cina. Soalnya adalah temuan mata uang Cina relatif banyak jumlahnya.

Keuntungan temuan mata uang logam adalah:
  • Mata uang banyak ditemukan di beberapa wilayah di Indonesia
  • Dalam mata uang terdapat inskripsi yang menyebutkan tentang data tokoh maupun data tekstual lain
  • Dalam teori rekonstruksi sejarah, data inskripsi (tekstual) merupakan data primer
  • Populasi peredaran mata uang logam memudahkan kompilasi data untuk memperoleh satu kesamaan asal tahun dari inskripsi yang tertulis.

Sedangkan kelemahannya:
  • Mata uang logam masa berlakunya kadang-kadang melewati batas tahun berkuasanya sang penguasa yang mencetaknya
  • Penguasaan bahasa serta huruf Cina para peneliti masih minim
  • Mobilitas yang tinggi mata uang logam (kehadiran mata uang di suatu wilayah tidak disertai masyarakat pencetak maupun penggunanya).
  • Terjadinya kemungkinan antara kehadiran masyarakat pencetaknya dengan mata uangnya lebih dulu hadir masyarakatnya. Sedangkan mata uangnya baru hadir sekian tahun kemudian atau sebaliknya.
  • Masa berlakunya kadang-kadang lebih panjang (lama) dibandingkan masa kekuasaan pencetaknya, sehingga sang pencetak (penguasa yang menerbitkannya) sudah tidak berkuasa, namun mata uangnya masih beredar luas.

Di Jawa Tengah banyak ditemukan mata uang logam Cina. Yang tersimpan di Museum “Ronggowarsito” saja memiliki berat keseluruhan sekitar 50 kg. Selain itu terselip mata uang logam dari Jepang dengan bentuk, bahan, ukuran, dan tempat temuan yang sama. Dari hasil penelitian diketahui rentang waktunya adalah dinasti Tang masa kekaisaran Kaiyuan (713 M) sampai dinasti Ming masa kekaisaran Yongla (1404-1424 M). Ada pun jumlah temuan masing-masing dinasti adalah:
  • Dinasti Tang
  • Dinasti Song Utara
  • Dinasti Daghi (Jepang)
  • Dinasti Song Selatan
  • Dinasti Ming
  • Inskripsi Xianfu
  • Inskripsi Huang Song Tong Bao
  • Inskripsi Da Song Yuan Bao

Temuan-temuan tersebut menunjukkan adanya kronologi kaisar yang cukup urut dan lengkap. Diketahui pula setiap pergantian kaisar, diterbitkan mata uang baru.

Kajian inskripsi mata uang logam Cina adalah salah satu upaya untuk memberikan satu kontribusi penyediaan data analisis baru bagi interpretasi data sejarah supaya dapat dipergunakan untuk membantu rekonstruksi sejarah.

(Diringkas dari Berkala Arkeologi, Tahun XIV – Edisi Khusus – 1994)

Minggu, 11 Oktober 2009

Mata Uang Logam Cirebon


Penelitian ini dilakukan oleh Henny Indratiningsih, diberi judul Mata Uang Logam Cirebon Koleksi Museum Nasional, pada 1995 sebagai skripsi sarjana bidang Arkeologi pada FSUI. Tujuan penelitian adalah untuk memberikan gambaran lengkap dari data utama, mengetahui bacaan dan arti tulisan, serta melihat kemungkinan hubungan antara keberadaan huruf Latin dan Cina pada mata uang tersebut dengan sejarah Cirebon.

Metode penelitian yang digunakan terdiri atas tiga tahap. Pertama, pengumpulan data, terdiri atas data kepustakaan dan data lapangan.

Kedua, pengolahan data, dengan melakukan pemerian data secara lengkap. Pada tahap ini juga dilakukan analisis dengan memakai metode klasifikasi taksonomi, yang bertujuan untuk membentuk tipe mata uang Cirebon dengan indikator sejumlah atribut. Atribut utama yang ditetapkan adalah komponen penciri utama berupa huruf, tanda, dan “polos”.

Tahap ketiga adalah penafsiran data, dengan cara mengidentifikasikan dan menganalogikan ciri-ciri mata uang ini dengan sumber-sumber sejarah.